17 Agustus 2017

543 72 0
                                    

Zrraasshhh!!!!

Bulan terakhir dari musim panas di Jepang. Suhu mulai merendah dan bersiap menyambut sejuknya musim gugur. Hujan turun sangat deras mengguyur kota Tokyo dan sekitarnya. Hujan turun dari tadi siang, membasahi region Kanto yang panas selama tiga bulan terakhir. Saking derasnya, banyak orang lebih memilih menunda waktu kepulangan mereka ke rumah. Atau berkunjung sejenak ke rumah kerabat, sekedar berteduh sampai hujan turun.

Ada beberapa dari mereka yang nekat menerobos hujan. Kalau dengan mobil sih masih dibilang agak aman, gak kehujanan tapi jarak pandang terbatas. Kalau jalan kaki, naik sepeda, apalagi mengendarai sepeda motor? Kan bahaya. Dan [Name] termasuk salah satu orang yang termasuk di kategori kedua.

Malam ini, dirinya berencana untuk ke rumah Akaashi. Buat apa? Ya berkunjung aja. Sekaligus [Name] ingin mengantarkan makanan khas dari tempat neneknya tinggal.

Sekedar selingan, [Name] ini baru saja pulang dari kampung halamannya di prefektur Shizuoka. Lebih tepatnya di dekat kaki Gunung Fuji. Di Tokyo, [Name] itu anak rantau. Masuk jurusan kedokteran hewan berkat beasiswa dari pemerintah.

Orang tuanya dahulu bekerja sebagai petani, baik itu petani sayur dan umbi maupun petani bunga matahari. Kondisi ekonomi keluarga [Name] bisa dikatakan stabil di tingkat menengah, sederhana tidak kekurangan tapi juga tidak berlebihan.

Di rumahnya yang ada di Shizuoka, [Name] tinggal dengan kedua orang tuanya dan neneknya. [Name] itu anak tunggal, tapi tidak manja dan tidak dimanja. Dari kecil, [Name] sudah di didik mandiri dan tidak mudah bergantung pada orang lain. Saat waktu lenggang, ia kerap membantu kedua orang tuanya di kebun. Atau membantu neneknya mengurus rumah.

Semua berjalan lancar. Sampai pada tahun 2011, [Name] terpaksa kehilangan kedua orang tuanya. Mereka, yang kebetulan sedang berada di Prefektur Iwate untuk mengunjungi kerabat, menjadi salah satu korban gempa bumi dan tsunami yang memporakporandakan hampir seantero Region Tohoku, bagian utara Pulau Honshu, Jepang.

Mulai saat itu, tinggal lah [Name] dengan neneknya seorang. Lahan milik kedua orang tua [Name] kini diambil alih oleh neneknya.

Sempat terbesit keinginan untuk membantu neneknya mengurus lahan. Namun, nenek [Name] melarang. Beliau bersikeras bahwa beliau masih mampu dan menginginkan [Name] untuk mendapatkan pendidikan tinggi.

Setelah berdebat cukup panjang, dengan sedikit berat hati [Name] memutuskan untuk mengikuti keinginan neneknya.

Kira-kira begitulah garis besar kehidupan awal [Name] saat pertama kali merantau ke Tokyo.


Kembali ke topik bahasan


[Name] berjalan terhuyung menahan kencangnya angin yang berhembus. Tas plastik berisi makanan di tangan kiri sedangkan tangan kanan memegang payung berukuran sedang bewarna hijau berbentuk kodok. Tak lupa tas punggung hitam yang senantiasa menemaninya menuntut ilmu dari zaman SMA.

Dari rumah sakit hewan tempatnya bekerja sampai ke rumah Akaashi, seharusnya bisa di tempuh dalam waktu 10 menit saja. Namun karena kondisi hujan deras berangin, membuat perjalanan [Name] menjadi lebih lama dari biasanya.

Baju, celana, dan sepatu milik [Name] sudah agak basah. Tubuhnya mulai menggigil kedinginan.

Saat melewati sebuah gang sempit, samar-samar [Name] mendengar suara. Awalnya [Name] menghiraukan suara tersebut. Namun saat suara itu kembali muncul dan lebih jelas, [Name] menghentikan langkahnya.

Trilogi Sabuk Orion #1 - AlnitakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang