Ayahku, Raditian Nugraha

984 34 1
                                    

Sepulang dari rumah om Rendy dan setibanya di apartemen, saat itu Ayah sedang makan malam dan mbak Arini berada di dapur. Aku langsung mengecup kening Ayah dan langsung duduk.

"Dari mana Lia, kok telat pulangnya?" tanya Ayah saat aku sedang membalik piring makan. "Cuci tangan dulu dong, Li."

Aku langsung pergi.

"Tadi Lia, dari rumah om Rendy," jawabku ketika sudah kembali dan sambil mengambil nasi.

"Tadi Ayah mengantarkan om Rendy pulang loh, kok ayah ndak lihat kamu?"

"Iya tadi di kamarnya tante Veona," aku sudah mulai mengambil ayam dan sayur bayam untuk di pindahkan ke piring makan namun setelah semua siapnaku santap tapi rasanya aku tidak ingin makan segera. "Yah? Lia boleh ngomong sesuatu?"

"Silakan? Ngomong apa? Mau beli novel baru?"

"Bukan! Tapi tentang Bunda."

Ayah membisu. Meletakkan alat makannya dengan hati-hati seolah takut jika terdengar suara maka piring itu akan meledak. Dia tiba-tiba menatapku serius. Aku mendengar jantungku meledak. Kemudian dia berdiri dan berjalan meninggalkan meja makan. Aku bingung kenapa Ayah pergi begitu saja tanpa penjelasan. Padahal aku tidak merasakan bahwa Ayah sedang marah ataupun kesal terhadapku.

Aku melihat ke arah mbak Arini, alih-alih mendapatkan jawaban atas sikap Ayah ternyata dia bergidik. Tidak lama setelah itu Ayah kembali lagi dia membawa buku merah itu dan meletakan di samping piring makanku.

"Ayah tahu seminggu yang lalu kamu mencurinya di lemari pakaian Ayah." Lagi-lagi Ayah memulai makan lagi. "Jika kamu ingin tahu tentang Bunda semua ada di situ, tapi... ehm, Ayah rasa kamu sudah tahu."

Aku memberikan secarik kertas kepada Ayah dari pemberian tante Veona. "Dari Bunda lewat tante Veona."

Ayah langsung tersedak dan sirgap aku menyodorkan minum kepadanya. "Apa ini?"

"Kenapa Ayah selama ini membiarkan aku membenci Bunda, padahal selama ini aku yang menyebabkan Bunda pergi."

"Mbak Arini tolong piring saya bawa ke dapur, saya sudah selesai makan," kata Ayah mengambil secarik kertas itu dan segera membacanya.

"Ini soal Bunda." Kali ini mata Ayah sudah terfokus pada tulisan-tulisan di kertas itu. Tapi akubtetap melanjutkan, "Kenapa Ayah menyembunyikannya ini selama enam belas tahun. Kenapa baru sekarang Ayah kasih buku merah ini ke Lia?"

Ayah tidak menghiraukan perkataanku. Dia terus tesibukkan membaca secarik kertas itu. Bahkan gesturnya terlihat jelas sedang membaca secara mendalam setiap goresan tinta itu. Aku tahu Ayah sayang sekali kepada Bunda namun kenapa dia tidak ingin aku mengetahuinya.

"Maafkan Ayah," kata Ayah lemah dan langsung merosok ke bawah bersimpuh di sampingku lalu memeluk pinggangku erat-erat.

Aku diam. Napasku terasa berat dan dadaku terasa sesak. Ini pertama kalinya Ayah menangis di depanku. Aku tidak merasakan bahwa Ayahku lemah tetapi dia sosok yang tegar, kuat dan pemberani. Dia sanggup hidup membesarkan putrinya seorang diri dengan segenap rasa bersalah. Mungkin Ayah bingung menjelaskan bagaimana mengatakan jika Bunda telah pergi. Padahal sebenarnya dia tidak pernah menganggap Bunda benar-benar pergi. Dia masih hidup, tapi sosoknya berubah menjadi kenangan yang tergores dalam buku merah, buku hariannya.

Setengah jam tak terasa. Suasana di meja makan perlahan membaik. Kini aku dan Ayah duduk di sofa di depan televisi yang menyala. Aku sudah berganti baju. Ayah duduk dengan gagahnya mengenakam kaus hijau lumut dan celana putih sedangkan aku mengenakan celana pendek di atas lutut dan kaos berwana putih duduk bersila sambil menyantap popcorn dingin dari lemari es.

"Maaf, jika Ayah baru ceritakan ini."

Aku mengagguk paham.

"Bunda memang sudah meninggal, dia di makamkan di Surabaya. Besok pagi kalau kamu mau, kita bisa ke sana." Ayah diam sejenak membenarkan posisi duduknya. "Kabar kematian Bunda sepeti cambuk bagi Ayah."

Ayah meneteskan Air mata tetapi dia tetap berusaha tegar. Segera aku meletakkan semangkuk popcornku dan menghapus air mata Ayah. Aku memegang tanggannya yang dingin sekali sambil mengusap punggung tanggan.

"Bunda merahasiakan semuanya. Jika tahu sejak awal Ayah tidak akan pergi ke Singapura." Ayah menggelengkan kepala. "Bunda meninggalkan kita di saat dia berulang tahun. Sehari setelah hari kelahiranmu. Ayah menyesal tidak sempat memberikan hadiah ke pada Bunda. Ayah sudah persiapkan segalanya semua yang Bunda impikan."

Ayah mengembuskan napas berat lalu melanjutkan, "Bunda ingin sekali makan cokelat dari Singapura lalu pergi ke kebun binatang dan akhirnya makan di KFC dengan memesan seember chiken wings kesukaannya."

"Ayah sungguh menyesal dan malu baru menceritakan ini kepada kamu, Ayah takut Lia benci Ayah."

Aku langsung memeluk Ayah dengan erat dan aku langsung menangis terseduh-seduh, dadaku samakin sesak dan napasku terengah-engah, begitupula Ayah.

"Aku sayang Ayah, terima kasih telah menjagaku hingga saat ini aku bisa memeluk Ayah. Maaf seribu maaf jika Lia punya salah kepada Ayah."

"Ayah juga minta maaf."

Ayah, manusia paling tegar yang aku kenal. Manusia paling setia dan paling memiliki rasa kasih sayang kepada keluarga. Itu semua tidak bisa dihitung dengan alat ukur apapun. Kesungguhannya untuk membuatku tersenyum dan dulu selalu membuat Bunda tersenyum juga adalah salah satu poin penting dari Ayah. Terima kasih Ayah telah membuktikan di depanku bahwa seorang pria sejati itu ada.

Setelah itu kami langsung menonton drama korea untuk menghilangkan suasana haru. Namun tidak terasa aku tertidur di pundak Ayah yang nyaman. Ketika bangun sudah berada di kamar.

Ayah membangunkanku sengaja membiarkanku tidak sekolah hari ini karena dia ingin mengajakku ke makam Bunda. Aku pun segera bergegas bersiap-siap. Mbak Arini juga ikut pergi ke makam bersama kami karena setelah pergi ke makam kami berencana untuk menonton di bioskop.

Setibanya di makam Bunda, memang benar tanggal kelahiran dan tanggal kematian Bunda sama. Tepat setelah tanggal kelahiranku. Aku dan Ayah berusaha setegar mungkin untuk tidak menangis namun kenyataannya kami berdua gagal. Air mata itu sudah tidak bisa tertahankan lagi.

Bagaimanapun Bunda adalah sosok terbaik dalam hidupku di mana aku tidak mendapatkan kesempatan melihatnya secara langsung. Tapi aku tahu Bunda adalah sosok yang cantik, ramah, murah senyum dan wanita yang tangguh melebihi apapun yang aku kenal.

I love You mom.

((BERSAMBUNG))

Aila dan Radit (OPEN PO)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang