Alam

305 20 3
                                    

Cerita ini dimulai dari sebuah gedung kecil tiga lantai  yang berada dalam sebuah gang di peradaban Nangor. 

Lantai dasar gedung itu adalah sebuah studio tempat Alam mengerjakan segala keperluan menukangnya. Mulai dari mengukir patung pajangan dinding hingga merakit furnitur. 

Lantai dua disulap menjadi ruangan kedap suara tempat Sabtu-band yang anggotanya terdiri dari Alam,Jae, Wira-abang ketemu gedeku-, dan Swara. 

Sementara lantai paling atas adalah ruang bersantai yang seringkali digunakan oleh Sabtu untuk menginap.

Isi studio milik Alam tidak istimewa. Hanya meja kerjanya -yang cukup besar untuk satu orang dewasa tidur dengan nyenyak- yang diletakkan di tengah ruangan dan satu sofa cukup untuk dua orang berwarna merah marun yang sudah belang-belang akibat ketumpahan cat dan noda makanan. 

Di dindingnya terdapat koleksi bass-nya yang ia simpan dalam lemari-lemari kaca beserta beberapa buku referensi. Terakhir, amplifier rusak yang sekarang berfungsi sebagai penyangga bagi sebuah kulkas mini.

Harum menyengat pelitur, debu serbuk kayu dan suara desingan yang bising adalah sapaan khas studio milik Alam. 

Namun, perhatianku tertuju kepada sosok yang sedang serius melirik bolak-balik blueprint dan seonggok kayu lengkap dengan gergaji listrik yang ia biarkan menyala di tepi meja kerjanya.  

Aku berjalan masuk dari pintu besi geser yang setengah terbuka. Tetapi Alam sepertinya tidak mendengar suaraku masuk ke dalam studionya. Aku pun berjalan menuju stopkontak dan mencabut aliran listrik gergajinya. 

Alam menoleh secepat kilat ke arahku dengan kain hitam yang ia pergunakan sebagai masker di wajahnya. 

Matanya membelakak kaget seperti melihat hantu di siang bolong. Tangannya yang masih menggengam konte yang tadinya ia gunakan untuk menggambar di kayu, kini dalam posisi layaknya hendak mencukil mata seseorang keluar.  

Aku membalas reaksinya yang langka itu dengan memasang senyum terbaikku. Sedetik kemudian dia memutar bola matanya dengan raut wajah jengkel ke arahku lalu menarik maskernya turun sampai ke leher. 

Aku segera mengangkat kedua tanganku, dengan maksud damai.

"Ngapain disini?" tanyanya singkat dengan wajah congkaknya-yang demi tuhan sangat menjengkelkan- selagi menggosok hidungnya yang gatal karena kontak langsung dengan debu kayu.

"Kenapa, aku gak boleh di sini?" balasku kembali sembari berjalan ke arah kulkas.

"Gak ada kerjaan lebih baik apa dari gangguin gue?" balasnya lagi dengan nada meremehkan. Setelah itu Alam kembali berkutat kembali dengan kontenya dan blueprint-nya lantas membalikkan punggungnya kepadaku.

Aku membuka satu kaleng root beer dan menenggaknya. 

Untuk beberapa saat aku memerhatikan punggungnya Alam yang sangat lebar disinari oleh matahari pagi Nangor.Sabtu pagi itu, Alam hanya menggunakan sebuah kaus kutang longgar berwarna hitam dengan gambar logo band barat -namun sudah pudar hingga tidak dapat dikenali lagi-, celana pendek dan bandana kesayangannya menyelinap di bawah rambut hitam kebiru-biruannya. Keheningan sudah memenuhi ruangan untuk beberapa lama hingga aku tersadar dari lamunanku dan segera membuka mulut.

"Kak, aku dikirim Bang Wira wawancara buat radio"

"Terus ngapain cerita sama gue," Alam menjawab masih dengan punggung yang membelakangiku.

"Disuruhnya wawancara kakak," jawabku singkat lalu menenggak kembali root beer  dari kaleng yang sudah mulai  mengeksresi embun di sekelilingnya untuk meredam emosiku. 

Alam yang masih tenggelam dalam blueprint, konte dan seonggok kayu di hadapannya tidak menjawab untuk beberapa lama. 

"Wawancara apa sih,"kata Alam akhirnya sembari berjalan ke arah stopkontak untuk menyalakan kembali gergajinya. 

Hal pertama yang terlintas di kepalaku setelah mendengar jawabannya adalah betapa kurang ajarnya orang yang satu ini padahal dia mau diwawancara oleh salah satu radio paling terkenal seantero Bandung. Didatangi oleh reporternya langsung pula. 

Mawar, band paling hot se-Bandung pun belum pernah dapat eksklusif interview seperti ini. Bukan seharusnya Alam senang band-nya mendapat eksposur media secara gratis.

"Kak, aku kan lagi ngomong kenapa dinyalain gergajinya"

"Lo ngomong juga sambil sepuluh gergaji nyala masih kedengeran, lagian siapa bilang gue mau diwawancara," kata Alam sambil memakai kembali maskernya dan menyalakan gergajinya kembali. Lalu ia membalikkan punggungnya lagi dan mengerjakan apapun yang tadi sedang dikerjakannya.

Aku menghela nafas. Sabar Anya... ini cobaan. Pikirku mencoba menenangkan diriku.

"Ini cuma wawancara tentang insight tren musik di Bandung doang kak dari perspektif musisi Bandung. Tinggal jujur aja sih"

"Ya itu tadi gue udah jujur, gamau wawancara" 

Aku berjalan ke seberang meja kerjanya berdiri di hadapannya.

I really don't want to do this.. pikirku dalam hati.


Ah. persetan.


"Bentar doang, please," Aku memasang puppy face terbaikku dan kedua tanganku memohon di depan wajahnya.

Alih-alih setuju untuk diwawancarai, Alam malah melambaikan tangannya yang terbalut sarung tangan kotor di depan wajahku, mengisyaratkanku untuk pergi.

Demi tuhan.

Sepanjang karirku di dunia jurnalistik belum pernah aku menghadapi narasumber semenjengkelkan ini. Pejabat mana pun kalah dengan ngeselinnya Alam.

Akhirnya aku menyerah. Aku menenggak habis root beer-ku yang sekarang sudah tidak dingin lagi dan meninggalkannya di meja kerja Alam yang hanya bisa memelototiku sembari aku berjalan pergi memunggunginya.

"Heh buang yang bener!"

Kuacuhkan teriakan Alam yang tenggelam dalam desingan gergaji. 

Biarin aja, siapa suruh nyebelin.

Sambil berjalan keluar dari gang kecil itu menuju jalan raya, kukeluarkan ponselku. Lalu kupencet speed dial nomor 1. 

"Halo Anya,"  Jawab Wira setelah kurang dari dua nada dering.

"Bang, kenapa gak lu aja sih yang wawancara si brengsek, atau gue yang wawancara lu gitu, ih ngeselin banget sumpah"

Balasan yang aku dengar dari ujung sana hanya gema suara Wira yang sedang tertawa terbahak-bahak.

"Anjir lah bang, aku serius nih"

"Aduh, Anya ngomongnya kasar sekali hahaha"

"Baaaang, "  aku balas dengan merengek. Walaupun Wira tidak bisa melihatnya aku refleks cemberut dan menghentakkan kakiku karena jengkel.

"Kan kamu tau kalau narasumbernya abang gak valid nanti infonya masa tim redaksi wawancara diri sendiri. Ini lagian kan tugas turunan langsung dari si maha besar Kanjeng Ratu Momo"

Ada jeda cukup lama dari kalimat terakhir Wira yang hanya kuisi dengan helaan nafasku.

"Oke, oke sayang, nanti gue urusin"

"Ih, jijik gausah pake sayang sayang udah gede"

"Ih, udah dibantuin malah gak terima kasih"

"Udah ah aku mau pulang ke kosan"

"Suruh Alam anterin nya," kata Wira dengan kikikan yang mengganti titik di akhir kalimatnya. Tanpa basa-basi aku langsung mematikan sambungan telefon dan melambaikan tangan kepada angkot yang dengan timing yang sempurna lewat di hadapanku.

Sabtu.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang