Amira Lestari

83 8 0
                                    

Pelan-pelan Zevita mengangkat tumpukan piring kotor ke wastafel. Sedangkan Laila masih sibuk membersihkan meja makan. Tangan-tangan Laila begitu lihai di dapur sehingga memberi kesan tersendiri kepada siapa pun yang melihat wanita muda itu bekerja.

"Mbak Lalia kerja di restoran, ya?" Tebak Zevita.

"Iya. Aku sangat menyukai aktivitas di dapur," jawab Laila. "Kalau kau capek, naiklah duluan. Sholat isya dijamak dengan magrib, jangan lupa,"

"Tidak apa-apa. Aku sedang berhalangan,"

"Lalu bagaimana dengan Bu Iswin?"

"Ah, benar juga," Zevita mematikan kran. "Aku akan ke atas sebentar menengok Bu Iswin. Barangkali beliau belum tidur"

Zevita meraih lap di dekat wastafel. Dia mengeringkan tangannya terlebih dahulu sebelum bergegas menuju tangga menuju lantai dua. Laila juga memanggil Ramdhan sedikit berteriak supaya pemuda yang asik memainkan smartphonenya di ruang tengah itu juga segera menunaikan kewajibannya sebagai umat muslim.

Zevita meraih kenop pintu pelan-pelan. Dadanya berdegup cukup kencang seraya berdoa semoga saja dia tidak melihat mayat lagi di balik pintu. Bagitu pintu terbuka, gadis itu menghela napas lega. Tidak ada seorang pun, kecuali Bu Iswin yang melamun menghadap ke jendela.

"Bu, ibu tidak sholat dulu?"

"Malas," jawab Bu Iswin singkat.

Zevita merasa bersalah. Kecurigaan Ramdhan -dan mungkin juga Shomad- terhadap Bu Iswin tentang kematian para peserta tur mungkin yang membuat wanita itu bertingkah laku demikian. Zevita menghampiri Bu Iswin.

"Bu Iswin..." Zevita memegang bahu wanita itu.

Bu Iswin membalikkan tubuhnya cepat. Ia menjulurkan tangannya yang sejak tadi disembunyikan ke wajah Zevita. Zevita meronta ketika sapu tangan berbau menusuk hidung membalut wajahnya. Satu kali menghirup sapu tangan itu, gadis itu langsung tak sadarkan diri.

"Menyebalkan sekali," gerutu Bu Iswin. Dia membiarkan tubuh gadis itu terjatuh di lantai bersama sapu tangannya.

"Iya, menyebalkan sekali," sahut seseorang di bawah dipan. Bu Iswin tersentak kaget.

Sebelum wanita itu mengecek ke kolong dipan, sorang pemuda keluar dari sana melalui sisi yang lain. Seperti kebanyakan detektif, pemuda itu menunjukkan ekspresi congkaknya layaknya pahlawan super yang berhadapan dengan musuh-musuhnya.

"Wah, ada tikus lagi," kata Bu Iswin enteng. Wanita itu beranjak dari tempat tidur. Ia berdiri tepat di samping lemari pakaian.

"Sayang sekali, ya, partnermu sudah tewas dihutan," Shomad memanas-manasi.

"Tidak masalah. Yang penting perempuan si perebut suami itu mati mengenaskan," ucap Bu Iswin sinis. Dia tertawa licik.

Shomad tersenyum tipis. Sejurus kemudian, pemuda itu melompat ke atas dipan. Ia menyerbu ke arah Bu Iswin tanpa rasa takut sedikit pun.

Jlebb...

Sebuah anak panah bambu menancap di dada Shomad. Pemua itu ambruk seketika.

Shomad mengerang kesakitan. Ia mengangkat kepalanya supaya dapat melihat wanita itu dengan jelas. Dan yang terlihat di hadapannya hanyalah sebuah crossbow dengan setelan maksimum beramunisi bambu runcing.

"Dan sayang sekali, ya. Kamu lupa dengan crossbowmu," ujar Bu Iswin sinis. "Aku menyimpan crossbowmu di dalam lemari ini jika suatu saat aku membutuhkannya. Tak kusangka aku benar-benar akan memakainya lagi,"

"Ya, memang kesalahanku," kata Shomad dengan napas memburu. "Seharusnya tak kubawa senjata itu bersamaku,"

"Dasar kau memang lemah tanpa laras," ejek Bu Iswin. "Kalau begitu, matilah..."

Jlebb!! Ctakk!

Tidak jadi. Bu Iswin tidak menembakkan bolt bambu itu ke kepala Shomad. Dia malah menembakkannya ke dinding di belakang Shomad sehingga bolt palsu itu patah akibat berbenturan dengan tembok semen.

"Tidak seru kalau aku membunuhmu sekarang," Bu Iswin melemparkan crossbow itu ke dipan. "Anak panah tadi sudah menembus paru-parumu. Jadi nikmati saja kematianmu yang perlahan-lahan,"

Bu Iswin berlari ke arah pintu. Ia keluar dari pintu dan memberi sebuah kissbye kepada Shomad dari kejauhan sebelum menutup pintu kamar itu.

"Daaahh, tuan detektif," kata wanita itu genit.

****

Bu Iswin menuruni tangga terburu-buru. Wanita itu melewati dapur dan menemukan Laila sibuk mencuci piring di wastafel. Ia membuka pintu belakang terburu-buru.

"Loh, Bu Iswin," sapa Laila ramah. "Mau ke mana bu?"

"Mengambil jemuran," jawab Bu Iswin ramah. "Tadi pagi aku mencuci baju yang kotor. Aku lupa mengangkatnya. Padahal aku tidak punya baju ganti sama sekali,"

"Ooohhh..."

Laila melanjutkan aktifitasnya di wastafel. Bu Iswin tersenyum sinis. Wanita itu pergi dari rumah dan lenyap ke dalam hutan.

****

Mungkin hampir lima belas menit lalu Bu Iswin berkata keluar mengambil jemuran. Laila bahkan sudah selesai mencuci piring dan mengeringkan tangannya. Ia sempat berpikir macam-macam ketika pintu belakang tetap terbuka tetapi Bu Iswin belum juga kembali.

Kalau tidak salah, tidak ada jemuran sejak mereka berpencar mencari Naura tadi... Batin Laila.

Gawat! Zevita!

Laila mengambil langkah besar menuju lantai dua. Ia cepat-cepat membuka pintu kamarnya. Kali ini tidak main-main. Ia mendapati Zevita tergeletak pingsan di sudut dipan, sementara Shomad tergeletak bersimbah darah di tengah ruangan. Wanita itu memeriksa denyut nadi Shomad.

Tidak tanda-tanda kehidupan sedikit pun.

"Kyaaaa!" Teriak Laila dibuat-buat. Sebenarnya ia tidak begitu takut berhadapan dengan mayat karena -sebagai seorang detektif- sudah biasa. Ia hanya berharap laki-laki yang bermain smartphone di lantai satu menyusulnya ke kamar itu.

Tapi tidak ada jawaban sama sekali.

Kesal, Laila meninggalkan ruangan. Ia kembali ke lantai satu agar dapat memanggil Ramdhan. Yang membuatnya heran adalah, saat itu Ramdhan sedang bersandar di meja makan dengan menonton suatu tayangan dari smartphonenya di tangan kiri. Sementara tangannya yang lain bermain-main dengan tumpukan pisau dapur di atas meja.

"Ramdhan..." Panggil Laila ragu. Ramdhan memandang Laila santai. "Shomad dan Zevita..."

"Aku sudah tahu, kok," potong Ramhan. "Anak itu tewas gara-gara Bu Iswin, kan?"

"Dari mana kau bisa tahu?"

"Aku dapat melihatnya dari smartphone-ku," Ramdhan memperlihatkan layar smartphone-nya. Layar smartphone itu terbagi menjai beberapa bagian, yang memperlihatkan kondisi ruangan di seluruh rumah itu. "Pembunuhan Pak Hartono, dan penculikan Naura, semua dapat terlihat dari sini,"

"Ramdhan, kau..." Laila gemetaran.

"Ya, aku menunggu Bu Iswin melakukan semua hal yang dia mau, dan aku sengaja membiarkan wanita itu pergi dari sini. Supaya di rumah ini tersisa aku dan dirimu, Laila," Ramdhan menyeringai puas. Laki-laki itu memainkan pisau di tangannya dengan lihai.

"Hmmm, bukan, bukan Laila," Ramdhan geleng-geleng. "Lebih tepatnya, Amira Lestari,"

3. Detektif KedelapanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang