Terbiasa

73 14 14
                                    

"Naikin satu step lagi kayaknya" ujar Jae kepada Swara.

Swara merespon dengan langsung menyetem ulang gitarnya mengikuti petikan gitar Jae. Wira memutar otak untuk mencari melodi yang tepat untuk lirik yang sudah Alam buat. Alam memainkan lagu acak di bassnya dalam rangka memecah kebosanan. Sementara aku duduk di ujung ruangan memangku laptop dengan secangkir kopi yang sudah tinggal ampas di sampingku.

Alam melepas bassnya dan menaruhnya di stand. Yang lain terlihat tak menghiraukan Alam karena kesibukannya masing-masing. Alam berjalan ke arahku dan hingga akhirnya aku menemukan kepalanya terbaring di pahaku setelah menyingkirkan laptopku dengan paksa.

"Ih apasih! Ganggu orang lagi kerja aja" candaku sambil mencubit pipi Alam. Dia mengaduh kesakitan lalu terkekeh.

"Semua orang sibuk masa kamu gak bisa aku gangguin juga sih?" balasnya sambil memejamkan matanya dan melipat tangannya di atas dada.

"Kamu juga kenapa gak ikutan sibuk sih?" timpalku jengkel.

"Kan aku udah nulis lirik sama melodi dasar, tinggal Wira yang poles lah... Masa aku semua yang ngerjain... Makan gaji buta mereka dong Nya"

Aku menghela nafas. Alam tersenyum lalu menutup matanya kembali. Aku memainkan rambut yang jatuh di atas dahinya. Saat itu juga ada telfon masuk ke handphone-ku yang berada di meja dekat pintu. Aku menyingkirkan kepala Alam dari pahaku yang kemudian protes. Nama Dowoon muncul di layar. Aku tersenyum kecil lalu mengangkatnya.

"Hey!! How are you?!? You never call!!!!" Seruku sembari berjalan turun tangga dari ruang latihan menuju studio kayu Alam di lantai dasar.

Saat punggungku menjauh aku dapat merasakan tatapan Alam mengikuti punggungku. Selain perilaku Alam yang berubah kepadaku jelas aku merasakan perubahannya kepada orang lain yang ada di sekitarku. Termasuk Wira. Alam tahu aku hanya menganggap Wira tidak lebih dari seseorang yang setara dengan saudara kandungku sendiri. Tetapi Alam bisa dibilang menjadi sangat protektif dan waswas...? Sama juga kepada teman laki-lakiku yang lain seperti juniorku di radio, teman sejurusanku, yaaa pendeknya semua laki-laki yang memiliki potensi untuk menyukaiku. Alam akan selalu bertanya keberadaanku, siapa saja yang ada di sekitarku saat itu, sampai jam berapa aku akan bersama mereka dan hampir selalu menjemputku apabila aku sudah selesai. Aku sebenarnya tidak begitu keberatan akan tindakan protektifnya selama ini. Karena aku tahu persis penyebabnya. Namun aku akan berbohong apabila aku bilang aku tidak merasakannya.

"Ah- Nothing Anya... I just want to hear your voice...... that's up"

"Hahaha... you really are something... How's university?"

"Meh- its okay... It's boring... same ol' same ol', Although....

I have been improving a lot of my Indonesian here. Most of the kids from business are Indonesians so I think I can speak quite well"

"Bohong ah~"

"Enak aja! Enggak tau!"

Aku tertawa terbahak-bahak mendengar Dowoon mencoba berbicara bahasa Indonesia setelah beberapa lama tidak mendengarnya berbicara bahasa Indonesia. Memang selama di Korea aku sempat mengajarinya sedikit Bahasa Indonesia. Yang mengagetkan, bukan hanya pintar dalam pelajaran seperti matematika Dowoon juga sangat cepat belajar bahasa baru. Aksen dan pelafalannya sudah mendekati orang Indonesia dan dia tahu banyak bahasa gaul dalam Bahasa Indonesia.

"Siapa Nya?"

Aku menoleh dan menemukan kepala Alam melongok dari ujung tangga.

"Dowoonie " Aku menunjuk handphone-ku di telinga sembari tersenyum singkat kemudian berjalan memunggungi Alam.

"Ugh Nya, aku harus pergi professorku udah sampai.."

"Ah- okay! Have a nice day!"

"Iya, Anya juga!"

Aku membalikkan badanku dan menemukan Alam bersender di bingkai tangga sedang memainkan handphonenya. Aku berjalan ke arah Alam mencoba mengintip apa yang sedang ia lakukan di handphonenya dengan berjinjit.

"Apa sih?" kata Alam menghalangi wajahku dengan salah satu tangannya.

"Cih, galak banget" balasku sambil cemberut dan berjalan melewati Alam ke atas tangga.

~~~~~

Melbourne, hari yang sama

Dari mata Dowoon

Aku merebahkan diri di atas kasur king size di apartemenku di jantung kota Melbourne malam itu. Kepalaku terus memutar kembali percakapan singkat lewat telefon tadi siang dengan Anya. Sudah lama aku tidak mendegar tawa renyahnya dan senyum hangatnya yang selalu menyambutku setiap pagi beberapa tahun silam.

Saat aku hendak memejamkan mataku handphone-ku berdering.

"Do you know what time is it here?" kataku kepada orang yang ada di ujung lain telfon.

"Oh- sorry...HAHAHA... gue suka lupa time difference"

"I'm awake anyways, kenapa?"

"I found a place, an apartment, its done already... but anyways.. lu sampe sini kapan sih?"

"Minggu depan.. How many time should I tell you...?"

"Hehehe.. sorry gue ngetes lu aja HAHAHA"

"What the fu- Wira I know you're older and all but please... di sini udah jam 2 pagi"

"Okay, okay just one more question.."

"What.." jawabku sambil menahan gemertak gigiku karena kesal.

"Lu yakin lu gak mau kasih tau Anya?"

Sabtu.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang