Seperti malam minggu lainnya, Sabtu manggung di sebuah kafe di daerah Antapani, Bandung. Dan seperti malam minggu lainnya pula, kafe itu penuh dengan orang-orang menanti yang menanti Sabtu tampil di atas panggung.
Karena minggu lalu Wira sudah membantuku menulis beritaku yang hampir gagal terbit, aku harus membayar hutangku dengan menuruti kemauannya. Alhasil, ia menyeretku ke Bandung untuk menemani dia nge-band.
Waktu baru menunjukan pukul sepuluh malam namun aku sudah ditemani beberapa gelas shot glass kosong yang tadinya berisi espresso.
Di laptop yang kupangku sedang terbuka aplikasi word processor dengan halaman yang masih sangat putih.
Mataku bergerak ke arah panggung dimana Sabtu masih melakukan sound check semenjak 10 menit yang lalu. Melihat empat orang itu bersama, aku tidak pernah terpikir bagaimana mereka bisa tidak gila. Jae, si pirang palsu yang sedang mengutak-atik si Abby-gitar akustik kesayangannya- adalah mahasiswa arsitektur tingkat akhir. Iya, menakjubkan bahwa mahasiswa-yang seharusnya- super sibuk seperti Jae sempat-sempatnya nge-band . Di sebelahnya ada Swara, leader dari yang kumpulan orang yang menyebut dirinya sendiri Sabtu. Swara dapat dibilang si tech savvy dari Sabtu karena statusnya yang mahasiswa tingkat dua jurusan teknik informatika. Ia yang merekam dan mengedit semua lagu original Sabtu. Di samping Swara, ada Wira dengan keyboard-nya yang sedang membantu Swara menyetem gitarnya. Wira alasanku berada di sini dan alasanku bisa mengenal Sabtu. Wira adalah mahasiswa tingkat dua yang berbasis di Nangor-sama denganku- cerita bagaimana aku mengenalnya mungkin di lain waktu namun sekarang dia adalah kakak tingkatku di fakultas. Dan yang terakhir adalah Alam, bassist Sabtu. Seharusnya sekarang sekolah musik di Jerman namun pada kenyataanya adalah mahasiswa tingkat dua desain interior yang doyan nukang tugasnya sendiri. Ayah Alam adalah salah satu bassist terbaik Indonesia yang adalah Rindra, Padi. Iya, padi yang itu. Beliau sempat cukup kecewa ketika Alam memutuskan untuk meninggalkan kuliah musiknya di Jerman dan memutuskan untuk kuliah di Bandung.
Tiba-tiba lighting berubah menjadi gelap dan cahaya spotlight mengarah ke panggung yang tidak terlalu tinggi.
"Selamat malam Bandung," Swara menyapa dengan logat medok solonya yang sukses membuat beberapa penonton terkikik geli.
"Sabtu kali ini akan menemani akang dan teteh dengan lagu-lagu original kami selama dua jam kedepan. Setelah itu kami akan menerima request ." Wira melanjutkan dengan senyumannya yang sukses membuat sekelompok cewek-cewek -yang kelihatannya maba- dibuat meleleh.
"Lagu pertama untuk kalian yang hanya bisa tersenyum ketika seseorang yang dulu kalian cinta bahagia dengan orang lain. Aku tersenyum, enjoy."
Swara lalu memberi aba-aba mulai lalu Wira mengawali lagu dengan alunan keyboard-nya dan suara lembutnya. Dengan begitu belasan lagu-lagu pun dimainkan. Dengan begitu pula langit Bandung menyapa gelapnya malam. Berangsur-angsur pun orang-orang pergi meninggalkan kafe itu.
"Terima kasih Bandung, sampai bertemu minggu depan," kata Wira menutup sesi mereka malam itu dengan senyumnya yang disambut dengan tepuk tangan dan seruan dari penonton.
"Gue mau ke toilet dulu ya. Jae, tolong bass gue dong, thank you," Alam pun memberikan bassnya kepada Jae bergegas ke toilet setengah berlari sebelum Jae mengiyakan permintaanya.
"Ye, dasar anak gatau diri sama yang lebih tua," gerutu Jae sembari memasukan bass Alam ke dalam casing-nya.
Waktu sudah menunjukan pukul dua pagi. Kudapati Wira yang tidak perlu merapihkan alatnya karena dia menggunakan keyboard milik kafe datang menghampiriku dengan cengiran khasnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sabtu.
Teen FictionSabtu. Hari keenam dalam satu minggu. Sabtu. Setiap malam minggu.