Detektif Kedelapan

97 7 0
                                    

"Iya, kan, Amira?" Ramdhan mengulangi pertanyaannya.

"Da, dari mana kamu tahu nama asliku?"Laila mundur menaiki tangga. Barangkali ia bisa langsung kabur ke lantai dua seandainya Ramdhan berniat melakukan hal buruk kepadanya.

"Karena kita selalu bertemu sebelumnya," Ramdhan mengerik kulit lehernya. Kulitnya mengelupas dengan mudah, seiring tarikan jemarinya yang mulai menjalar ke arah wajah. Begitu kulit di seluruh leher dan wajahnya terlepas, muncullah wajah baru di balik sobekan kulit itu.

Amira terperanjat.

"Kenapa? Kamu kaget?" Kata Ramdhan sinis. Ia melempar topeng kulit itu sembarangan.

"Kau... Fadhil..." Amira gemetaran setengah tak percaya.

"Fadhil?" Ramdhan menyeringai. "Aku bukan Fadhil! Mahluk brengsek itu sudah mampus!"

Amira tidak mampu berpikir panjang. Ia berbalik, mengambil langkah cepat ke lantai dua. Amira harus menyelamatkan dirinya dari Ramdhan, atau Fadhil, atau siapa lah laki-laki itu. Ia benar-benar merasakan aura membunuh yang sangat kuat.

Slepp.. Tangg!

Amira terkejut. Pisau dapur di tangan Ramdhan meluncur melewati celah-celah pegangan tangga, membentur dengan keras di tembok tepat di hadapan Amira. Amira terjatuh lemas sebab ketakutan.

"Kau lupa, aku sangat pandai bermain lempar pisau? Aku dapat membunuhmu dari jarak lima meter," kata Ramdhan sombong.

Amira teringat sesuatu. Dulu, ketika ia masih berumur kepala dua, ada seorang laki-laki yang mencintainya. Berbagai cara dilakukan agar dapat mendekati Amira, termasuk menyamar menjadi orang lain. Laki-laki itu sangat menyukai olahraga lempar pisau, sampai di rumahnya terpasang foto saudara kembarnya sendiri berukuran besar sebagai objek lempar pisau.

"Afdhal..." Desah Amira pelan di tengah keputus asaan. "Kau pasti Afdhal,"

"Nah, kamu sudah tahu, kan?" Laki-laki itu mendekati Amira membawa sebilah pisau. Senang hatinya Amira sudah tidak berharap untuk kabur lagi.

"Kalau kau ingin membunuhku, lakukan saja. Tapi tidak dengan anakku," ucap Amira pelan.

"Aku tidak tertarik membunuh anak itu. Aku hanya tertarik padamu," Afdhal mengangkat pisau di tangannya tinggi-tinggi. Mata pisau mengerikan itu tepat mengarah ke pucuk jilbab Amira. Amira menutup matanya demi tidak melihat langsung kengerian saat berhadapan dengan kematian.

Ctang...

Entah dari mana datangnya, sebuah anak panah menghantam pisau yang dibawa Afdhal. Pria itu mengerang sebab tangannya juga sedikit terkena. Ia mengibas-kibaskan tangannya. Merasa ada kesempatan, Amira menyeruduk tubuh Afdhal hingga terpental ke belakang. Amira berlari ke pintu depan.

"Amira, tunggu!" Panggil Afdhal kesal.

Masih belum sempat berdiri, Afdhal menengok sekali lagi ke lantai. Ia meraih anak panah yang menghantam pisaunya tadi.

Ini... bolt asli! Seru Afdhal.

Ada kertas digulung pada anak panah besi itu. Ia menariknya paksa dan membukanya.

Aku detektif kedelapan. Maaf jika datang terlambat. Mari kita berduel, kau dengan pisaumu, aku dengan crossbowku.

"Sialan!"

Afdhal membuang bolt itu. Ia mengambil lagi pisaunya yang terjatuh di lantai tadi. Masa bodo, sebelum berduel dengan bolt sungguhan, ia ingin menghabisi Amira terlebih dahulu. Afdhal menyusul Amira ke teras depan.

3. Detektif KedelapanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang