8.

22 3 0
                                    

Happy reading..

------

"Rain terluka Langit... sangat-sangat terluka"

Tangis Rain pecah, bahunya bergetar hebat. Hatinya benar-benar sakit. Rasanya ia ingin kembali amnesia, dengan begitu ia tak akan merasakan rasa sakit itu.

"Maaf"

"Maafin gue, gue tau gue brengsek, pengecut, bajingan, dan gue tau gue nggak akan bisa dapet maaf dari lo lagi. Tapi gue bakal tetep berusaha, biar lo mau maafin gue lagi. Biar gue bisa jadi sandaran lo lagi. Biar gue dengerin semua tangis tawa lo, biar gue dapat omelan lo." Ucap Langit sambil tersenyum miris.

"Terserah" jawab Rain ketus. Ia menatap teman- temannya satu persatu. Termasuk Mentari dan Angkasa, tapi tidak dengan Langit.

  Sedangkan Langit masih menatap Rain nanar. Sampai akhirnya ia memilih pergi, tanpa pamitan kepada teman-temannya.

"Ngit lo mau kemana?" Tanya Mentari khawatir

"Biarin dia sendiri dulu." Cegah Angkasa saat Mentari hendak mengejar Langit.

"Langit itu lagi frustasi Sa, kalo dia kenapa-napa gimana?" Cemas Mentari

"Yaa paling cuma bunuh diri" ucap Angkasa ngawur

"Ngomongnya disaring dulu mas. Itu sodara sendiri lo" ucap Mentari sambil melotot

Angkasa nyengir.

"Hehehe. Gue niatnya cuma bec-"

"Rain mau pulang. Dingin." Lirih Rain yang memotong perkataan Angkasa.

Angkasa dan Mentari menoleh ke arahnya.
"Lo mau pulang kemana emang?" Tanya Angkasa

"Rumah" jawab Rain dingin

"Rumah lo diamana Rain? Lo maukan tinggal sama gue? Diapartemen?" Tanya Mentari dengan tatapan memohon

"Maaf Rain nggak bisa Mentari. Rain masih mau nagih penjelasan." Jawab Rain

"Maksudnya?" tanya Mentari bingung

"Mau nanya sama Mama Anisa." Ucap Rain yang membuat Mentari dan Angkasa mengernyit. Ivi yang mengerti maksud Rain pun menatap Mentari seakan-akan berkata 'biarin dia pergi'.

Mentari pun mengerti.
"Ya udah kalo mau pulang nggak papa kok."

"Eh.. emb kalo gitu gue minta kontak lo?" Sambung Mentari

"Wadooohhhh" teriak Rain sambil menepuk jidatnya dan segera mengambil ponselnya disaku celananya yang basah.

"Woi nyet biasa aelah. Nggak usah teriak-teriak, untung telinga gue  kebal." Omel Ahmad sambil mengusap telinganya.

  Sedangkan yang lain, hanya mengelus dadanya. Walau sebenarnya mereka sangat bingung dengan mood Rain. Baru saja ia menangis tapi lihatlah sekarang, ia terlihat baik-baik saja.

"Yahh, ponselnya Rain mati. Mama Anisa bisa khutbah 7 hari 7 malem nih." Kata Rain cemas

"Udah nasib lo tuh. Siapa juga yang nyuruh lo hujan-hujannan." Ucap Ivi dengan nada bercanda

"Terus Rain gimana dong? Kan kasihan mama Anisa, udah sering Rain susahin. Mana ponselnya Rain masih baru lagi" ucap Rain melas

"Mangkanya jangan ceroboh Kay." Ucap Ahmad sambil terkekeh

"Ishh. Au' ah gelap." Kesel Rain

"Temennya susah, bukannya bantuin malah diomelin. Ponsel sih, pake ikut basah segala. Bikin BT aja,ish." Gerutu Rain

Seperti Langit dan HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang