Selamat pagi kota Semarang,
Sejak pukul lima pagi tadi dengan wajah yang sama dia tetap bergeming, membuat kepalaku berdenyut mengingat kejadian kemarin. Dia menatapku mengejek, memantulkan diriku yang lain dengan wajah sembab seperti telah menangis semalaman. Dia terus saja menatapku sedang aku hanya mampu menggelengkan kepala sembari mengusap sisa-sia air mata yang mengering, walau sosok diriku yang lain juga melakukan hal sama. Dia masih tetap mengejekku dengan alasan yang terjawab dengan jelas di hatiku. Itu karena aku yang mementingkan diriku sendiri daripada urusan orang lain. Terima kasih kau telah mengingatkanku pagi ini.
Aku bejalan mundur darinya, pikirku merasa tidak ingin dia tertawa menatapku yang lemah. Kakiku hampir saja menginjak sabun cuci muka dan langsung menyadari bahwa banyak barang yang berserakan di bawah sana. Dengan tenang aku merapikannya seraya mengingat kemarin malam mereka aku dorong dengan kasar di atas meja. Aku masih ingat kenapa aku melakukan itu, aku hanya ingin melampiaskan amarahku kepada mereka bukan karena aku ingin menyiksanya. Melainkan karena pengingkaran janji seseorang yang aku sayangi.
Keputusanku lima tahun yang lalu untuk menjadi dokter adalah keputusan yang tepat hingga tiga setengah tahun yang lalu aku diterima di Universitas Negeri di kota Semarang. Kedua orang tuaku merasa bangga sekali saat itu, mereka menjadikanku sebagai bahan omongan untuk para tetangga dan keluarga besar. Aku senang bisa membanggakan mereka.
Kemarin pagi saat pita di topi wisudaku dipindahkan dari sisi kiri ke kanan, aku langsung merasakan kelegaan dan sangat bahagia walaupun sebenarnya perjuanganku untuk menjadi dokter masih panjang. Kebahagiaan yang aku rasakan bukan berarti menjadikan diriku merasa senang dan gembira, melompat-lompat ke sana kemari sambari membawa ijazahku. Aku merasa kecil hati dengan diriku sendiri. Aku tidak bisa mempersembahkan gelar sarjanaku kepada pria gagah yang aku panggil Papa secara langsung karena dia telah berpulang pada kehidupan yang sebenarnya.
Serta kekasihku Yudha yang sekarang masih di Bandung sempat berjanji akan datang saat aku wisuda, namun kenyataannya dia membuatku kecewa yang teramat sangat. Dia tanpa kabar sekalipun dan bahkan tidak mengucapkan apapun kepadaku. Anehnya kenapa dia menghilang begitu saja di saat aku ingin membagi kebahagiaanku dengannya.
Di samping itu beruntung bagiku masih bisa merasakan pelukan hangat dari Mama serta ia mencium puncak kepalaku dengan air mata haru bercucuran. "Mama bangga kepadamu Aila, dan jika Papa masih hidup dia akan jauh lebih bangga melihatmu memakai toga."
Sama halnya dengan Mama, air mataku juga bercucuran. Menyambut pelukan itu dengan begitu erat sembari membayangkan ekspresi Papa yang tersenyum melihatku di sebelah sana.
Sorenya, Mama mengajak aku dan adikku Lisa untuk pergi ke kedai pizza untuk menggelar pesta kecil-kecilan merayakan wisudaku. Terkesan berlebihan memang, tapi aku masih ingat ini adalah janji Papa saat aku baru masuk ke dunia perkulihan.
"Papa akan mengajak kalian semua ke kedai pizza jika Aila dan Lisa berhasil memakai toga."
Lisa hampir saja berteriak histeris setelah mendengar apa yang dikatakan Papa saat makan malam waktu itu. Hingga saat ini di kedai pizza aku tidak menyangka bahwa adikku juga masih mengingat kalimat itu.
"Ma, apakah Mama ingin mewujudkan janji Papa dulu?" tanya Lisa kepada Mama ketika sedang menggigit potongan pizza daging yang baru saja disajikan hangat di atas meja.
"Iya," jawab Mama ramah. "Ternyata kalian masih mengingat itu."
Aku bisa merasakan bahwa di hati Mama ingin sekali sosok Papa berada dalam pesta kecil ini, aku melihat mata Mama merah dan berair namun segera ia mengusapnya sebelum air matanya jatuh.
Aku terhanyut dalam kesedihan Mama, beberapa menit kemudian perasaan itu telah bubar karena aku menyadari ponselku bergetar menampilkan notifikasi pesan dari Yudha. Aku langsung tersenyum sebelum akhirnya aku membuka isi pesan tersebut.
[Yudha]
Aku lupa jika kamu wisuda hari ini, maaf. Aku hari ini sibuk sekali dengan perkerjaanku belum sempat mengepak barangku untuk pergi ke Semarang.Boleh jadi aku merasa senang namun di sisi lain aku merasa kecewa atas pesan yang dikirim olehnya. Ibarat api kecil yang menyambar kayu, api itu semakin besar sama halnya dengan amarahku kepadanya. Ponselku kembali bergertar, muncul notifikasi pesan dari Yudha kembali.
[Yudha]
Selamat atas gelar sarjanamu.Dengan rasa yang sama, ucapan selamat itu tidak mengartikan apa-apa. Tidak sedetik pun aku merasakan kebahagiaan yang menjalar dalam setiap nadiku, dalam setiap pompaan jantung dan dalam setiap darahku yang mengalir.
Mengabaikan pesta kecil itu, aku pergi dengan ponselku menuju parkiran, aku tidak menyadari bahwa Mama menatapku bingung. Aku mencoba menghubungi Yudha. Sampai akhirnya terhubung.
Aku umpatkan semua yang ada dalam hatiku untuknya, atas semua rasa kecewa yang sejak pagi tadi masih membara. Dia hanya mampu terdiam diri di sana dan aku tidak mampu membayangkan bagaimana ekspresinya mendengar kata-kata kasarku. Sampai pesta kecil itu berakhir aku membiarkan ponselku bergetar dengan puluhan lebih panggilan tidak terjawab serta ratusan kali pesan tidak aku baca darinya.
Tanganku mengusap boneka beruang berwarna cokelat muda yang terkujur lemah di atas tempat tidurku. Boneka itu pemberiannya setahun yang lalu, ia mengirimkannya dari Bandung melalui pos saat ulang tahunku dulu. Sembari membayangkan wajahnya aku langsung merasa bahwa sebaiknya melemparkan jauh boneka itu. Dan menit berikutnya boneka itu sudah terkapar di lantai setelah menghantam kerasnya tembok, aku bisa membayangkan bahwa darah sedang mengalirkan disekitarnya.
Bukan hanya boneka itu sebagai pelampiasanku juga mereka yang berada di meja aku dorong sampai berserakan ke lantai. Aku lemparkan tubuhku di atas kasur pada sisa malam kemarin. Menangis hingga aku terbawa mimpi yang tidak berarti.
Tetapi, pagi ini aku merasa rasa kecewa itu telah sirna. Kayu itu kini tidak terbakar lagi, kobaran kekecewaan itu telah padam dengan adanya pesan gambar boardingpass dari Yudha. Aku langsung melompat-lompat kegirangan kurapikan semua barang-barang yang berserakan di lantai ke tempatnya asalanya. Boneka itu tidak lagi meringkuk di lantai, kini ia tidur dengan lembut di atas tempat tidurku. Kupanjatkan selimut untuknya, kucium keningnya sembari berkata, "Sampai bertemu nanti malam di pesta wisuda."
((BERSAMBUNG))
Happy Reading... jika suka silakan vote, jika tidak maka sebaiknya menyempatkan kritik melalui kolom komentar yang terbuka lebar untuk semuanya.
Sesuai aturan odoc dimulai tanggal 14 Maret 2018. Si terter kemarin mengingatkanku. Dan pagi ini dia sudah menyempatkan namaku di ceritanya. Kuy baca punya dia batiaratama.
See you besok pagi
#odoc #OneDayOneChapter
KAMU SEDANG MEMBACA
Aila dan Radit (OPEN PO)
Literatura Feminina!!!SEGERA TERBIT!!! COMPLETE Setiap manusia mempunyai jalannya masing-masing, setiap langkah yang diambil adalah penentu takdir di masa mendatang. Jika salah maka akan terperangkap ke dalam jurang, maka berhati-hatilah. Keputusan Radit untuk mencint...