Alam bersandar dengan earphone di telinganya di salah satu pilar depan tangga Leuwi Panjang. Kala itu terminal lumayan sesak dipenuhi para mahasiswa yang baru saja kembali dari kampung halamannya dan hendak melanjutkan aktivitas di kampus.
Aku memandanginya untuk beberapa saat. Tidak percaya orang itu benar-benar ada disitu. Sudah berapa lama aku memutar adegan ini di pikiranku tapi pada nyatanya rasanya sangat surreal.
Belum puas memandangi profilnya di bawah remang cahaya bulan, Alam sudah menyadari keberadaanku. Ia pun tersenyum dan melepas earphonenya, membiarkannya menggantung begitu saja di lehernya.
"Kamu capek ya?" katanya pelan sambil merengkuhku dalam pelukannya. Wajahku terbenam di jaketnya. Hidungku dipenuhi harum Alam yang selalu sama semenjak dulu, campuran antara aroma kopi, pelitur dan kayu. Aku tidak bisa balas memeluknya karena posisi tanganku yang sedang penuh menenteng plastik titipan oleh-oleh.
"Capek, laper tapi"
Alam pun melepaskanku dari pelukannya lalu mengambil tentenganku dan memegangnya di tangan kirinya sementara tangan kanannya menggandeng tanganku dan memasukannya ke dalam saku jaketnya.
"Hmm jam segini tuh-" Alam mengecek jamnya sebentar sebelum melanjutkan kalimatnya.
"Bentar lagi isya, angkringan udah pada mulai buka sih. Mau pecel depan DU?"
Aku mengangguk semangat memikirkan salah satu makanan favoritku di Bandung karena aku belum makan apa apa semenjak sarapan tadi pagi di Bogor yang itupun hanya dua potong roti sobek.
"Gampang banget sih buat kamu bahagia, Nya" ujarnya dengan nada bercanda.
Besok genap tiga bulan Alam resmi menyatakan perasaannya kepadaku dan sebaliknya. Semenjak itu juga perlakuan dia berubah 180 derajat kepadaku. Yang biasanya sangat-sangat sok acuh tak acuh itu sekarang menjadi pengertian dan perhatian. Kalau ingat ini yang selalu terlintas adalah: Apa ini yang dulu Raya rasakan. Alam yang ini. Sisi Alam yang dulu aku lihat ketika dia bersama Raya. Alam sempat hilang tenggelam diantara debu-debu kayu furniturnya, alunan bass sendu dan lirik lagu-lagu Sabtu garapannya. Honestly, this Alam feels too good to be true.
Alam menuntunku ke motornya yang setia menemaninya PP Nangor-Bandung setiap ia bolak balik studio dan kampus. Intermezzo sedikit nih. Mungkin kalian yang domisili Bandung berpikir kalau yang Alam lakukan ini agak bodoh. Sudah baik-baik dapat kuliah di kota kenapa tinggalnya di Nangor sih? Eits jangan salah. Alam punya apartemen di daerah Dago dan mobil yang terparkir cantik di basement. Aku tidak tahu alasan pastinya tetapi ia memang lebih suka menghabiskan hari-harinya bermain dengan gergaji mesinnya di studionya di yang notabene pesisir Sumedang ini.
"Kita ke apart aku dulu ya ambil mobil" kata Alam tiba-tiba saat kami sudah duduk di atas motor. Aku memandanginya bingung. Selama aku mengenal Alam berapa kali aku pernah melihat mobilnya hadir saat Sabtu manggung bisa dihitung dengan jari. Well, pasca Raya ya.. Seolah membaca raut wajahku yang kebingungan setengah mati Alam menimpali dirinya sendiri.
"Barang bawaan kamu banyak soalnya nanti kamu gak bisa peluk aku kalo naik Martin"
"Lagian, ngapain sih kamu buka-buka jastip kue artis segala. Repot kan jadinya kamu."
"Rasanya juga biasa aja, overpriced parah."
Aku harus meyakinkan Alam yang ini sama dengan Alam yang kukenal . Tapi terus terang saja Alam yang aku kenal tiga bulan yang lalu jelas berbeda. Alam yang pendiam, yang sok cool, yang jika kalian ingat dulu ketika ia kuminta interview sok jual mahal dan menolak, ya intinya sok sibuklah. Jujur, saat pertama kali Alam menyatakan perasaannya kepadaku aku kaget. Dia bilang, "Mungkin aku gak pernah kelihatan menunjukkan Nya. Emang caraku ngedeketin cewek aneh. I tend to push them away from me and be as jerk as I can be. I don't know why, maybe I'm just too scared. Tapi, now that I confessed, I will make you my princess."
Alam, Alam... tsk memang rajanya komentar cheesy.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sabtu.
Teen FictionSabtu. Hari keenam dalam satu minggu. Sabtu. Setiap malam minggu.