Surat Undangan Tur

361 14 0
                                    

Crakk.. crakk..

Tidak ada tempat yang lebih menyebalkan selain tempat itu. Ratusan nisan tertata rapi bahkan masih tetap terlihat walau malam tanpa penerangan sedikit pun. Sesekali hidung sang penggali mencium bau-bau aneh, cuek saja. Siapa bisa menakut-nakuti orang yang tidak percaya akan makhluk halus?

Zuan mulai mengayunkan cangkulnya pelan-pelan setelah kedalaman tertentu. Langit kota yang menyebalkan, dia tidak dapat memprediksi hujan di area yang dekat dengan garis khatulistiwa itu. Tidak ada cahaya bulan, ditambah sedikit cipratan air dari langit ke wajahnya adalah alarm supaya dia mempercepat proses penggalian.

Dukk..

Sudah selesai. Pemuda itu dapat merasakan cangkulnya menghantam kayu. Di tengah kegelapan, ia melempar cangkulnya ke luar lubang dan memulai membersihkan tanah di bawah kakinya dengan kedua tangannya.

Barisan kayu ulin mulai terlihat. Orang Balikpapan bilang, kayu itu adalah kayu terkuat yang tidak akan lapuk oleh air. Kadang-kadang dibuat untuk menggantikan pilar penyangga bangunan dari adonan semen. Benar saja, Zuan agak kesulitan saat memindahkan kayu-kayu berat itu ke luar lubang.

Sudah terlihat kain putih yang berubah warna dan sifat sebab dimakan usia. Zuan menyalakan senter kecil yang digantung di lehernya agar dapat melihat dengan jelas. Pertama kali pemuda itu membuka kain putih di hadapannya, dia tersenyum saat kedua lubang mata itu melihatnya penuh kengerian. Tanpa rasa takut, dia mulai menyentuh bagian lain di sekitarnya dan mendapati tulang lengan kiri lengkap sampai jari-jarinya.

Zuan membawa lengan kiri itu ke atas, duduk di pinggir lubang sambil memain-mainkannya. Ia mengambil ponsel yang tadi diletakkan agak jauh di sekitar lubang bersama dengan baju dan celana panjangnya. Memutar nomor dengan tangan penuh lumpur dan menempelkan smartphone itu ke telinganya.

"Halo, ya? Sudah kugali. Tidak ada harta benda apa pun,"

Setelah itu Zuan tertawa konyol.

Anak itu melihat ke arah lain ketika tengkuknya merasakan sebuah tekanan yang aneh. Ada seorang wanita menampakkan diri di atas pohon, mendelik seram kepadnya. Barulah dia tahu, kenapa dia mencium bau aneh sejak tadi. Tapi memang dasar, pemuda itu justru menjulurkan lidah pada makhluk itu tanda mengejek. Lantas, sang hantu pergi dari hadapan Zuan dalam sekali kedipan mata karena baginya sia-sia saja menakut-nakuti lelaki itu.

Zuan masih tidak bersuara, barangkali mendengarkan instruksi yang diberikan oleh sesorang di seberang sana. Ia meraih batu nisan yang tergeletak di bibir liang. Amira Lestari, wafat 22 September 2006, alias tepat sebelas tahun yang lalu. Dia mengelus-elus batu kesedihan itu beberapa kali, sebelum melemparnya jauh-jauh.

"Ya, lalu bagaimana rencananya? Hah? Iya, iya... Oh, oke..."

Zuan sedikit terkejut waktu melihat ke arah lain. Sebuah lentera memasuki gapura pemakaman. Tampak seseorang berjalan agak cepat menuju ke arahnya.

"Oh, ya... Ada yang melihat pekerjaanku. Aku harus segera pergi," Zuan mengambil lagi potongan lengan tadi terburu-buru. "Dan jangan lupa, bunuh semuanya!"

****

𝟮 𝗛𝗮𝗿𝗶 𝗦𝗲𝗯𝗲𝗹𝘂𝗺𝗻𝘆𝗮

Laptop terbuka. Seorang pemuda berkacamata duduk di atas kursi tanpa menghiraukan orang-orang yang sedang rapat di bawah. Sebenarnya bukan dia tidak mau ikut andil bersama rekan-rekannya, hanya saja dia tidak terlalu diacuhkan dalam forum dan dia sendiri lebih suka bekerja di balik layar seperti saat ini ketimbang harus terjun ke lapangan. Mendengar kata rapat saja, pemuda itu sudah merinding.

Selesai. Barusan laptop mungilnya telah menuntaskan pekerjaannya untuk beberapa hari ke depan. Ia menutup laptop itu dan meregangkan ototnya.

"Bagaimana, mas?" Tanya seorang pemuda yang duduk memimpin rapat di bawah.

3. Detektif KedelapanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang