Semarang, 28 Desember 2017

586 39 1
                                    

Selamat siang Semarang.

Menikmati aroma rumah sakit yang khas seraya sibuk menulis cerita ini aku duduk di ruang poli setelah seluruh tugasku selesai selagi menunggu waktu bejaga ini berakhir.

Boleh jadi aku merasa tidak tenang sepulang dari stasiun dan aku merasa belum lama cincin ini melingkar di jari manisku namun sekarang aku ingin sekali melepasnya. Kenapa? Sebentar, aku akan mulai dari kisahku kemarin yang belum sempat aku tulis karena sibuk di ruang otopsi sampai larut malam.

Aku pernah cerita beberapa hari yang lalu tiba-tiba dia meminta jadwal kosongku dan kemarin malam adalah jadwal kosongku. Dia datang ke rumahku sekitar pukul enam malam setelah salat magrib. Dia datang mengenakan jaket merahnya dan celana hitam. Aku tidak tahu sebelumnya Radit hendak mengajakku ke mana. Namun setelah dia memarkirkan sepeda motor di CiputraMall serta dia sempat berkata, "Aku ingin menonton film bersamamu."

Sebenarnya aku tidak seberapa suka dengan menonton film di bioskop tetapi untuk mewujudkan permintaannya maka tidak menjadi masalah bagiku. Dia memesankan tiket setelah aku baca yang dia beli adalah film berjudul Susah Sinyal. Jujur waktu itu aku berpikir bahwa Radit suka sekali dengan film dengan genre komedi. Sampai akhirnya kami masuk dan dia sempat membeli popcorn dan minuman.

Kalau dibilang filmnya memang lucu, seru scene pemandangan yang sajikan sangat luar biasa. Jujur aku suka filmnya selama setengah perjalanan film itu diputar. Kenapa cuma setengah? Aku akan jawab. Kau tahu, tiba-tiba aku mendapat panggilan saat adegan yang sangat lucu sekali. Radit sampai mengeluarkan air mata saking seringnya dia tertawa.

Yang meneleponku adalah bang Alan, aku sempat kesal juga saat menerima telepon itu tetapi setelah aku tahu alasan bang Alan meneleponku seketika aku ingin keluar dari bioskop. Sebentar aku ingat apa yang bang Alan katakan kemarin malam.

"Aila, kamu diminta dokter Syarif datang ke ruang otopsi segera. Katanya dia mau mengajarimu sesuatu sebelum kamu masuk stase forensik."

Aku langsung berbisik kepada Radit untuk meninggalkan teater film segera. Awalnya ragu karena melihat Radit yang sangat menikmati filmnya akan tetapi melihat keadaan yang sebenarnya. Dia sempat menawarkan untuk mengantarkanku ke rumah sakit namun aku menolak. Hingga aku keluar dari teater dengan langkah cepat ternyata Radit mengikutiku di belakang. Boleh jadi aku bingung dan panik hingga akhirnya aku menuju ke rumah sakit diantar olehnya.

Selama perjalanan aku merasa tidak tenang dan tidak ingin dokter Syarif kecewa denganku karena keterlambatanku setelah pengorbananya untukku hingga aku mampu lulus sarjana kedokteran. Bisa dibilang dokter Syarif adalah bapak sekaligus guru ketika aku berada di kampus dan rumah sakit. Dia yang telah membimbingku hingga aku menjadi seperti ini. Berkat nasihat dan arahannya.

Sesampainya di lobi rumah sakit aku langsung turun dari sepeda motor, saking paniknya aku waktu itu aku belum sempat berpamitan dan mengucap terima kasih kepada Radit. Aku langsung masuk ke dalam rumah sakit untuk berganti pakaian dan segera masuk ke ruang otopsi.

Setelah selasai sekitar pukul sebelas malam aku langsung teringat apa yang belum aku lakukan kepada Radit. Saat aku kembali ke lobi tenyata Radit sudah tidak ada lagi di sana. Padahal aku masih mengira Radit masih duduk di atas sepeda motornya menungguku namun setelah aku menyadari mungkin Radit juga ada urusan lain serta tidak mungkin dia akan menungguku karena aku berada di ruang otopsi hampir tiga jam lamanya.

Aku pulang di antar oleh bang Alan, selama perjalanan aku berusaha menghubungi Radit namun selalu gagal karena ponselnya tidak aktif. Aku terus berusaha menghubungi Radit saat sudah terbaring di atas tempat tidur sambil menggigil karena setelah mandi sampai akhirnya aku tertidur dengan semua ketidakpastian. Aku ingin sekali meminta maaf dan mengucapkan terima kasih yang belum tersampaikan untuknya namun sepertinya dia tampak kesal waktu itu. Saat aku terlelap dalam tidur tiba-tiba ponselku bergetar dan medapatkan pesan masuk dari Radit. Kau pasti tahu jika aku langsung terbangung dan segera membuka pesan tersebut.

[Radit]
Kamu ingat beberapa bulan aku sempat mengajukan surat lamaran pekerjaan di Surabaya? Aku besok lusa ada interview di sana mengenai perkerjaan tersebut doakan aku semoga aku diterima di sana. Aku berangkat ke Surabaya nanti pagi pukul enam pagi di stasiun Tawang.

Aku langsung menjawab pesan tersebut dengan sangat cepat karena aku tidak ingin menundanya lagi dengan mata sedikit buram aku akhirnya berhasil membalasnya.

[Aila]
Aku akan ke stasiun besok pagi, aku mohon jangan naik ke atas kereta sebelum aku datang ke sana. Aku ingin mengatakan sesuatu kepadamu. Jujur rasanya aku tidak mampu membayangkan berada jauh darimu.

Aku tidak tidur setelah mengirim pesan tersebut karena waktu sudah menunjukan pukul empat pagi. Aku merangkul boneka beruangku sambil mengharap balasan dari Radit. Ternyata aku tidak mendapatkan balasan dari Radit sama sekali sampai akhirnya pukul lima pagi setelah salat subuh aku langsung pergi ke stasiun.

Aku tiba di stasiun tepat pukul enam pagi. Setelah sepedaku berhasil terparkir aku segera masuk ke area stasiun, saat itu Radit sudah berdiri dan sedang mengantri untuk pemeriksaan tiket kereta. Aku dilarang masuk ke area ruang tunggu penumpang karena aku tidak bertiket. Dengan banyak usahaku dengan petugas itu adalah sia-sia. Radit pun tidak menoleh ke belakang sama sekali padahal aku sudah berteriak memanggilnya. Hingga aku menyerah lalu berteriak sekeras mungkin memanggil namanya. Alhasil semua orang memandangku termasuk Radit yang sebentar lagi mendapatkan giliran pemeriksaan tiket.

Segera dia berjalan medekat ke arahku dan memelukku dengan erat sambil berkata, "Aku bekerja di Surabaya adalah cita-citaku sejak lama, ini juga untuk menambah tabungan pernikahan kita."

Boleh jadi aku menangis dalam pelukan itu aku tidak tahu kenapa aku menjadi sangat lemah. Aku merasa tidak ingin jauh dari Radit. Aku terlalu berekspektasi bahwa nantinya sikap Radit akan berubah. Aku trauma kisahku dengan Yudha akan terulang kembali, walaupun keadaannya berbeda. Aku tahu Radit tidak akan mengkhianati hubungan ini. Aku yakin Radit akan baik-baik saja selama di Surabaya.

Aku senang akhirnya dia mendapatkan perkerjaan tetap setelah berbulan-bulan dia menderita karena ijazah S1 dan S2nya tidak terpakai karena berkerja sebagai pelayan kafe. Tetapi boleh jadi aku tidak rela di pergi saat ini.

Dia melepas pelukanku. Mengambil sepidol dengan susah payah di tas ranselnya lalu menulis di tanganku. Sampai saat ini aku tidak berani membuka tanganku karena aku terlalu takut.
Setelah dia menuliskannya waktu itu dia berkata, "Silakan buka jika kamu sudah siap." Lalu dia pergi dan aku terpaku dan tercengang sampai aku tidak mampu mengatakan apa-apa sampai Radit masuk ke dalam.

Kurasa sampai di sini aku menulis aku tidak sanggup lagi mendeskripsikan tingkat emosionalku saat ini, sungguh tidak pantas jika aku menangis di Rumah sakit. Aku yakin Radit akan kembali walapupun aku tidak tahu apa yang dia tulis di tangan kiriku.

((BERSAMBUNG))

Perpisahan jarak tidak akan melunturkan perjalan kisah kita dan akan menjadikan kita orang yang hebat bisa mempertahankan hubungan ini sampai akhir hingga takdir memisahkan kita di alam yang berbeda.

Yuhuu, gimana? Ada pertanyaan? Silakan lontarkan melalui kolom komentar atau kalau kamu mau diDM aja soalnya penulisnya ngakunya jomblo.

Aila dan Radit (OPEN PO)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang