Salah Sasaran

77 6 0
                                    

Para peserta tur tidak ada yang bicara sedikit pun. Mereka sibuk dengan hidangan di hadapan masing-masing, kecuali dua kursi yang kosong karena penghuninya telah tewas (Bu Rumi dan si misterius yang ditembak kepalanya oleh Shomad semalam). Naura tidak ikut makan, hatinya benar-benar gundah.

"Ayo pulang," rengek Naura pelan. "Aku takut,"

"Bagaimana caranya? Apa kita harus jalan kaki di tengah hutan lebat begini?" Tanya Ramdhan realistis.

"Betul. Kita berada dekat dengan kawasan konservasi, hutannya sangat gelap, dan tidak ada rumah penduduk di sekitar sini," tambah Bu Iswin.

Naura mendesah pelan.

Laila mengulurkan tangannya. Wanita itu membelai kepala Naura beberapa kali supaya gadis itu tenang.

"Mobil akan datang kembali besok lusa, jadi santai saja." Pak Hindarto menjelaskan.

"Siapa bilang?" selidik Ramdhan. "Orang misterius itu tidak bilang kapan kita akan dipulangkan,"

"Pak sopir yang bilang, sebelum dia pergi,"

Yang lain percaya saja. Maklum Pak Hindarto kemarin tampak sangat akrab dengan si sopir, jadi bisa saja mereka banyak bertukar informasi tentang tur itu.

"Naura, tenanglah," ujar Shomad. Lagi-lagi dia mengeluarkan crossbow kesayangannya dari bawah meja. Ia menarik tangan Naura agar memegang erat senjata mekanik berbahaya itu. Dia mengarahkan moncong senjata ke wajahnya sendiri. "Kalau kau melihat penjahat, segera tarik pengokangnya lima kali di sebelah sini. Setelah talinya meregang, tembakkan, dan... psiyuu... aarrgghh," ujarnya memeragakan.

"Benarkah?" Tanya Naura penasaran. Perhatiannya mulai teralihkan.

"Berapa tenaga crossbow modifikasi itu?" Pak Hindarto menyela.

"350 fps, itu setelan minimum, yang kita pakai sejak tadi. Tapi kalau tuas pengencangnya dimaksimalkan begini," Shomad memutar dua buah tuas kecil di pinggir busur crossbow itu. Busur senjata jadi sedikit melengkung lebih dalam. "Akan jadi 650 fps."

Zevita batuk-batuk tersedak. Cepat-cepat dia mengambil segelas air dan menegaknya.

"Besar sekali. Itu pelanggaran berat namanya," tuduh Pak Hindarto.

"Nggak, lah," kata Shomad mengembalikan tuas itu ke setelan awal. "Aku belum pernah pakai setelan maksimal,"

"Itu modifikasi sendiri?" Tanya Ramdhan. "Aku melihat dirimu tidak pernah mereload gotrimu,"

"Ya, aku memodifikasinya sendiri. Aku menambahkan magasin yang bisa muat 20 gotri. Ada juga magasin untuk anak panah, tapi jarang kupakai karena panah harganya sangat mahal. Kau tahu, setengah juta per setengah lusin!" jelasnya penuh semangat. Sayangnya tidak ada yang mendengarkan omongan Shomad dengan antusias.

"Oh iya, Mbak Laila dan Bu Iswin, ke mana saja kalian waktu terjadi kasus pembunuhan Bu Rumi tadi?" Ramdhan mengalihkan pembicaraan.

"Kami sedang jalan-jalan di sekitar hutan sambil ngobrol, sebab kami bosan di rumah," kata Bu Iswin.

"Kalian tidak berpisah, kan?"

"Tidak, sama sekali. Kami malah ketemu pohon rambutan yang berbuah lebat tadi. Ya kami panjat deh," sahut Lalila nyegir.

"Pantesan dapat rambutan banyak," gumam Shomad saat melihat tumpukan rambutan di tengah meja. Mendengar kata rambutan, Zevita mengulurkan tangannya supaya bisa meraih rambutan di tengah meja.

Anak itu makan terus, gerutu Shomad dalam hati. Padahal tadi dia yang paling ketakutan berhadapan dengan si pembunuh.

Shomad melamun kesal, sementara tangannya menarik tuas reload beberapa kali. Rangkain tali elastis mulai mengencang hingga maksimal. Naura memerhatikannya dengan heran.

Jlebb, prangg!!

Zevita tersedak lagi. Tidak main-main, sekarang makanan di mulutnya sampai menyembur ke piringnya sendiri. Ramdhan tertawa terpingkal-pingkal.

"Kenapa?" Tanya Naura polos.

"Ada yang mengintip kita dari jendela itu tadi," Shomad menunjuk sudut jendela yang pecah karena tembakannya tadi.

"Bisa pelan-pelan nggak sih!" Protes Zevita.

"Nggak," jawab Shomad ketus. "Salahmu sendiri, nggak waspada. Pak Hindarto, Mas Ramdhan, ayo kejar dia," Shomad mengangkat tubuhnya dan mengambil selembar tisu.

"Ya, ayo!" Seru Ramdhan semangat. Ramdhan dan Pak Hindarto beranjak tanpa menghabiskan makanan mereka.

"Bawalah crossbow ini untuk jaga-jaga," kata Shomad kepada Naura. "Aku akan segera kembali!"

"Hati-hati," ucap Naura pelan. Shomad membalasnya dengan senyum tipis.

Shomad berlari ke depan, sementara Pak Hindarto dan Ramdhan mengejar lewat pintu belakang.

****

"Ayo, cepat, keburu hilang!" Seru Shomad.

Pak Hindarto dan Ramdhan terengah-engah. Mereka sudah tidak kuat lagi berlari di tengah belantara terjal itu. Mengejar pria misterius dengan stamina unlimited sungguh melelahkan.

"Keluarkan tembakan peringatan!" Perintah Shomad. Dia tahu seorang polisi seperti Pak Hindarto harusnya membawa revolvernya.

Dhorrr!

Tidak berhasil. Si misterius tetap berlari.

"Lumpuhkan saja, pak!" Pinta Ramdhan.

"Ya, itu cara satu-satunya supaya tidak jatuh korban lagi!"

Pak Hindarto mulai membidik sambil berlari. Sungguh sulit, jika dia berhenti berlari, maka penjahat itu akan lepas.

Sebenarnya Pak Hindarto sudah berhasil membidik kaki penjahat itu di area lapang beberapa saat kemudian, Namun kakinya tersangkut sesuatu yang menyebabkan tubuhnya terjerembab.

Srekk... duk..

Dorrr!!

Dan pelurunya tidak sengaja melesat. Penjahat itu langsung ambruk. Suatu tembakan keberuntungan.

"Pak, bapak tidak apa-apa?" Ramdhan menolong pria paruh baya itu supaya bisa berdiri. Shomad cuek saja, dia lebih tertarik dengan korban penembakan jauh di depannya. Tidak ada erangan, dia mulai berpikir yang bukan-bukan.

"Pak..." Panggil Shomad lirih. Matanya mendelik memandang punggung pria misterius itu. "Kau menembak kepalanya!"

Ramdhan dan Pak Hindarto tersentak. Mereka menghampiri tubuh terbaring itu demi memastikan.

"Oh, god!" Ramdhan menutup mulutnya. Benar kata Shomad barusan. "Kau membunuh orang ini!" Serunya panik.

"Berisik! Itu tadi tidak sengaja. Aku membidik kakinya," bantah Pak Hindarto. "Kita lihat saja siapa orang di balik topeng ini."

Mereka bertiga setuju. Pelan-pelan merea membalikkan tubuh tak bernyawa itu. Pak Hindarto membuka topengnya.

Laki-laki!

"Siapa dia?" Shomad kelihatan bingung.

"Aku tidak kenal. Pak Hindarto, apa kau mengenalnya?"

Tiba-tiba Pak Hindarto gemetaran. Wajahnya pucat, keringatnya mengucur deras.

"Di... dia kembali! Aku membunuh orang yang salah! aku mau pulaaang!" teriaknya. Pak Hindarto berbalik dan lari tunggang langgang begitu saja. Shomad dan Ramdhani berkali-kali memanggil pria itu, tapi dia tidak mau kembali.

"Ah, kampret, kan," umpat Shomad. "Gimana caranya bawa mayat ini? Hutannya terlalu terjal, kita juga sudah masuk terlalu jauh," sesalnya.

"Kita tinggalkan saja dulu di sini. Ditutupin apa gitu, kek," Ramdhani mengusulkan.

"Mas Ramdhan..."

"Ya, Shomad," potong Ramdhani. "Aku yakin ada yang tidak beres dengan mayat ini... dan Pak Hindarto,"

3. Detektif KedelapanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang