Spesies Langka

77 5 0
                                    

Sudah mendekati ashar, Shomad tidur-tiduran sendiri di ruang tengah. Sebenarnya dia ingin masuk kamar, namun sayang pintu kamar terkunci dari dalam. Sejak bertemu dengan mayat si misterius tadi, Pak Hindarto terlihat murung dan mengurung diri di dalam kamar.

Zevita datang menyusul dan duduk di samping Shomad. Wajahnya tampak sebal.

"Pintu kamarmu dikunci juga, ya?" Tebak Shomad.

"Kakak bilang apa sih, ke kak Naura tadi?" Selidiknya. "Kak Naura sampai murung begitu?

"Aku nggak bilang apa-apa tuh," ujar Shomad santai.

"Bohong!"

"Terserah lu deh,"

Zevita jadi malas bicara. Ada Shomad, segalanya terasa semakin berantakan. Lebih baik dia diam.

"Mana yang lainnya?" Tanya Shomad.

"Tau!"

"Oh, ya sudah."

Beberapa saat setelahnya, Laila datang berwajah ceria. Dia membawa kantung plastik besar berisi berbagai macam buah. Ada sirsak, papaya, rambutan.

"Oh, tidak... Panen besar lagi," Gerutu Shomad. Laila tertawa puas.

"Ternyata di hutan sini banyak buah-buahannya," Laila membawanya ke dapur. "Aku jadi usil ingin memetiknya,"

"Yang lain ke mana mbak?"

"Loh, Bu Iswin belum kembali?" Laila sedikit terkejut. Shomad angkat bahu.

"Tadi dia bilang capek gara-gara saya ajak memetik buah. Katanya mau kembali duluan,"

"Nyatanya belum sampai kemari, tuh."

"Ya sudah, ditunggu saja. Nanti juga balik."

Laila pergi ke dapur untuk mencuci buah-buahan tadi. Shomad dan Zevita dapat mendengar suara aliran air dari wastafel. Cukup lama juga wanita itu di dapur. Sehingga Shomad merasa sedikit bosan melihat gadis di dekatnya terus memasang wajah cemberut.

"Hey, manis..." Goda Shomad. Zevita tidak menghiraukan.

"Kalau ngambek jeleknya... eh, cantiknya hilang loh," lanjut Shomad dengan nada dibuat-buat.

"Diam!" Bentak Zevita. Shomad tertawa cekikikan.

Tak lama kemudian, Laila kembali. Wanita itu membawa sepiring papaya untuk dimakan bersama kedua anak muda di ruang tengah.

"Sudah, sudah, ayo makan buah dulu," potong Laila. Ia duduk di samping Zevita.

Lantas Shomad berganti posisi dan mengambil sepotong papaya di piring.

"Makanlah, ini bagus untuk pencernaan," Shomad menyodorkan papaya itu ke dekat mulut Zevita. Zevita geleng-geleng.

"Ayolah, Zev..." Pinta Shomad sedikit memohon.

Zevita baru membuka mulutnya. Tapi kemudian Shomad menarik tangannya dan memasukkan potongan papaya itu ke dalam mulutnya sendiri. Shomad tertawa penuh kemenangan.

"Huuuhhh! Pergi kau!" Teriak Zevita jengkel. Shomad berlari ke depan sambil tertawa terbahak-bahak.

****

Hampir setengah jam Zevita dan Laila bercakap-cakap di ruang tengah. Waktu yang tepat bagi mereka untuk mulai mengkhawatirkan Bu Iswin. Seharusnya wanita itu sudah kembali sejak tadi. Mereka memutuskan untuk menyusul Shomad yang duduk bersama kedua hewan kesayangannya di teras rumah dan mengajaknya mencari Bu Iswin.

"Mas Shomad, ayo kita cari Bu Iswin," sapa Laila cemas.

"Mas Ramdhan juga," sambung Zevita.

"Tidak usah," jawab Shomad datar. Matanya menerawang jauh ke pinggir hutan. "Sebentar lagi juga balik,"

"Ini sudah setengah jam, loh. Kalau Bu Iswin kenapa-kenapa, terus gimana?"

"Tau, nih," tambah Zevita.

"Lalu, itu siapa?" Shomad memberi isyarat dengan kepalanya. Terlihat seorang pria muda bertubuh tinggi bersama dengan wanita paruh baya keluar dari hutan sembari bercanda. Pria itu mengangkat seekor ayam yang dibawanya di depan dadanya ketika melihat ketiga orang di teras rumah.

"Ibu bikin cemas saja," kata Laila kesal.

"Maaf. Tadi saya trsesat," Bu Iswin tertawa. "Tapi untunglah bertemu saya Mas Ramdhan di hutan. Kalian tahu, dia sedang mengejar ayam ini seperti seorang ibu mengejar anaknya yang lepas di mall!" Ejek Bu Iswin. Shomad dan yang lainnya tertawa terpingkal-pingkal.

"Ah, Bu Iswin, sudah dong," kata Ramdhan malu.

"Shomad, apa kamu tahu ini spesies ayam apa?" Tantang Bu Iswin.

"Coba kemarikan," pinta Shomad. Ramdhan menyerahkannya.

Sejenak Shomad menimang ayam itu. Unggas betina berwarna coklat kusam dengan kaki merah dan kulit muka biru.itu tampak tenang-tenang saja disentuh olehnya.

"Sempidan Kalimantan, alias Lophura Bulweri, burung langka yang status konservasinya terbilang rentan. Meskipun sejenis burung, kebanyakan orang lebih akrab dengan sebutan ayam karena mirip unggas. Bisa dijual dua sampai lima juta rupiah..." jelas Shomad. Ramdhan langsung kegirangan. "Itu kalau dijual sepasang," tambah Shomad tersenyum usil.

"Hah, sepasang...," gerutu Ramdhan. "Kalau begitu, aku mau cari yang jantannya juga nanti,"

"Tidak usah repot-repot. Kita sembelih saja. Lumayan barang langka buat makan malam," ujar Shomad sambil meninggalkan tempat itu masuk ke dalam rumah. "Emm, dibumbu kari kayaknya enak juga," ujarnya licik.

"Loh, hey, jangan... Ayamku!," Ramdhan mengejar Shomad. Zevita dan yang lainnya tertawa.

****

Ramdhan terus menggerutu. Sudah beruntung –baginya- ia dapat ayam bagus, harus dikorbankan untuk makan malam nanti. Pria itu merengut sendiri di dapur, kadang meringis mendengar jeritan ayam yang baru didapatnya tadi. Shomad sedang dalam proses penyembelihan di belakang rumah dibantu oleh Zevita. Sementara Laila dan Bu Iswin sibuk dengan urusan mereka di dapur.

"Nangkapnya susah, dibuat makan," sesalnya.

"Ah, sudahlah," sela Bu Iswin. "Tolong panggilkan Naura supaya membantu kita di dapur,"

Tanpa banyak bicara, Ramdhan beranjak dari kursinya. Dia naik ke lantai dua lewat tangga dapur, menyusuri lorong sempit dan berhenti di depan pintu kamar wanita.

"Naura..." Ramdhan mengetuk-ngetuk pintu. "Ayo keluar, jangan menyendiri terus"

Dok-dok dok...

Tidak ada jawaban.

Ramdhan merasakan keanehan. Bulu kuduknya merinding. Lelaki itu memegang kenop pintu dan membukanya perlahan-lahan.

Tidak dikunci.

Dan tidak ada siapa pun di dalam selain kamar yang acak-acakan.

"Emm... Kawan-kawan..." Teriak Ramdhan dengan suara bergetar.

"Ada, apa, Ramdhan?" Sahut Bu Iswin dari lantai satu.

"Ada yang melihat Naura pergi dari sini? Tidak ada siapa pun di dalam kamar,"

3. Detektif KedelapanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang