Pada Akhirnya...

137 6 0
                                    

Lita melompat dari atas meja. Tidak seperti ketika gadis itu memakai rok, setelan celana panjang membuat tubuhnya lebih mudah digerakkan. Gadis itu mendarat di hadapan Naura.

"Lita... kau benar Lita?" Tanya Naura setengah tak percaya.

"Ya, ini aku, Naura, sahabatmu," kata Lita yakin.

"Lita terbukti tidak bersalah," sahut Pak Hindarto. Pria itu berjongkok di dekat kursi memasangkan borgol di tangan Afdhal yang sudah tidak berdaya. Bu Iswin juga ikut berjongkok di sana sesekali menjewer telinga Afdhal sebal. Afdhal meringis kesakitan. Rupanya lelaki itu hanya pingsan beberapa saat. "Paman Lita mengaku bahwa ia memaksa Lita untuk berbuat kejahatan, termasuk memalsukan kematian Pak Faruq. Karena itu, Lita hanya ditahan selama sebulan,"

"Aku juga mati-matian membela Lita di pengadilan karena kita butuh seorang wanita yang pintar berakrobat untuk acara perkumpulan detektif ini," tambah Bu Rumi. "Zuan yang membayarku,"

Naura memeluk erat sahabatnya. Ia menangis kuat seperti biasanya. Lantas Lita membelai kepala gadis itu lembut. Biarlah kali itu Naura menangis sesukanya.

"Ibu, ibu..." Zuan melepaskan pelukannya. Ia menatap matai bunya yang berair. Lama ia tidak menatap mata teduh ibunya. saat ibunya merangkulnya dan mencium pipinya berkali-kali, Zuan tertawa geli. "Ibu, sudahlah... Aku malu,"

"Sampai kapan pun, kamu tetap Zuan kecilku, sayang," ujar Amira sembari memegangi pipi anaknya.

"Iya, aku tetap Zuan kcilmu, ibu," Zuan mengangguk setuju. Matanya juga berair.

"Ehemm.. Kalian melupakan seseorang,"

Zuan, Amira, dan Lita menoleh. Fadhil menghampiri Amira dan anaknya.

"Ibu, ini Paman Fadhil, maksudku ayah. Kami bertemu beberapa bulan lalu. Ayah membantuku mengungkap kasus ini dan membuat acara tur ini demi mengungkap kebenaran,"

"Ya, Amira. Rumah ini adalah rumahku. Aku membangunnya beberapa tahun lalu sebab aku ingin pergi jauh darimu. Aku tidak menyangka kita akan bertemu di rumah ini," jelas Fadhil.

"Kenapa harus 'ayah'?" Tanya Amira sakratis.

"Karena aku ingin Paman Fadhil jadi ayahku. Ayolah ibu, kumohon," pinta Zuan sedikit mengemis.

"Amira..."

"Baiklah, akan ada anggota baru di keluarga kita," jawab Amira malu-malu. Fadhil segera mendekap tubuh mungil wanita itu dan anaknya tanpa ragu. Lengkap sudah, Amira mendapatkan kembali dua orang yang sangat dicintainya.

"Well, akhir yang menyebalkan ya," kata Shomad pelan.

"Mereka bertiga lupa kalau aku juga bagian dari keluarga mereka," gerutu Zevita kecewa.

"Kau bisa jelaskan pada mereka nanti," ujar Shomad sembari memandangi Naura.

"Omong-omong, kakak punya hubungan apa dengan Kak Naura?" Tanya Zevita penasaran.

"Wajah Naura mengingatkanku pada masa lalu," ucap Shomad santai. "Masa lalu yang menyakitkan. Ah, sudahlah, nanti kau tahu sendiri,"

Shomad bangkit dari duduknya. Ia menuruni tangga menghampiri Afdhal. Wajah pria itu sudah penuh lebam karena terus diusili oleh Pak Hindarto dan Bu Iswin. Bu Rumi tertawa terpingkal-pingkal melihatnya.

"Wajah penjahat ini benar-benar mirip dengan si brengsek itu!" Sesal Bu Iswin.

"Hey, Iswin, si brengsek itu kan mantan suamimu juga!" Seru Bu Rumi setengah bercanda.

"Aku memang menyesal bertemu si keparat itu, tapi aku masih lebih menyesal mengenal penjahat ini!" Lagi-lagi Bu Iswin menjewer telinga Afdhal. Afdhal memohon-mohon supaya Bu Iswin menghentikan aksinya meskipun ia tahu bu Iswin tidak akan berhenti menyiksanya. "Si brengsek itu berhenti jadi penjahat setelah ditembak mati Pak Hindarto, tapi penjahat geblek ini, sudah ditahlilin, masih berani-berani ngancurin keluarga orang,"

"Mantan suami Bu Iswin?" Tanya Shomad ikutan nimbrung. "kayaknya Bu Iswin, Bu Rumi dan Pak Hindarto sudah mulai akur nih,"

"Ya, tentu saja," kata Bu Rumi. "Berkat perkumpulan ini, kami bisa saling berkomunikasi, kami jadi tahu kalau orang itu adalah residivis, pemabuk, dan suka mempermainkan wanita. Kami berterimakasih sama Pak Hindarto karena sudah bikin laki-laki itu mampus,"

"Kalian jangan begitu," Pak Hindarto nyengir. "Terlalu berlebihan. Dia kan sudah pernah menikah dengan kalian,"

"Bodo amat!" Seru Bu Iswin dan Bu Rumi bersamaan. Shomad tertawa terpingkal-pingkal.

"Lu kalo sadar bikin jengkel aja! Tidur sana!" Bentak Shomad kesal kepada Afdhal. Shomad pergi meninggalkan dapur ke ruang tengah.

"Hey Naura, Naura..." Lita memegangi kedua pipi sahabatnya. Naura masih menangis keras. "Sekali saja, bisakah kau berhenti menangis untuku?"

Sesuai permohonan Lita, akhirnya Naura berhenti menangis. Air matanya masih mengalir, walaupun mulutnya sudah berhenti rewel. Sekarang hanya tersisa isak tangis saja. Lita tersenyum senang.

"Kau berhasil," bisik Zuan. Lita cekikikan.

"Mana, coba ibu lihat,"

Amira menarik tangan Naura. Wanita itu mengamati seluruh tubuh Naura dan menatap wajahnya. Ia tersenyum bangga.

"Inikah calon menantuku?" Tanya Amira setengah tak percaya. Naura tertunduk malu. Fadhil menyikut tangan Zuan menggodanya.

"Ya, begitulah,"

"Cantik sekali," komentar Amira senang. "Habis wisauda langsung nikah ya, ibu sudah kangen gendong cucu," ujar Amira sambil memeluk Naura gemas.

"Heeeehhh, ibu!" Bantah Zuan malu. Seisi ruangan tertawa.

"Emm, Kak Shomad..." Naura mengalihkan pembicaraan. "Mana Kak Shomad?"

"Emm, dia..." Fadhil mencari-cari. "Entahlah,"

"Dia ada di ruang tengah. Menyendiri," kata Zuan singkat.

"Zuan, aku minta maaf jika aku terlalu dekat dengan Kak Shomad," Naura tertunduk lesu.

"Tidak apa-apa. Akulah yang menyuruhnya supaya dengat denganmu,"

Naura, Amira, Lita, dan Fadhil mendelik.

"Kenapa? Kau mau merusak hubunganmu sendiri dengan Naura?" Tanya Amira tegas.

"Suatu saat kalian akan tahu, kenapa aku menyuruh Shomad bermain drama yang tidak kalian sukai,"

Mereka semua diam saja, sebagian angguk-angguk setuju. Jika Zuan berkata seperti itu, berarti memang ada tujuannya.

Sesaat setelahnya, Shomad kembali ke dapur. Ia menenteng crossbow ditemani kedua hewan piaraannya di kedua pundaknya. Ia memegang sepotong papaya di tangan kanannya. Mungkin itu papaya yang dikupas Amira tadi siang.

"Mas, mbak, bapak-bapak, dan ibu-ibu, ayo siap-siap pulang. Mobil jemputan sudah datang," ujar Shomad.

Tidak ada yang menjawab. Mereka hanya memandang Shomad dengan cara yang aneh.

"Ada apa?" Shomad mengernyitkan matanya. "Kenapa kalian menatapku seperti itu?"

Seluruh peserta tur tertawa kencang.

Buduran, 9 Oktober 2017

DETEKTIF KEDELAPAN

--TAMAT--


3. Detektif KedelapanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang