19 // Bad Luck

3.2K 592 89
                                    

"BAGAIMANA kelasmu tadi siang?"

"Lumayan lancar. Hampir hilang fokus karena...." Aufi mengacungkan kartu media yang terkalung di lehernya. "Tanganku masih dingin."

Ethan mengaitkan jemarinya pada jari-jari Aufi. "Tenangkan dan siapkan dirimu. Pertunjukkan sesungguhnya bakal bikin tubuhmu lemas."

"Kenapa enggak terdenagar menyenangkan, ya?"

Ethan mengarahkan langkah mereka ke teras depan Elysian. "Dalam artian, baik, Aufi. Apalagi kalau ini pengalaman pertamamu menonton konser besar."

Perjalanan menuju venue konser yang pendek tak memberi kesempatan bagi keduanya untuk melanjutkan obrolan. Sesuatu yang Aufi syukuri karena kontak fisiknya bersama Ethan cukup menggelisahkan. Dia berusaha mengabaikannya dengan memikirkan Luddy, tetapi langkah tersebut justru menerbitkan perasaan bersalah.

Begitu memasuki gerbang Sabuga, Ethan mencari slot parkir di sekitar tempat masuk. Supaya gampang keluar, katanya. Kendati konser dimulai dua jam lagi, pelataran sudah disemuti penggemar Kahitna dari berbagai lapisan umur. Dari muda-mudi berpenampilan kekinian sampai segerombol orang tua yang Aufi taksir usianya sepantaran Martha.

"Mau makan dulu? Di dalam mau minum saja bakal susah." Ethan membimbing Aufi ke gerobak mi ayam yang terletak di seberang parkiran. "Kita tidak perlu antre seperti penonton reguler. Nanti tinggal kasih lihat kartu ke panitia."

Beberapa meter di belakang mereka ada dua antrean menuju pintu masuk. Aufi bersyukur Ethan memudahkan semua urusan konser yang begitu hijau baginya. Akses masuk. Transportasi. Do's and don'ts.

Semuanya aka berjalan lancar dan mengesankan kalau bukan karena satu hal.

"Tan!" Kemunculan Akbar mengalihkan perhatian Ethan. "Tumben nyubuh."

"Justru kukira bakal terlambat. Jalannya lumayan lengang, padahal hari Sabtu." Ethan menyebutkan pesanannya dan Aufi pada penjaja mi. "Makan di sini juga, Bar? Aku beli minum dulu, ya."

Setelah memastikan Ethan berada di luar jangkauan, Aufi memberanikan diri menatap Akbar. Roman sang fotografer yang tadinya cerita serta-merta berubah masam. Bahkan dia tampak keberatan beradu tatap dengan Aufi.

"Ethan enggak pernah sembarangan ngajak cewek ke konser," gumamnya. "Gimana reaksi dia kalau tahu partnernya malam ini ternyata klien pertama proyek baru gue?"

Aufi meremas ujung kardigan. Pertemuannya dengan Akbar bukanlah di sini atau konferensi pers kemarin, melainkan saat kali terakhir Luddy berkunjung ke Bandung. Sebelum pulang, Martha meminta Aufi datang ke hotel; mengenalkannya dengan fotografer yang akan mengurus pemotretan pre-wedding.

"Karena jadwal Raeka penuh sampai tahun depan, dia minta temannya handle pemotretan kalian." Martha menepuk pundak Akbar. "Kalau Raeka yang rekomendasikan langsung, Mama enggak akan ragu."

Satu hal yang tak Aufi nyana, Akbar yang akan mengurus sesi pemotretan tersebut adalah Akbar sahabat baik sekaligus rekan kerja Ethan.

"Kami tidak kencan," dalih Aufi.

"Terus apa kalian juga hanya berteman?" Akbar mengedik. "Gue belum cerita tentang proyek ini ke Ethan, tapi gue sarankan lo mending mundur dari sekarang. Gue udah cukup lama kenal dia sampai bisa menebak ke mana arah hubungan kalian.

"Jangan sampai Ethan tahu status lo dari foto-foto gue." Aufi mundur saat Akbar mencondongkan tubuh. "Lo juga bakal tamat kalau Luddy tahu lo main api di belakang dia."

Keduanya menjaga jarak sekembalinya Ethan dari penjual minuman. Akbar lalu pamit dengan alasan ingin makan bakso di dekat gerbang. Di samping Ethan yang lahap menyantap mi ayam, Aufi menelan kegundahan.

TOSKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang