Pesaing Baru

128 9 0
                                    

Zuan berjalan memutari pos. Dia dan Shomad masih saling bertatapan, lalu Zuan memilih duduk di dekat Naura. Kertas berisi teka-teki tadi dikembalikan ke hadapan Naura.

Naura kebingungan. Zuan dan Shomad hanya saling adu pandang tanpa bicara sama sekali. Zuan dan Lita saja tidak pernah bertatapan sampai selama itu.

"Zuan, kak Shomad..."

"Sssssshhhh..." sahut Zuan dan Shomad bersamaan. Naura mendadak bungkam.

"Kuharap kau tidak mengganggu Naura lagi," Zuan memulai pembicaraan.

"Selama janur kuning belum melengkung, aku berhak mendekati gadis mana pun," kata Shomad sinis. "Lagipula, gadis manis ini sepertinya tipeku,"

"Dia calon istriku, kau lihat, di tangan kirinya?"

Naura cepat-cepat menutupi tangan kirinya supaya menyembunyikan cincin di jari kirinya. Memang benar kata Zuan barusan.

"Cih! Kalian memamerkan hubungan kalian seperti anak SMP saja. Menjijikkan sekali," komentar Shomad tidak suka. "Ah, biarkan saja. Kelak kau sendiri yang akan melepas cincin itu,"

Zuan kesal. Rasanya dia ingin menonjok muka si kacamata tebal itu. Namun, beberapa saat kemudian, seorang lelaki tua datang membawakan segelas es teh.

"Kemarikan, itu, mbah," ujar Shomad.

Maka lelaki tua tadi memberikan gelas itu pada si Shomad. Peperangan antar dua pemuda dihentikan sejenak demi menghormati kedatangan seorang pria sepuh itu. Shomad dan pria itu berbincang-bincang cukup akrab hingga dirasa Shomad sangat mengenalnya ketimbang Zuan. Setelah lelaki tua pemilik warung kopi tadi pergi, Shomad segera meminum es tehnya sampai tersisa separuh.

"Sepertinya kalian sudah saling kenal," tebak Zuan

"Tentu. Mbah No sudah menganggapku seperti cucunya. Semenjak kepergiannya ke Kalimantan empat bulan lalu, aku sudah tidak pernah kemari. Saat aku kemari, rupanya sudah ada bidadari yang menungguku di sini. Yah, meskipun ternyata lemari kesayanganku telah dirusak oleh tangan orang bodoh,"

"Isi etalase itu jauh lebih bodoh daripada orang yang merusaknya," Zuan berkilah. "Coba lihat orang-orang syariah tidak akan jauh lebih pintar dalam menghitung,"

Sekarang Naura diam saja. Dia dan ketiga hewan malah menikmati perdebatan tidak bermutu di antara kedua laki-laki itu. Naura berpikir, pertengkaran orang-orang cerdas dan berpendidikan tidak akan sampai adu fisik. Naura hanya sedikit kurang suka tentang perdebatan memperebutkan dirinya.

"2,7,5,1,9,3,10..." Kata Shomad. "Baris pertama teka-teki brengsek itu,"

Naura langsung mengambil alat tulisnya. Ia mengisi kotak-kotak kosong Sudoku di baris pertama sesuai perkataan Somad. Pitty, Tarsy, dan Prina juga melompat dari pangkuan Shomad dan Naura. Ketiga hewan cerdas itu mengerumuni kertas yang diisi Naura seolah-olah tertarik padanya.

"4,10,3,6,1,5,7. Wah, rupanya seperti itu cara kerja otak anak syariah," balas Zuan tak mau kalah. Naura mengisi baris ke dua Sudoku sesuai ucapan Zuan.

"Sejak tadi kau hanya menghina Syariah dan literasinya. 4,1,8,2,3,5,9,6. Jurusan kami prospek kerjanya lebih baik ketimbang Tarbiyah. 7,3,5,1,10,8"

"Kalian menjual hukum dan menguangkannya, 9,10,7,6,3,8. Dan 2,8,4,3,10,5,7."

"Tapi kami tidak memperlakukan sekolah sebagai sumber penghasil uang. 9,1,4,7,6,5."

"10,7,6,8,4,1,2,3. Kau cuma orang cerdas yang salah ambil jurusan,"

"8,2,5,10,3,4. Bukankah kau juga demikian, wahai, detektif Zuan, pemecah kasus Liquid Silver? 3,9,7,10,2,6,8,1. Buff!! Bingo!" Lagi-lagi Shomad memposisikan jarinya seperti sedang menembak. Sekarang dia meletakkan ujung jarinya di dahi Zuan.

Zuan menangkap jemari Shomad dan meremasnya kuat-kuat. Amarahnya sudah semakin memuncak.

"Enyahlah dari sini dan jangan ganggu Naura-ku lagi, tuan Shomad. Atau kupatahkan jemari lentikmu ini," ancam Zuan.

"Well, okey,"

Shomad angkat bahu. Dia menghabiskan minumannya, menarik tangannya dalam sekali sentakan supaya lepas dari genggaman Zuan, lalu turun dari pos itu. Lantas, pemuda itu segera memakai sepatunya dan pergi dari sana.

"Ayo pulang, anak-anak," teriaknya dari kejauhan. Ketiga hewan langsung meninggalkan pos itu tanpa permisi. "Dan minumanku, tolong bayarkan, ya, detektif..."

Zuan melihat pemuda itu dari kejauhan. Dia malas menyahut perkataan Zuan. Biarlah dia yang membayar pesanan Somad, setidaknya si brengsek itu cepat enyah dan berhenti mengganggu pujaan hatinya.

Ngomong-ngomong soal pujaan hati Zuan, Naura saat itu masih sibuk dengan sudokunya. Meskipun sudah terisi penuh, ia masih sempat memeriksa kertas itu barangkali ada bagian yang keliru.

"Hey, kampret..." Panggil Zuan kesal.

Naura mengangkat wajahnya.

"Iya? Loh..." Naura kebingungan. Dia mencari-cari sesuatu. "Ke mana Kak Shomad, Prina, Tarsy, dan Pitty?"

"Tuh!"

Agak kecewa Naura ketika pemuda yang baru dikenalnya tadi pergi tanpa pamit. Dia ingin mengenalnya lebih jauh lagi. Aduh, perasaan apa ini? Kenapa Naura memiliki ketertarikan yang berlebihan dari laki-laki itu?

"Zuan, sebenarnya dia siapa?" Tanya Naura lirih.

"Emm, dia ya?" Zuan memerhatikan Shomad dari tempat itu. Pemuda itu berjalan santai diiringi ketiga teman faunanya. "Dia Abdul Shomad, semester VII HKI, sekretaris umum BEM, ahli dalam perangkat lunak, dan kecerdasannya jauh melebihiku. Dia juga detektif hebat,"

"Benarkah?"

"Ya. Dia tinggal di pesantren milik kampus, meskipun dari gayanya tidak menunjukkan gaya santrinya, ahli dalam memegang senjata api, dan kata orang, dia jago bela diri hanya jika memegang laras. Pemarah, mata keranjang, dan egois. Yang berbahaya darinya, kemampuan analisisnya jauh lebih mengerikan dariku. Seperti ibuku,"

"Ke-keren..."Ucap Naura.

"Heh, apa kau tertarik dengannya?" Zuan mulai menginterogasi.

"Eh, ti... tidak! Aku tidak tertarik padanya!"

"Awas kalau sampai kau dekat-dekat dengan si empat mata itu!"

"Kenapa sih? Zuan pencembu banget!"

"Biar saja. Aku tidak menyukai orang itu. Kuharap tidak bertemu dengannya lagi,"

"Iya," kata Naura sambil terpaku memandang punggung Shomad. "Mudahan saja,"


3. Detektif KedelapanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang