Pria Misterius, Eh, Wanita!

98 5 0
                                    

Pelan-pelan Naura membuka pintu belakang.

Sejuk udara pedalaman menerobos masuk dapur luas itu. Sejenak Naura menggigil sebelum tubuhnya mulai terbiasa. Tidak ada matahari, kecuali hanya langit yang tertutup kabut tebal. Lapangan hijau terhampar luas, mungkin sekitar beberapa ratus meter persegi. Terdapat banyak sisa pohon ditebang, sementara tumpukan log kayu tersebar di beberapa tempat menyebabkan area itu terkesan tidak layak dipakai bermain bola.

Kecuali untuk latihan tembak dan permainan tempur.

Benar saja, Naura mendapati para pria bergerombol di atas tumpukan kayu yang paling tinggi. Mereka berposisi tiarap, dan salah satu dari mereka memegang busur berpelatuk milik si pemuda berkacamata.

"Pertahankan posisi, pegang dengan cara begini dan bidik," kata Shomad memberikan intruksi kepada pria muda di sebelahnya. Kedua tangan Shomad mengatur posisi tangan pria itu demi mengajari cara memegang senjata yang benar.

Cukup lama pria itu membidik. Ia sampai menahan napas agar tubuhnya tidak bergerak. Setelah dirasa larasnya mengarah ke target yang dikehendaki, pria itu melepaskan tembakannya.

Slepp..

"Hmmm, tidak buruk," komentar Shomad dengan bibir melengkung ke bawah. Dilihatnya peluru gotri menancap pada kayu sedikit melenceng dari sasaran tembak. "Sekarang coba tidak pakai scope,"

"Pakai teleskop saja melenceng, apalagi nggak pakai," gerutu pria itu setengah tertawa. Shomad ikut tertawa.

"Aku juga mau coba," serobot Pak Hindarto. "Mas Ramdhan, boleh saya pinjam?"

Pak Hindarto tampaknya sudah tidak sabaran lagi. Belum sempat Ramdhan –pria muda- itu menyerahkan crossbow di tangannya, Pak Hindarto sudah menyahutnya lebih dulu.

"Ehemmm..."

Naura berdehem agak keras. Shomad dan Ramdhan menoleh ke belakang, mereka tidak sadar jika Naura sudah memerhatikan mereka sejak tadi.

"Ada apa manis?" Tanya Shomad sedikit menggoda.

"Makanan sudah siap," jawab Naura tanpa mempedulikan omongan Shomad. "Ayo kita makan dulu,"

"Sebentar," sahut Pak Hindarto cuek. Ia baru saja selesai menarik busur crossbownya dan hendak membidik. Dia tidak ingin aktivititasnya diganggu.

"Beberapa menit lagi, kami menyusul," tambah Ramdhan. "Setelah Pak Hindarto menembak, ya,"

"Baiklah. Cepat ya, mas,"

"Pergi sana, hus, hus," ujar Shomad seperti mengusir. Naura tahu candaan itu, jadi ia membalasnya dengan menjulurkan lidah sebelum beranjak dari tempat itu.

Sleepp...

Satu tembakan Pak Hindarto mendarat tepat mengenai sasaran.

"Wuaaaa!!"

Naura dan tiga laki-laki itu terkesiap. Suara jeritan Zevita. Mereka terburu-buru berlari ke dalam rumah. Pak Hindarto melemparkan laras seberat tiga setengah kilogram itu kepada Shomad selaku pemiliknya.

Mereka sampai di dapur. Dari dapur mereka melewati kamar mandi, menuju ke kamar depan tempat Zevita berteriak tadi.

Mereka tersentak saat sampai di depan kamar. Zevita duduk gemetaran, wajahnya pucat. Seorang misterius bertopeng seperti pria tadi malam mendekatinya dengan membawa sebilah pisau dapur. Dalam posisi begitu, Zevita menjerit-jerit histeris dan terus mundur hingga punggungnya menabrak tembok. Sementara Bu Rumi telah tewas mengenaskan di bawah jendela kamar yang terbuka lebar. Luka gorokan sedalam beberapa senti di lehernya menyebabkan darah wanita itu berhamburan cukup jauh dari mayatnya berada.

"Pergi, kau, pergi!" Teriak Zevita.

"Jangan bercanda, kau! Jauhi gadis itu!" Teriak Pak Hindarto ikutan panik.

Slepp... Tangg!!

"Mana ada pembunuh yang suka bercanda," kata Shomad bak pahlawan.

Entah bagaimana, Shomad berhasil menjatuhkan pisau di tangan laki-laki misterius itu dengan peluru gotrinya. Sekarang dia masuk dan hendak menghadapi orang itu. Supaya tidak kabur, Shomad berdiri tepat di depan jendela.

"Shomad, hati-hati!" Seru Ramdhan malah menyemangati. Naura tidak berani bilang apa-apa sebab dia sendiri gemetaran.

"Pergi, Zevita," perintah Shomad pelan. "Orang ini tidak mau enyah dari sini setelah senjatanya jatuh, sepertinya dia cukup jago juga," katanya sambil me-reload crossbownya.

Lantas Zevita segera pergi dari situ. Dia berlari ke arah pintu dan memeluk Naura sambil menangis. Dua pria yang berada di depan pintu berdiri sigap melindungi kedua gadis lemah itu.

Pria misterius tadi langsung bergerak cekatan mengambil pisau di lantai. Sekali lagi Shomad melepaskan tembakan dan pisau berlumuran darah itu masuk ke bawah dipan.

Merasa sia-sia, dia berlari ke arah Shomad. Pria itu melayangkan pukulan dan tendangan, namun Shomad mampu menangkisnya dengan laras crossbow nya. Sekali pukulan sempat menghantam tulang selangka Shomad hingga pemuda itu menunduk kesakitan.

"Lumayan juga, cewek," kata Shomad dengan nada mengejek.

Cewek?!

Giliran Shomad akan menyerang. Sayangnya Shomad lengah, saat dia melancarkan serangan, si misterius tadi melompat sangat tinggi, mendarat di bahu Shomad untuk mendapatkan pijakan lebih, kamudian melompat lagi ke luari jendela. Shomad hampir terjerembab dan merasakan sakit yang luar biasa. Untungnya dia segera membalikkan tubuh dan me-reload croosbownya dengan cepat. Ia menembakkan satu peluru gotri dan tepat mengenai punggung si misterius itu sebelum tubuhnya mendarat dengan keras di lantai. Shomad mengerang kesakitan.

"Bangsat!" Umpat Shomad sekenanya.

Pak Hindarto memasuki kamar disusul Ramdhan di belakangnya. Pak Hindarto memeriksa tubuh korban seraya menggerutu.

"Coba hitung, berapa kali kau akan mengumpat hari ini. Dasar tukang ngumpat!" Katanya pada Shomad. "Sayang sekali, Bu Rumi sudaha tewas,"

Siapa yang tidak tahu Bu Rumi sudah tewas?

Naura dan Zevita tidak berani mendekati mayat. Simpati mereka lebih tertuju pada yang masih hidup saja, jadi mereka memilih menolong Shomad yang belum bisa berdiri.

"Ramdhan, tolong ambilkan selimut itu. Kita tutupi mayat Bu Rumi ini,"

"Baik,"

Ramdhan bergerak cekatan. Mereka tidak memindahkan mayat dan membiarkan berada di posisinya agar tidak merusak TKP. Pak Hindarto mengeluarkan sapu tangan, lalu menjulurkan tangan ke kolong dipan demi meraih pisau berlumuran darah tadi.

"Kakak nggak papa?" Tanya Naura cemas.

"Bahuku sangt sakit. Mungkin terkilir sedikit,"

"Makasih ya, kak, sudah nolingin barusan," Ujar Zevita. Shomad mengangguk. "Aku bisa pijat refleksi. Akan kubantu, kak,"

Kedua gadis itu membantu Shomad berdiri, dan membopongnya ke atas kasur. Zevita menaiki kasur dari belakang Shomad dan memulai terapi di bahu pemuda itu.

"Omong-omong, dari mana kau tahu dia itu wanita?" Tanya Pak Hindarto kemudian.

"Memang, postur tubuhnya tidak segemuk tadi malam, tapi aku sendiri tidak bisa membedakan dia itu laki-laki atau perempuan," tambah Ramdhan.

"Apakah aku harus mengatakannya?" Tanya Shomad ragu.

"Ya, katakana saja," ucap Naura.

"Dadanya. Tadi tanganku sempat menyenggol dadanya waktu bertarung tadi, dan terasa.... Kenyal,"

Kurang ajar.

Pak Hindarto dan Ramdhan menahan tawa. Memang benar, bagaimana pun seorang wanita tidak bisa menutupi bagian tubuh yang paling menonjol itu. Mendengar penuturan yang memalukan itu, Naura dan Zevita sungguh merasa malu. Lantas tangan Zevita meremas bahu Shomad refleks, dan Naura mendaratkan pukulannya ke arah Shomad.

"Dasar mesumm!!" Seru kedua gadis itu kompak.

3. Detektif KedelapanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang