Perjalanan

134 8 0
                                    

Arus lalu lintas tidak terlalu padat seperti pagi tadi. Di tepi jalan besar, beberapa bus memperlambat lajunya, kadang-kadang disertai dengan teriakan si kernet dan isyarat lampu sein, barangkali pemuda yang duduk di jalur pedestrian itu hendak naik. Si pemuda hanya membalas dengan sekali gelengan, atau bahkan tidak menghiraukannya sedikit pun.

Sekali pemuda itu melihat arlojinya. Dia menghitung mundur dalam hitungan tertentu, hingga ketika hitungannya habis, sebuah mobil melintas dan berhenti tepat di hadapannya. Kaca jendela mobil terbuka.

"Hmmm... Shomad. Sudah kuduga," kata seorang pria paruh baya yang duduk di kursi depan.

"Well, saya boleh ikut kan, Pak Hindarto?" Shomad angkat bahu. Dia sudah menebak detektif polisi itu juga akan ikut acara tur misterius tersebut.

"Tapi masa kau berdandan macam itu?" celetuk seorang wanita di jok tengah. Ia memerhatikan dandanan Shomad yang masih berpeci dan mengenakan sarung hijau kotak-kotak.

"Ah, bu pengacara... Bu, siapa?" Shomad mengingat-ingat. "Di area pesantren, aku nggak bisa berdandan seenaknya. Tapi aku pakai ini, kok!" Shomad mengangkat sarungnya sedikit sampai terlihat sebuah kain jeans menyelimuti betisnya.

"Rumi Indarti, ingat, R-U-M-I!" kata wanita berambut sebahu itu tegas. "Kamu selalu lupa nama ibu!"

Shomad cengar-cengir.

"Ya sudah, ayo masuk. Kau duduk di belakang ya, soalnya di tengah sini sudah penuh," lanjut Bu Rumi.

Shomad memeriksa orang-orang yang duduk di jok tengah. Cewek yang pernah ditemuinya di pos kemarin lusa! Dan ada seorang gadis manis yang lain juga! Hati Shomad berbunga-bunga.

"Well, Minori juga ikutan?" Kata Shomad penasaran. "Mana pacarmu si Zuan itu?"

"Wall, well, wall, well, namaku Naura, bukan Minori!" Bantah Naura kesal. "Zuan tidak mau ikut gara-gara hari ini ada haul kematian ibunya. Dia memaksaku menggantikannya bersama Zevita," Jelas Naura.

"Lah?" Shomad sedikit kaget. "Bukankah undangannya untuk satu orang? Kenapa kalian datang berdua?"

"Entahlah, mungkin Zuan diperlakukan istimewa," sahut Bu Rumi.

"Iya, Zuan malah dipersilahkan untuk membawa dua anggota keluarganya. Sebenarnya aku mau bawa Ricki, tapi dia sama sibuknya dengan Zuan,"

"Ayo cepat naik, Shomad!" Pak Hindarto menyela. "Jam empat sore pesawat lepas landas!"

"Ah, iya, pak,"

Akhirnya Bu Rumi turun dari mobil, agar Shomad dapat masuk ke jok belakang yang masih kosong. Ia membawa ransel besar dan sebuah kardus coklat polos masuk ke dalam mobil dengan hati-hati.

"Bagaimana kamu membawa barang itu? Pemeriksaan di bandara cukup ketat," timpal Bu Rumi sambil melirik ke kardus itu.

"Terserah dia mau bawa barang apa, yang penting jangan dipakai sembarangan di sana nanti," tambah Pak Hindarto. "Kalau bukan karena kamu selalu membantu penyelidikanku, sudah kujebloskan ke penjara kamu dari dulu! Dasar broker!"

Shomad nyengir lagi.

Naura tampak kebingungan dengan cara bicara para detektif itu. Ia hendak melayangkan pertanyaan, namun Zevita sempat memberi isyarat padanya supaya lebih baik tidak usah ikut campur urusan mereka. Naura tidak jadi bicara.

Mobil itu melanjutkan perjalanannya.

"Well, hanya anak hukum yang ikut tur detektif ini," bisik Zuan sinis pada Naura dari jok belakang. Naura tidak meresponnya.

****

Bandar Udara Internasional Sultan Aji Muhammad Sulaiman, Balikpapan.

"Yesss, welcome to my city, Balikpapan!" seru Shomad saat baru turun dari pesawat. Anak itu melompat-lompat kegirangan seperti anak kecil. Naura tertawa melihatnya. Dia sendiri juga merasa senang bukan main sampai di kota di luar pulau Jawa itu. Baru pertama kali ini juga gadis itu merasakan sensasi naik pesawat.

Sedangkaan Bu Rumi sudah terlihat akrab dengan Zevita. Mereka ber-selfie ria dengan latar belakang barisan pesawat, atau bandara Internasional berdesain futuristic itu. Pak Hindarto asik berbincang-bincang dengan si sopir yang katanya ditugaskan oleh orang misterius untuk mengantarkan para detektif sampai kota tujuan. Mereka sudah cukup tua untuk bergabung dengan Bu Rumi atau Shomad.

"Kok my city?" Tanya Naura penasaran.

"Tentu saja. Kamu tidak tahu, aku lahir dan dibesarkan di sini?"

Naura-geleng-geleng.

"Aku asli penduduk Balikpapan. Hanya tinggal di Kediri untuk sekolah SMA dan kuliah. Rencananya, aku akan kembali setelah lulus kuliah. Tapi aku tidak menyangka bisa kemari sebelum selesai kuliah,"

"Benarkah? Zuan juga pernah tinggal di sini sembilan tahun. Dan Zevita juga berasal dari sini,"

Zuan dan Zevita?

Shomad mengingat-ingat. Sejenak dia melirik Zevita. Balikpapan, Kediri... Kenapa harus dua kota itu? Kenapa orang-orang yang menjadi rekannya harus orang yang dikenalnya? Apa jangan-jangan masih ada detektif lain yang sedang dalam perjalanan kemari?

"Kak Shomad..." Panggil Naura. "Kenapa kak?"

"Eh, Iya," suara Naura barusan membuyarkan lamunannya. "Tidak, tidak apa-apa,"

"Ayo cepat jalan. Penumpang lain sudah sampai di pintu masuk,"

"Iya, ayo lekas pergi,"

****

"Makan yang banyak, kau harus gemuk!" Perintah Shomad setengah bercanda. Ia menyodorkan sepotong roti di tangannya supaya dimakan oleh Naura. Mereka berdua baru membelinya di kedai dekat situ beberapa menit lalu.

Naura menutup mulut geleng-geleng. Tapi lelaki itu terus mendekatkan rotinya ke wajah Naura, sehingga mau tidak mau Naura menggigitnya.

Dan sebuah minibus datang. Kendaraan tersebut diparkirkan di dekat mereka menunggu.

Pintu mobil depan terbuka. Sorang pria –yang rupanya sopir sebelumnya- turun. Dia membuka pintu bagasi belakang dan mengatakan supaya para peserta tur menaruh barang-barang bawaan mereka di sana dan segera memasuki mobil. Tiga peserta lain juga sudah menunggu mereka di dalam.

"Tiga peserta lain, ya? Menarik sekali," celoteh Bu Rumi.

"Sepertinya peserta terpilih cuma tujuh orang," sahut Pak Hindarto. Pria itu membuka pintu dan memasuki kendaraan, disusul oleh Bu Rumi dan Zevita.

Shomad masih enggan melangkah.

"Kak, ayo masuk," ajak Naura.

"Sebentar," sahut Shomad. Dia melihat sekeliling seolah mencari sesuatu.

Shomad mengangkat satu tangannya. Ia membuat kode-kode aneh dengan jari-jarinya. Tiba-tiba seekor burung besar dari langit-langit bandara menukik tajam dan mendarat di tangan itu. Seekor kera berukuran mini duduk menunggangi burung itu. Kera itu melompat ke dada Naura bebera saat setelahnya. Mendadak Shomad dan Naura jadi pusat perhatian pengunjung bandara.

"Wah, Tarsy, Pitty!" Seru Naura.

"Aku sudah menyuruh mereka berangkat lebih dulu sebelum kita berangkat tur," kata Shomad. "Dan maaf ya, aku tidak pisa membawa Prina karena Pitty tidak bisa terbang ratusan kilometer membawa kucing seberat dia,"

"Iya, tidak apa-apa. Mereka berdua sudah cukup kok," ujar Naura sambil membelai-belai monyet mungil nan lucu itu.

"Menyelundupkan yang itu bisa, menyelundupkan seekor kucing tidak bisa," komentar Bu Rumi yang sudah lebih dulu di dalam minibus.

"Rumi!" Pak Hindarto melotot kepada wanita itu. Bu Rumi segera menutup mulutnya tanda keceplosan.

"Hmm? Yang itu apa?" Tanya Naura ingin tahu.

"Menyelundupkan kamu!" Goda Shomad. Naura tertawa kecil dan memukul Shomad sebal.

Wah, gawat! Batin Zevita. Mereka harus cepat dipisahkan.

3. Detektif KedelapanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang