CHAPTER 3: Interview Again

2.6K 294 12
                                    


Emma baru saja terbangun dari tidurnya saat jam di dinding menunjukan pukul 3.40 sore. Ia lalu bangkit untuk duduk dan mengangkat selimutnya. Matahari sore mulai menyorot hangat dari balkon. Ia sudah tidak begitu merasa dingin, tapi pusing di kepalanya masih sedikit terasa. Mungkin karena ia tidur berlebihan sejak pukul 2 siang tadi dan Kattie tidak membangunkannya. Ia akhirnya turun dari tempat tidurnya, keluar kamar dan menghampiri Kattie yang sedang duduk di ruang tengah.

"Oh, kau sudah bangun, Em?" Kattie menghentikan aktivitasnya dari layar handphone ketika menyadari kehadiran Emma. Emma lalu duduk di sebelah Kattie, tidak menghiraukan pertanyaannya barusan. "Kenapa kau tidak membangunkanku?"

"Tadinya aku memang akan membangunkanmu, tapi kau terlihat begitu lelap. Jadi kupikir sebaiknya kau memang harus beristirahat."

"Tapi kepalaku masih sedikit pusing karena tidur terlalu lama." Katanya sambil menyandarkan punggung di sofa. Lagi-lagi memijit-mijit keningnya.

"Akan aku buatkan teh hangat, kalau begitu. Teh yang tadi sudah dingin. Kau tunggu disini saja."

"Tidak usah, Kattie." Emma menahan Kattie agar perempuan itu tak beranjak dari tempat duduknya.

"Kau disini saja. Aku ingin bertanya padamu." Kattie akhirnya kembali duduk, kini menghadap Emma. "Apa itu soal William?" tanyanya.

Emma menggeleng. "William.. dia sedang sibuk dengan segala proyeknya. Kami sudah dua minggu ini tidak berhubungan, dan aku sudah sangat terbiasa dengan itu. Tapi bukan dia yang ingin kutanyakan, Kat."

"Baiklah, kau bisa menceritakannya padaku." Kata Kattie pelan. Emma menghela napasnya pelan dan terdiam sejenak, lalu berkata dengan suara berat, "apa yang akan kau katakan jika ada seseorang yang bertanya tentang cinta pertama padamu? Lebih tepatnya.. err, bertanya soal kau merindukannya atau tidak, padahal kau sudah punya kekasih begitupun dengan cinta pertamamu itu. Mm, Kattie, apakah kau harus berbohong sementara kau mungkin merindukannya?"

Emma menatap asistennya itu lekat-lekat. Ia memang biasa menceritakan sesuatu yang sudah tidak bisa ia pendam kepada Kattie, kalau ia sedang tidak bisa menghubungi ibunya. Kattie tampak menimbang-nimbang. Ia beberapa kali terlihat menghela napas.

"Sesulit itukah?" tanya Emma, masih menunggu jawaban Kattie. Ia tahu dirinya sedikit tidak sabar. Beberapa saat kemudian Kattie akhirnya membuka suara, "menurutku tidak masalah kalau kau ingin jujur, Emma." Kattie menghentikan kalimatnya sejenak, menyeringai. Membuat Emma membulatkan matanya.

"Itu semua tidak berarti kau akan merebut seseorang itu dari kekasihnya, hanya karena kau mengatakan merindukannya, bukan? Tapi kalau kau ingin menjaga perasaan wanita itu, kau bisa berbohong kalau kau tidak merindukannya. Semua terserah padamu, Em, mana yang lebih nyaman untukmu. Tapi satu hal yang harus kuberitahu. Semua orang pastilah memiliki cinta pertama mereka masing-masing, dan tidak ada satu orang pun yang bisa mencegah siapapun untuk menentukan cinta pertama mereka."

Emma semakin mengerutkan alisnya, "apa.. kau?"

"Aku tahu siapa yang kau maksud." Kattie tersenyum lebar seolah baru saja membuktikan kehebatannya. Ia lalu serius melanjutkan, "apa mereka menanyakan hal itu lagi?"

Emma hanya mengangguk lesu. Kepalanya tertunduk, seakan memperhatikan kaki putihnya yang mulus. "Aku takut, Kattie. Saat itu aku hanya berusaha menjawab pertanyaan, tapi sesaat kemudian aku sadar, bagaimana kalau hasil wawancara itu diterbitkan? Aku tidak ingin mereka tahu. Aku malu." Ia menutup wajah dengan kedua tangannya. Kattie antara ingin tertawa atau sedih tiba-tiba melihat Emma yang bertingkah seperti anak kecil. Ia layaknya seorang gadis kecil yang baru saja terang-terangan mengatakan suka pada teman laki-lakinya. Emma lalu melanjutkan, "aku juga tidak ingin kalau William sampai dengar. Kau tahu dia sangat pencemburu." Katanya. Meski Kattie sendiri tidak tahu apa yang sedang terjadi antara dirinya dengan William.

Time Turner: First Love Never Die [Feltson]Where stories live. Discover now