Semarang, 10 November 2020

446 28 0
                                    

Sorotan cahaya putih menerjang mataku saat aku masih belum siap menerimanya. Perlahan aku membukanya walau sedikit buram hingga membuat kepalaku berdenyut. Tangan kananku terasa mengganjal seperti ada tusukan jarum menancap di sana. Ya, tanganku sedang diinfus.

Waktu itu sambil duduk aku berusaha keras mengingat bagaimana aku bisa tiba di atas tempat tidur rumah sakit sedang terakhir aku memeluj Radit dengan mempersembahkan medali yang berhasil aku raih. Apakah aku tidur setelah itu? Pertanyaanku baru terjawab tadi saat Radit masuk ke bangsalku dengan kursi dorong yang didorong oleh bang Alan.

Radit dibantu oleh bang Alan untuk duduk di tempat tidurku, kemudian dia menceritakan jika aku pingsan dalam pelukannya kemudian bang Alan menambahkan bahwa aku pingsan disebabkan oleh kurang seimbangnya kadar natrium dalan darah atau yang disebut dengan hiponatremia. Ya, aku pernah dengar itu dan aku tahu penyebabnya. Gejalanya memang aku rasakan saat di kereta namun aku tidak menyadarinya. Kau tahu ekpresi Radit waktu mendengar apa yang terjadi padaku sudah terlihat sangat menyesal dia sempat meminta maaf kepadaku. Bukannya memaafkannya tetapi aku tidak tahu kenapa harus menerima maafnya jika dia tidak sama sekali bersalah kepadaku.

"Rasa terimakasihku tidak akan cukup dengan pengorbananmu. Ai, saat kamu pingsan tadi aku sungguh panik, aku mengiranya kamu..."

Dia tidak melanjutkan perkataannya namun dia lebih dulu memelukku sambil menangis terseduh, mencium keningku lalu kedua pipiku dan terakhir dia menekan bibirku dengan bibirnya sambil memejamkan mata. Aku menikmati setiap setuhannya dan sedikit malu karena bang Alan waktu itu memperhatikan kami. Radit lagi-lagi memelukku.

Saar Dia sudah mulai merenggangkan pelukannya aku mencoba sisa-sisa air mata masih menempel di pipi. "Ternyata suamiku lebih cengeng dariku." Aku sambil tersenyum ketia mengucapkan itu kepadanya.

Namun dia membela. "Tidak apa yang penting di depan istriku sendiri bukan istri orang lain."

"Ya seharusnya seorang suami tidak boleh sedih di depan istrinya."

"Biarin yang penting aku sayang sekali kepada istriku." Radit tersenyum kepadaku dan mencoba menciumku lagi namun aku berhasil menghindar dan mencoba membujuknya untuk segera melakukan terapi lagi untuk percobaan ketiga dalam berjalan.

"Kamu harus lihat bagaimana perkembanganku." Dia pun turun dibantu oleh bang Alan. Saat dia sudah duduk di kursinya. Aku juga ikut turun memegang tiang penyangga infus dan mengikuti dari belakang kemana bang Alan mengajak Radit pergi.

Tiba akhirnya di tempat pelatihan berjalan rasanya aku sedikit khawatir karena terakhir yang aku lihat adalah Radit hanya mampu melangakah dengan sangat kecil kemudian dia sudah mulai terjatuh. Aku dan bang Alan berdiri cukup juah dari posisi Radit karena sudah ada tim medis khusus yang membantu dia untuk berlatih. Saat Radit sudah mulai berusaha berdiri rasanya aku cukup bahagia karena dia sudah hampir sempurna walapun sedikit bergetar. Dia menatapku sejenak sambil menyajikan senyuman kepadaku aku pun juga membalasnya sambil berkata, "Semangat."

Rasanya aku sudah tidak sabar saat Radit mulai memejamkan mata seperti berusaha menggerakan kakinya. Dalam hatiku berteriak Ayo! Ayo! Ayo! Suamiku pasti bisa. Aku juga tidak lepas untuk berdoa agar dia segera bisa melangkahkan kakinya.

Jemari kakinya sudah mulai bergerak, dia juga sudah mulai mengangkatnya walaupun itu seberapa tinggi. Radit lagi-lagi tersenyum kepadaku, saat satu langah berhasil dicapai di susul langkah kaki kedua dan yang ketiga lebih sempurna dari pada yang pertama. Kau tahu aku langsung melebarkan mataku setengah tidak percaya bahwa Radit sudah berhasil melangkah dengan sempurna dan aku tahu walaupun tidak sesempurna manusia normal tetapi itu adalah perkembangan yang sangat luar biasa.

"Kamu tahu tidak saat kamu pingsan tadi apa yang dilakukan Radit saat dia sudah panik sekali?" bisik bang Alan saat Radit sudah diberi alat bantu berjalan yang bernama kurk. Aku menjawab dengan menggeleng dan masih memperhatikan Radit yang berjalan mendekat dengan susah payah.

"Dia berjalan dengan susah payah menuju pintu bangsalnya lalu berteriak minta tolong karena dia terjatuh ketika hendak berjalan ke ruang perawat."

"Serius Bang?" tanyaku dengan nada terkejut bertepatan dengan Radit yang sudah berdiri di depanku.

Bang Alan hanya menganggukan kepala sadangkan aku memeluknya dengan erat sambil mengucapkan terima kasih. Aku tahu mungkin ini adalah mukjizat dari tuhan membuat Radit akhirnya mampu berjalan tanpa harus duduk di kursi roda lagi untuk ke mana-mana. Yang aku tahu sekarang adalah aku bahagia dan Radit penyebanya atas berkah dari tuhan yang menciptakan krbahagiaan di bumi ini.

Radit di pindahkan ke bangsalku jadi kami satu bangsal yang sama, sekitar pukul sembilan malam kamu berdua duduk berhadap-hadapan di tepian tempat tidur saling pandang untuk sekian menit. Dia menceritakan kebahagiaannya kepadaku begitu pula aku menceritakan secara detail ceritaku saat perlombaan lari marathon dua hari yang lalu.

Saat ceritaku selesai dia pun mengucapkan selamat kepadaku sekali lagi. "Selamat atas kemenenganmu yang mendapat medali dari garis finis ke 98."

Aku mengangguk dan tersenyum kepadanya. "Selamat juga kamu sekarang sudah bisa berjalan semoga beberapa hari kedepan sudah tidak menggunakan alat bantu lagi."

"Aamiin, sudah saat tidur jangan teralu letih ingat kamu juga sekarang sedang sakit."

"Aku dokter Radit tahu yang harus aku lakukan."

Dia pun mengelak. "Kalau dokter kenapa bisa sakit? ya maaf karena aku kamu jadi seperti saat ini."

Aku juga tidak mau kalah jadi aku menjawab, "Sudah cukup ah, dokter juga manusia pasti bisa sakit juga dan tolong ini sakitku sekarang bukan karena kamu ini karena kecerobohanku jangan menyalahkan dirimu sendiri."

"Baiklah, selamat tidur. Sekarang kita tidurnya terpisah, besok saat sudah pindah ke Surabaya kita akan tidur satu ranjang lagi." Dengan susah payah Radit memeindahkan kakinya dengan tangganya untuk memposisikan seluruh tubuhnya berada di atas tempat tidur kemudian barulah dia berbaring.

Aku turun dari tempat tidur memegang tingkat penyangka infus lalu membawanya mendekat ke tempat tidut Radit. Membatunya memasang selimut lalu mengecup keningnya dia pun akhirnya memejamkan mata. Aku kembali dan menyambar buku merah ini lalu duduk seperti tadi dan menulis ceritaku pada hari ini dengan susah payah karena suntikan infus ini menggangguku dalam menulis. Maaf jika tulisanku jelek.

((BERSAMBUNG))

Perjuangan dapat diukur dari hasil, terima kasih kamu telah membantuku mengartikan perjuangan yang sesungguhnya.

Aila dan Radit (OPEN PO)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang