30 November 2016

897 89 5
                                    


Sambil menguap, [Name] meregangkan otot-otot tubuhnya yang kaku kala tidur. Masih dalam posisi duduk dengan kaki selonjor, [Name] menjatuhkan kedua tangannya yang sebelumnya ia tarik ke atas. Mengerjap beberapa kali menyesuaikan netra dengan kondisi sekitar seraya mengumpulkan kepingan-kepingan nyawa yang tercecer entah dimana.

Dirasa nyawanya sudah utuh kembali, dirinya disambut oleh dinginnya hawa musim dingin. Ah, ingin sekali kembali meringkuk dikasurnya dan melanjutkan kegiatannya plesiran di alam mimpi. Sayangnya, hari ini ia memiliki jadwal yang tidak bisa diganggu gugat. Bukan tidak bisa sih, [Name] saja yang ingin kegiatannya hari ini berjalan sesuai rencana.

Jadwal apakah yang dimaksud? Yakni bertemu dosen guna membahas lebih lanjut masalah skripsi.

Perempuan berusia 21 tahun tersebut lantas turus dari kasur lalu berjalan menuju kamar mandi untuk melakukan ritual pagi seperti biasa.

Usia 21 sudah bikin skripsi? Begitulah [Name]. Dari SD sampai SMA isinya akselerasi semua. Otaknya encer mengalir deras bagai banjir bandang.

Orang tuanya pasti bangga punya anak dengan IQ mendekati 200 seperti [Name]. Yah, itupun kalau mereka masih hidup. Oke, kembali ke cerita.

Menyampirkan tas punggung hitam yang sudah menemaninya sejak SMP, ia melihat sekilas refleksi dirinya di kaca. Begitu semua dirasa beres, [Name] berangkat menuju Universitas Tokyo dengan berjalan kaki. Tak lupa mengunci pintu terlebih dulu.


----skip time selesai dari kampus----

Menahan perutnya yang sudah menggonggong protes minta diisi, [Name] melangkahkan kakinya dengan sedikit tergesa menuju sebuah rumah makan. Rumah makan ini adalah rumah makan favorit [Name]. Selain harganya yang level mahasiswa, menunya pun bervariasi. Suasana yang nyaman dan nuansa yang seperti rumah tradisional Jepang pada umumnya, tak heran jika rumah makan ini selalu ramai bahkan antri panjang.

Lihat saja [Name] sekarang, tiba dari kampus saat sore namun baru bisa mendapat tempat duduk dan memesan ketika matahari sudah terbenam. Ketika demo yang terjadi di perut [Name] sudah reda, ia memutuskan untuk pulang supaya bisa menyelesaikan skripsinya dengan cepat.

Perjalanan pulang [Name] ditemani dengan kesunyian. Sengaja lewat jalan pintas untuk mempersingkat waktu. Baru beberapa langkah memasuki setapak yang dimaksud, [Name] merasa ada yang mengawasi dirinya. Bulu kuduknya meremang dan dirinya mulai was-was.

Ia percepat langkahnya, namun entah mengapa seolah setapak ini terasa lebih panjang dan jauh dari biasanya. Tak berselang lama, [Name] merasa ada yang menarik tas punggungnya dengan keras. Tentu [Name] sangat terkejut bahkan sampai terjungkal ke belakang.

Mengetahui ia dirampok, [Name] mencoba melawan balik. Ia ingin bersuara dan meminta tolong pada siapapun. Tapi apa daya, ia terlahir bisu. Ditambah kondisi setapak yang sepi semakin mempersulit keadaannya.

Tak hanya itu, [Name] pun kalah dalam hal tenaga. Setelah tas punggungnya lepas, sekuat tenaga ia mengejar pencuri itu. Melihat si perampok mulai jauh, [Name] berhenti karena merasa kelelahan. Menyandarkan tangannya di lutut sebagai tumpuan sambil terengah-engah. Keringat sudah mengucur deras didahinya dan pandangannya mulai kabur karena air mata.

Tiba-tiba, sekelebat hitam lewat di sampingnya dengan cepat. [Name] yang terkejut refleks menyandarkan tubuhnya di tembok bata di samping kirinya. Karena kelelahan tadi, ia tidak kuat menahan tubuhnya dan jatuh terduduk. Punggungnya disandarkan di tembok dan lututnya ia tarik. Dipeluk lututnya dan dibenamkan wajahnya sambil menangis. Semua barang-barang [Name] ada di tas itu. Mulai dari HP, dompet, laptop, buku, semuanya di dalam tas itu.

Trilogi Sabuk Orion #1 - AlnitakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang