Sandiwara

103 6 0
                                    

"Fa, Fa, Fa, Fadhil!" Seru Afdhal setengah tak percaya. "Bukankah kamu sudah..."

"Memang dia sudah mati," celetuk seseorang dari arah ruang tengah. Afdhal dan Fadhil melihatnya.

Pak Hindarto, Bu Rumi, dan Amira! Mereka semua tampak baik-baik saja. Kecuali Amira yang terlihat seperti orang bingung.

"Mati apanya? Itu kan cuma peluru kosong," bantah Fadhil.

"Bukan, itu bukan peluru kosong," sahut sesorang yang lain. Shomad, Zevita, mereka duduk di ujung tangga. Shomad membawa crossbow kesayangannya. Zevita masih pusing akibat pengaruh chlorofoam tadi sehingga kepalanya disandarkan ke tembok. Dan seorang pemakai topeng misterius juga hadir. Ia duduk di belakang Shomad.

"Aku memakai teknik khusus supaya peluru melesat di atas kepalamu," lanjut Pak Hindarto bangga.

"Kalau sampai aku mati gimana!" Seru Fadhil kesal.

"Ya tinggal dikubur di hutan kan gampang," celetuk seorang lagi dari pintu belakang. Sekarang pintu belakang juga sudah terbuka. Ada Bu Iswin, Naura, dan seorang misterius bertopeng lagi. Kalau dilihat semuanya, termasuk Fadhil, mereka memakai pakaian dan topeng yang sama sehingga tampak mirip. Postur tubuh mereka bahkan terlihat serupa.

"Ah, Bu Iswin, si otak penjahat... fufufu," Bu Rumi tertawa kecil.

"Yap!," Potong Shomad. "Ramdhan, maksudku kau, tuan Afdhal, kami sengaja mengajakmu ke hutan untuk mengejar saudara kembarmu sendiri. Ternyata kau pura-pura tidak mengenal wajah saudara kembarmusaat kita membuka topeng milik tuan Fadhil di hutan tadi siang,"

"Makanya aku memasang ekspresi ketakutan dan lari dari hutan, karena mengangkut mayat seorang cukup berat hanya dengan dua orang, supaya permainan tidak terbongkar kalau sampai tubuh Fadhil diangkut ke luar hutan dan Amira melihatnya," lanjut Pak Hindarto.

"Oh, iya, soal kaca pecah tadi, waktu bapak ditembak," ujar Bu Rumi. "Aku kan sedang asik di ruang sebelah. Kenapa aku tidak dengar?"

"Karena kaca pecah itu hanya modus yang dibuat Shomad," si misterius di belakang Naura membuka topengnya. Naura mencengkram lengan kanan si misterius itu seolah-olah ia tidak ingin jauh darinya. "Waktu Naura bermain-main dengan crossbow Shomad, ia tidak sengaja memecahkan dua buah kaca di lantai dua. Bu Iswin dan Pak Hindarto memindahkan sebagian pecahan itu diam-diam ke kamar putra, dan menaruhnya di bawah. Kebetulan salah satu bingkai jendela kamar putra tidak ada kacanya. Jadi pak Hindarto memosisikan tubuhnya dekat dengan bingkai yang bolong itu supaya aku bisa menembak dari atas pohon langsung ke arah beliau,"

"Dan menipu tuan Afdhal," tambah Shomad. "Waktu mencari Naura, tuan Afdhal masih mengawai rumah ini dari kejauhan. Dia melihat peristiwa penembakan Pak Hindarto. Namun karena rekaman CCTV rumah tidak ada suaranya, saat kupancing dengan kalimat apakah kalian mendengar pecahan kaca, hanya tuan Afdhal yang mengaku mendengarnya. Padahal tidak ada suara pecahan kaca sama sekali."

"Wah, pantas saja. Kupikir telingaku yang bermasalah," Bu Rumi tertawa kecil.

Amira terpaku melihat seorang misterius tadi. Ia bahkan tidak dapat mempercayai matanya. Pelan-pelan ia melangkah, menghampiri wajah yang melayangkan senyum tulus kepadanya. Senyum yang telah lama tidak dilihatnya selama sebelas tahun.

"Well, kita akan melihat peristiwa paling mengharukan abad ini..." ucap Shomad sedikit terenyuh.

"Zuan!" Amira memeluk tubuh laki-laki itu.

Naura melepaskan cengkramannya. Ia membiarkan seorang ibu bertemu kembali dengan buah hati yang sangat dicintainya itu. Sekarang Zuan sudah tumbuh besar, hingga tubuh Amira tidak ada apa-apanya ketimbang dirinya.

"Soal pencurian emas di kasus liquid silver," kata Zevita lemas sembari mengangkat tangannya. Kepalanya tetap disandarkan ke tembok. "Tolong jelaskan semuanya,"

"Oh, itu, baiklah. Kita ceritakan dari awal," jawab Shomad cepat. "Silahkan, ayah,"

"Kita mulai dari kecelakaan bus tujuh belas tahun lalu." Jelas Fadhil. "Seorang saudara kembarku merantau, meninggalkan keluarganya akibat patah hati karena cintanya ditolak oleh Amira. Ayah lebih memilihku untuk bersanding dengan Amira dan Amira sendiri juga hanya mencintaiku. Sayangnya, pemuda ini kecopetan di perjalanan, sehingga bekalnya habis sama sekali. Pada saat bersamaan, si pencopet tertabrak bus saat menyebrang dan tubuhnya hancur tidak dikenal lagi. Saat diidentifikasi, si pencopet ini membawa KTP saudaraku sehingga polisi mengira bahwa mayat itu adalah mayat saudaraku,"

"Mayat dibawa dan dimakamkan di Jakarta, dekat rumahku. Ketika saudaraku pulang ia melihat acara kematian yang mengatas namakan dirinya, ia marah besar. Ia mengira ayah membuat acara sepeti itu karena membenci dirinya. Dendamnya berlanjut. Dengan kemampuan menyamar, ia menyamar menjadi pelayan dan meracuni ayahku sehingga ayahku terlihat seperti terkena gagal jantung. Amira diusir dari rumah, dan ia juga keluar dari rumah menyusul Amira ke Kediri. Ia berjanji akan menghancurkan hidup Amira karena telah membuat ayahku menjadi selalu berselisih dengannya,"

"Betul," lanjut Bu Rumi. "Zuan meminta bantuanku untuk menyelidiki kepemilikan tanah atas nama ibunya, kenapa dijual atas nama Fadhil Abdullah, jadi Zuan mulai menyelidiki keluarga Fadhil karena ia merasa ada sesuatu yang mengganjal selama bertahun-tahun..."

"Dan meminta tolong kepadaku," Potong Pak Hindarto. "Zuan menggali kuburan yang bernama Afdhal dan membawa tulang-belulangnya. Ia mencuri pistolku diam-diam saat penyelidikan kasus liquid silver. Dia bersedia mengembalikan pistolku jika aku membantu mengidentifikasi tulang-belulang mayat itu. Yah, mau tidak mau aku membantunya. Aku bisa dipecat dari kepolisian kalau sampai pistolku ada di tangan yang salah. Aku menukar brankas berisi emas dengan brankas berisi tulang-belulang supaya nantinya diidentifikasi oleh pihak kepolisian, dan ternyata, tulang-belulang itu bukanlah milik Afdhal, saudara kembar Fadhil,"

"Kebetulan aku melihatnya juga kan waktu itu," sambung Shomad tidak mau kalah. "Di pos dekat kampus, Zuan mengembalikan pistol milik Pak Hindarto dan mereka sempat kebingungan soal emas itu mau diapakan. Karena aku seorang broker, aku membantu mereka supaya emas itu dipajang di museum atas nama penemuan milik SMK Kartika Kediri,"

"Dan satu lagi," Zuan menambahkan. "Aku juga menggali makam ibuku. Dan kulihat lengan kiri mayat itu tampak baik-baik saja. Padahal dulu ibuku pernah kecelakaan dan patah tulang lengan. Dari situ bisa kupastikan bahwa mayat itu bukan milik ibuku. Tidak ada bekas sambungan tulang sama sekali di sana,"

"Kesimpulannya, tidak ada kematian di antara para detektif ini. Mereka semua bebas dari maut dan bersih dari tindak kejahatan, kecuali seseorang, yaitu kau, si pembuat celaka, Afdhal Abdillah!" Seru si misterius yang lain di belakang Shomad. Suaranya tampak seperti wanita.

"Pak Hindarto, tahan saja orang itu. Jebloskan ke penjara sampai ratusan tahun lamanya," gerutu Bu Iswin.

"Dan aku bersedia jadi pengacara relawan untuk keluarga Zuan demi memberatkan tuntutan itu," tambah Bu Rumi.

Afdhal sangat ketakutan. Tadinya ia pikir akan menjadi orang terakhir yang selamat dari maut. Rupanya ia salah. Semua yang ada di sana hanyalah sandiwara, sandiwara yang dibuat untuk menggiring dirinya masuk ke perangkap tikus.

"Sebelumnya, aku juga punya ini," kata perempuan misterius itu.

Wanita misterius itu melompat tinggi dari belakang Shomad. Ia berlari di pegangan tangga seperti akrobatik, meluncur di udara, dan mendarat di atas meja makan. Ia mengayunkan kakinya begitu cepat dan melayangkannya di pelipis Afdhal.

Dhuakkk!!!

"Makan tuh! Dasar kupret lu! Kesel gue liatnya!"

Afdhal pingsan seketika.

Saat aksi tadi, tidak sengaja topengnya terlepas. Wajahnya terlihat. Wajah manis menyebalkan yang dulunya selalu digoda oleh Zuan. Wajah yang selalu berkata-kata dengan awalan ku***.

"Strike again, Lita!" Seru Zuan. Yang lain ikut tertawa.

"Li, Lita..." panggil Naura pelan. "Apa kamu benar Lita?"

Lita tersenyum simpul.

3. Detektif KedelapanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang