Bandung, 3 Februari 2020

440 31 0
                                    

Pagi ini aku merasakan bahwa kesyahduan kota ini membuatku membutuhkan pelukan yang sangat hangat hingga aku terbang ke angkasa dan melupakan dunia untuk sementara. Boleh jadi aku merindukan pelukan seseorang yang sekarang berada di Surabaya, sedang dia bagaimana terhadapku aku tidak tahu.

Mengingat seyum ramah, raut wajah setia dan tatapan mendalam yang pernah dia sajikan kepadaku secara cuma-cuma membuatku tercabik pada jilatan api kesunyian yang perlahan mulai membakar hatiku hingga menciptakan aroma kerinduan yang sangat pekat, menyulitkanku untuk membuka kesadaran bahwa kicauan burung walet sangat menenangkan.

Detik-detik berlalu terasa terbuang tanpa membawakan hasil jika aku terus saja menghisap ini semua, tidak menutup kemungkinan bahwa aku akan menjadi pecandu rindu yang rawan sekali merasa ketakuan untuk kehilangan. Sajak-sajak atau sepetik kalimat tidak akan pernah cukup memenuhi hikayat penantian pertemuan ini karena usaha yang dilakukan adalah sia-sia.

Secangkir kopi panas menemaniku pagi ini, disajikan saat aku mengenang masa-masa bahagia. Tiba saat detik-detik waktu kian terlewati, aku mulai terhanyut dalam penuh kegiatan kewajibanku di puskesmas. Mengesampingkan masalah pribadi di tengah gundahnya kesibukan adalah sikap yang bertanggung jawab.

Aku pulang dari sana sekitar pukul dua siang, sebenarnya aku tahu jika rumah akan sepi akan tetapi aku merasakan ada medan magnet yang cukup kuat hingga aku terpikat untuk segera tiba ke rumah. Boleh jadi aku merasa sangat gelisah saat di perjalanan, namun rasa gelisah itu akhirnya terjawab bahwa ada seorang pria berdiri di depan pintu rumah. Kau pastinya tahu siapa pria itu, waktu itu tanpa berpikir lama sebelum otakku memberikan perintah aku langsung segera berlari dan memeluknya dengan sangat erat. Rasa rindu di dada, penat di kepala dan lesu di wajah langsung berubah menjadi gelora bahagia yang tidak terkira lagi.

Aku meminta Radit untu duduk di kursi meja makan sedang aku akan memasak untuknya di dapur, beruntung di lemari es ada beberaoa bahan masakan yang aku buntuhkan. Terlintas dibenakku bahwa membuat makan siang ini menjadi lebih terkesan romantis sambil menanti kuah bumbu meresap ke dalam daging ayam aku mencoba mencari lilin dan tatakan yang nantinya kan aku letakkan di meja makan. Setelah aku dapatkan semuanya itu aku langsung menuju ke meja makan dan meletakkan dia atas meja. Radit menatapku sambil mengernyit jika aku boleh menebak pasti dia mengira aku menghidangkan masakan kepadanya berupa lilin.

“Aku kira kamu akan memasak masakan yang lezat sekali namun ternyata kamu menghidangkan lilin untuku?” katanya dengan nada kecewa. Aku waktu itu hanya menahan tawa dan segera kembali ke dapur.

Aku perlu dua kali kembali ke meja makan karena yang perlu aku hidangkan untuk Radit cukup banyak, aku tahu dia suka sekali dengan aroma masakan yang aku buat dari melihat dia tampak menghirup udara dalam-dalam seolah menghirup udara segar di pagi hari. Sambil menghambur senyuman kepadaku aku masih perlu menyalakan lilin lalu membantu mengambilkan nasi di piring makannya.

Dia sempat bertanya kepadaku apakah aku tidak ikut makan dan ya, perutku terasa kenyang waktu itu karena melihat wajahnya sudah memenuhi seluruh isi pada hatiku tanpa ada ruang sedikitpun. Aku terus saja memperhatikannya selagi dia mulai memasukkan satu sendok ke dalam mulutnya, dia memejamkan mata seperti sangat menikmati dan aku pun merasa puas dengan ekspresi yang dia tawarkan kepadaku.

“Bagaimana dengan ayam panggangnya? Aku sebenarnya mau buat ayam bakar kesukaan kamu tetapi aku rasa terlalu lama dan aku tidak ingin kamu menunggu.”

“Ini saja rasanya sudah melebihi ayam bakar di restoran bintang lima di Surabaya waktu itu,” jawabnya, boleh jadi aku tidak tahu apakah dia berkata jujur atau sekadar pujian untukku akan tetapi aku tidak mempermasalahkan itu yang aku tahu dia merasa puas dengan masakanku.

Dia pun selesai makan dan aku segera membereskan makanan di meja serta piring kotor, aku secara sengaja membiarkan lilin itu tetap menyala meninggalkan kesan makan di tempat mahal namun faktanya hanya di ruang makan di rumah kontrakan yang kecil. Saat aku kembali duduk dia pun mencium pipiku dengan gemas kemudian berkata, “Terima kasih istriku.”
Aku pun juga menjawab, “Terima kasih dariku juga telah membantuku menjadi istri yang baik di mata kamu, tinggal satu keinginanku adalah menjadi seorang ibu.”

Aku tahu Radit mungkin merasa kecewa dengan jawabanku, bukan berarti dia tidak ingin memiliki anak melainkan dia hanya ingin masing-masing dari kami saling mendukung keinginan yang belum tercapai dan menurutnya memiliki anak adalah impian bersama yang akan diwujukan secara bersama setelah semua selesai. Aku cukup memahami masalah ini karena sudah berkali-kali kami membicarakannya akan tetapi aku merasa keinginanku menjadi seorang ibu harus tertunda sampai aku akhirnya menyelesaikan internsip ini.

Detik berikutnya aku merasakan ada sesuatu yang mengalir di pipiku, boleh jadi hingga saat ini aku menulis semua ceritaku semua tetap sama. Impianku untuk saat ini adalah menjadi ibu namun aku harus menyelesaikan tugasku sebagai dokter di samping Radit menggapai cita-citanya sebagai pelari besok di bulan april serta lari marathon di bulan juli.

Jika tahun 2020 ini adalah tampat mewujudkan impian lantas apakah impianku menjadi seorang ibu akan tiba di tahun ini juga? Aku hanya ingin tahu kenapa Radit harus menunda sedangkan aku sudah siap. Aku sendiri tidak berani bertanya atau mungkin akan timbul masalah baru. Menatapnya yang tertidur pulas setelah dia mengajakku terbang ke angkasa malam ini adalah di mana air mata ini mulai membanjir karena tahu pada akhirnya aku belum bisa menjadi ibu.

Aku tidak tahu sampai kapan air mata ini akan mengering walaupun tidak tampak di kelopak mataku namun pada dasarnya ada tangisan tidak besuara namun mendatangkan luka yang tidak berdarah.

Mungkin aku harus mengakhiri tulisan ini sebelum lembaran akan menjadi koyak karena ribuan air mata yang bemuara, untuk malam ini terima kasih untuk dia yang sudah membawaku ke angkasa seperti yang aku rindukan pagi tadi. Sejatinya rasa rindu yang menumpuk itu telah terobati walaupun besok dia harus kembali ke Surabaya.

((BERSAMBUNG))

Bagimu menunda adalah alasan untuk belum siap namun nyatanya aku hanya menantikan waktu yang tepat, sejatinya menunda adalah kesiapan tumbuh disamping keyakinan mampu mengatasi.

Aila dan Radit (OPEN PO)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang