9 // Potongan Memori

4.8K 765 54
                                    

"MASIH mulus banget audionya. Makasih, Tan."

Ethan menanggapi dengan seyum tipis seraya mengambil bala-bala terakhir di piring. Di seberang ruangan, Akbar, Stefi, dan beberapa staf Sound&Beat sedang mengetes sejumlah vinyl pada gramofon berwarna cokelat bergradasi krem. Koleksi rilisan fisik yang mulanya akan Ethan jual kepada Aufi.

"Buku-buku disumbang ke perpustakaan. Vinyl dikasih ke kami. Enggak sayang, Tan? Lumayan lho kalau dijual." Akbar menyerahkan sekaleng bir pada Ethan.

"Paling tidak di tangan kalian koleksi vinyl-ku akan diperlakukan secara pantas."

Bukannya Ethan meragukan kemampuan Aufi merawat barang-barang antik. Beberapa kali kunjungan ke Elysian telah memperlihatkan ketelatenan gadis itu dalam menangani koleksi-koleksi bernilai tinggi. Namun, vinyl-vinyl yang Ethan kumpulkan bukan sekadar 'barang'. Mereka, seperti buku-bukunya, adalah kotak kenangan. Ada nilai sentimental yang tidak bisa dibayar dengan uang.

Namun, koleksi album berbentuk piringan itu jarang diputar. Ethan sudah menjual gramofonnya sebelum terbang ke Rusia. Kalaupun Ethan masih mempunyai pemutar musik, dia tetap tak akan memasang salah satu vinyl tadi.

"Mahal, Tan. Apalagi yang jadul," bisik Akbar; menunjuk vinyl Madonna yang akan diputar Stefi. "Gue transfer, deh, sesuai harga yang lo bayar."

"Jangan sungkan gitu. Anggap sebagai hadiah perpisahan dariku."

"Makin berat gue." Akbar menenggak bir. "Tapi kalau lo maksa, gue bisa apa."

Ethan melentik, lalu menyesap minumannya pelan-pelan. Sensasi hangat menjalari tubuh di tengah cuaca dingin selepas hujan. Kegiatan minum dan makan camilan sambil mendengarkan lagu seperti ini nyaris tanggal dari kehidupan Ethan. Dulu, dia dan Akbar bisa menghabiskan waktu berjam-jam untuk membahas satu album sebelum dibuat jadi ulasan.

"Lo belum sinting, kan, gara-gara enggak sibuk kayak dulu?" Akbar mengubah topik pembicaraan. "Dua bulan kerasa sebentar. Cuma kalau minim kegiatan bikin bosan juga."

"Kebetulan aku sedang menekuni hobi baru."

Gumaman Akbar kini lebih panjang dan dalam. "Apaan? Jadi DJ?"

"Ngawur." Ethan lantas mememperlihatkan serangkaian foto di ponselnya kepada Akbar. Dibiarkannya pria itu melihat-lihat selama yang dia inginkan.

"Halooo, cowok-cowok lambe, lagi lihat apa?" Stefi langsung bergabung dengan Akbar; mencermati potret di ponsel. Berbeda dengan Akbar yang serius memperhatikan, Stefi tidak membuang waktu untuk berkomentar, "Ini kamu yang bikin, Tan? Masih mentah banget."

Akbar seketika tergelak sedangkan Stefi melanjutkan, "Lihat, dong, huruf-hurufnya gendut semua. Masih tebal-tebal."

Syukurnya, Ethan sudah kebal menerima ucapan Stefi yang kadang keluar tanpa filter. "Apa yang kamu harapkan dari seseorang yang baru belajar tiga hari belajar lettering, Stef?"

"Ya makanya aku bilang mentah, Ethan sayang." Gadis itu merebut ponsel Ethan dari Akbar. "Hmm, aku sempat ikut kelas lettering di Elysian satu-dua kali. Beli peralatannya juga buat latihan di rumah, tapi baru sebulan udah nyerah. Pegal."

Mendengar Elysian disebut, Ethan serta-merta tertarik. "Di mana? Kelas mana?"

"Elysian. Tahu enggak toko barang antik di sebelahnya? Yang punya—"

"Aufi."

Pandangan Akbar dan Stefi terpusat pada Ethan. "Kamu pernah ikut kelasnya?"

Ethan mengulurkan tangan; meminta ponselnya dikembalikan. "Ya." Sesi privat, tentunya, yang tidak mungkin dia ungkapkan di depan mereka. "Aku penasaran waktu lihat brosurnya di Elysian."

TOSKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang