Airlann: Perjalanan Masa

2.7K 236 31
                                    

Berikut ini adalah kisah tentang Guru jauuuh sebelum dia bertemu dengan Illa. Aku tulis ini sebelum memulai Reminiscentiam, mungkin ada sedikit perbedaan dengan karakter Guru yg ada di Remini :D but she is still the same person. Inilah dia sebelum Illa datang dan mengubah dunianya hahahaha

Aslinya kutulis di works ku yg berjudul 52 weeks. Aku unpub untuk up di sini supaya menjadi satu kesatuan dengan Reminiscentiam. Yang minta cerita dari sudut pandang Airlann, ini adalah salah satunya.

Hope you enjoy it!

Gadis itu berjalan melewati sebuah desa yang dulu pernah dikunjunginya, berpura-pura menjadi bagian dalam kehidupan sederhana di sana

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Gadis itu berjalan melewati sebuah desa yang dulu pernah dikunjunginya, berpura-pura menjadi bagian dalam kehidupan sederhana di sana. Dia melihat seorang gadis berusia belasan sedang membawa keranjang roti. Dia juga melihat seorang ibu merajut di depan rumahnya. Seorang tukang pos, seorang anak bermain angin dan seorang nenek duduk di teras, terayun di atas kursi goyang.

Dia tersenyum kecil. Betapa perjalanan membuatnya kembali ke tempat-tempat yang familiar. Dia masih ingat pemilik rumah di ujung jalan, seorang pemuda yang baru saja pulang dari perang. Di sebelahnya, ada toko roti dengan pemilik seorang ibu berwajah bundar yang ramah. Dia hanya bertanya-tanya, bagaimana kabar mereka sekarang.

"Airlann?"

Sebuah suara membuat gadis berambut coklat itu menoleh, terkejut. Nenek yang sedari tadi duduk di kursi goyang melihatnya dan kini berjalan tertatih-tatih ke arahnya, berusaha untuk mendekati gadis belia tersebut.

"Kamu Airlann, kan?"

Airlann tersenyum namun matanya tidak. Dia tidak mengenali nenek tersebut dan pengalaman mengajarkannya untuk tidak mudah percaya. "Apakah aku mengenalmu?"

Nenek yang seluruh rambutnya telah beruban tertawa senang. Dia makin semangat mendekati Airlann lalu memegang tangannya. "Untunglah aku masih bisa bertemu denganmu lagi, Tuhan telah mengabulkan doaku."

Airlann merasa jengah disambut begitu hangat namun tetap berusaha tersenyum. Saat ini saja, beberapa penduduk desa sudah mengamatinya, dia tidak ingin menarik perhatian.

"Ini aku, Cheryl." Mata nenek itu berkaca-kaca, keriput di sekitar matanya makin jelas. "Mari, berkunjung ke rumahku."

Dia menarik tangan Airlann yang dengan terpaksa diturutinya. Lebih mudah bersikap seperti kenalan sang Nenek daripada menghadapi pandangan curiga. Hal terakhir yang diinginkannya adalah mendapatkan banyak pertanyaan.

Airlann berjalan masuk ke dalam rumah berdinding bata tua yang masih terawat. Perasaan familiar merayap naik ketika dia mengamati sudut demi sudut rumah. Hanya ada satu ruangan di sana. Dapur, ruang tamu dan kamar tidur hanya terpisah oleh sekat kayu. Dia mengamati letak benda-bendanya, nuansa, bahkan aroma kue yang melayang lembut. Perlahan, gadis muda itu tersenyum, entah kenapa dia merasa nyaman dan sekeping ingatan muncul dalam benaknya. Dia pernah tinggal di sana.

Bagaikan endapan tanah di dasar sumur yang terkena lemparan batu, satu per satu kenangan itu naik ke permukaan. Rasanya seperti kemarin, dia berlarian di rumah mungil itu. Airlann kembali menatap sang Nenek, kali ini dengan tatapan hangat.

"Aku mengingatmu."

Wajah Cheryl berbinar. "Untunglah aku masih dikenali." Dia menyentuh wajah Airlann yang tanpa kerutan, layaknya seorang gadis berusia enam belas tahun.

Airlann kembali melihat sekelilingnya. "Aku kira aku tidak akan menemukan satu orang pun yang kukenal di sini, begitu juga sebaliknya tapi selalu menyenangkan bertemu teman."

"Duduklah, aku akan membuatkanmu teh."

Airlann menurut sementara Cheryl berjalan menuju lemari kaca. Dia duduk di sebuah kursi kayu sederhana berpunggung rendah sambil terus mengingat-ingat kejadian yang pernah terjadi di sana. Beberapa menit kemudian dua cangkir dengan asap mengepul menemani kedua teman lama itu bercerita.

"Jika tanpa dirimu, mungkin seluruh desa ini tidak akan selamat dari wabah itu." Cheryl berkata sementara matanya menerawang jauh.

Airlann tertawa kecil. "Aku hanya melakukan tugasku." Dia menatap cangkir. "Apakah Gerald sudah pergi?" tanyanya, senyumnya menghilang.

"Ya. Lima tahun lalu." Cheryl meminum tehnya, tenang. Sudah lama dia menerima bahwa saudara lelakinya itu mendahului dia. "Tak lama lagi aku juga...."

Airlann menghembuskan napas pelan sambil menutup mata.

Cheryl meletakkan cangkirnya kembali ke atas meja, tersenyum dan memandang gadis muda di hadapannya. "Aku adalah terakhir yang masih hidup."

Airlann membalas senyumnya dan sejenak keadaan menjadi hening sementara matahari bergulir ke arah barat. Ketika koak burung gagak dan cahaya senja menyinari jendela, Airlann tahu sudah tiba saatnya mereka berpisah. Dia berdiri dan pamit.

"Kamu tidak berubah ya." Cheryl berkata ketika dia melepas Airlann di ambang pintu. "Sudah tujuh puluh tahun dan wajahmu tetap sama."

Airlann memperlebar senyumnya. "Kamu tidak kaget?"

"Aku sudah melihat banyak hal dan dari dulu aku sudah menyangka, tidak mungkin seorang gadis muda bisa menghentikan wabah Pes yang telah menghancurkan puluhan desa."

Dia tertawa. "Dan kamu masih mengenaliku."

"Seseorang tidak akan lupa wajah penyelamatnya." Cheryl tersenyum pada Airlann, senyum penuh terima kasih. "Aku hanya berdoa, semoga perjalananmu selamat."

Airlann mengangguk sebelum berjalan pergi dengan tatapan Cheryl di punggungnya. Ketika dia tiba di ujung jalan, dia menoleh dan melihat bahwa nenek itu berjalan masuk ke dalam rumah.

"Takuto, boleh aku meminta sesuatu?" ucapnya pada bayang-bayang hitam yang berdiri di sampingnya. "Jangan bawa dia pergi sebelum aku meninggalkan desa ini."

"Sentimentil," cela seorang pria sambil membuka tudung jubah hitamnya sementara sebuah sabit raksasa tergantung di punggungnya.

Airlann mendengkus seraya berjalan ke batas desa. Dia berhenti di gerbang sederhana dari kayu, seakan ingin menahan lebih lama keberadaan Cheryl di dunia, orang terakhir yang mengingatnya di sana. Dia menutup mata dan mengendapkan rasa lalu melangkah keluar dari batas. Dia dapat merasakan sebuah jiwa melayang pergi dari sana, sebuah kepekaan yang didapatkan bila terlampau lama hidup. Terlalu lama hingga kesendirian tidak lagi menakutkan. Kesepian apalagi, kata itu laksana sahabat dekat. Di antara seluruh kejadian yang berputar cepat, hanya dirinya yang tak bergerak, menjadi lembam. Dia melihat kelahiran dan kematian lebih banyak dari manusia manapun di muka bumi. Dia melihat zaman berganti tanpa ampun. Dia juga melihat bumi menjadi tua.

Dalam waktu-waktu yang terlampau panjang, dia belajar untuk tidak mengikatkan diri terlalu erat karena dia tahu, pada akhirnya dia akan ditinggalkan. Semua akan pergi, tidak ada yang bisa melawan sabit sang Maut. Maka dia hanya membawa dirinya, jiwa yang terlalu lelah untuk terus melintasi waktu, untuk berjalan di antara masa sampai akhir dunia bila itu benar ada. Dia akan menunggu sampai dirinya terlepas dari penjara yang disebut keabadian.

____________________________

Weeks 7
A Story About Journey

[Sudah Terbit] I'mmortal Series: Reminiscentiam [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang