26 // Toska

1.6K 238 6
                                    

HANGAT.

Aufi menarik helaian kain yang menyaputi tubuh, lalu meraba-raba lengan dan dada. Pakaiannya masih melekat. Leganya tak lantas menguap kala mendapati beban berat di sekitar perut ke bawah. Perlahan Aufi menurunkan jemari hingga menyentuh helaian rambut berpotongan pendek. Gerakan tiba-tiba pasti akan mengganggu ritme napas dalam sentuhan tersebut.

Walau pikirannya sudah tak berkabut, Aufi masih kesulitan menggali memori selepas makan malam. Beberapa ingatan yang berputar hanya dia dan Ethan bergelung dalam selimut. Obrolan-obrolan pendek; kecupan dan sentuhan singkat. Memikirkannya membuat degup jantung Aufi semrawut lagi.

Seandainya Ethan tidak menahan, mungkin Aufi sudah pulang beberapa jam lalu.

Tujuannya menerima undangan makan malam Dev hanya satu: bertatap muka kali terakhir dengan Ethan. Hatinya tak terlalu kuat mengucapkan selamat tinggal secara gamblang, apalagi alasannya bakal menyakiti dan mengecewakan Ethan maupun Dev.

Kenyataannya, Aufi malah terdampar semalaman di kamar Ethan.

Karena ponselnya tertinggal di mantel, Aufi memeriksa waktu dari jam dinding di ruangan tersebut. Pukul setengah tiga pagi. Matanya tidak bisa diajak terlelap lagi. Dalam keheningan itu, Aufi menyusun rencana 'kepergian' dari hidup Ethan.

Pertama, menjual sisa barang di toko secara online. Menyelesaikan pesanan lettering yang tertunda. Kemudian, rumahnya. Rumah neneknya.

Aufi tidak perlu mencemaskan nasib hunian itu. Toh kepemilikannya sudah lama pindah ke tangan Martha.

Setelah itu, dia akan mencari indekos baru.

Merenungkannya saja sudah menciptakan nyeri di hati sampai-sampai Aufi tak sadar jemarinya meremas segenggam rambut Ethan.

Geliat yang diikuti gumaman pendek dari Ethan mengaktifkan kewaspadaan Aufi. Pria itu mendongak; mengulas senyum tipis. Tidak sampai satu menit, posisi mereka kini sejajar. Aufi mengira Ethan akan menyambung tidur, tetapi sepasang bola mata itu terbuka lebar; mengunci seluruh kendali tubuh.

"Kamu ke mana saja?" Aroma red wine samar terembus bersama musk dari parfum Ethan. "Tiga hari tanpa kabar dan tiba-tiba mengiyakan ajakan Dev."

"Ada... banyak urusan dan tubuhku lagi kurang fit."

Ethan mengambil sejumput rambut Aufi; memutarnya hingga meliliti telunjuk. "Aku cemas kalau kamu tidak kembali. Dev akan menghadapi sidang pertama perceraiannya—"

Tunggu. "Kenapa Dev?"

Lilitan rambut pada telunjuk Ethan terlepas. Roman pria di hadapannya mengeras. Tatapannya awas. Aufi hendak mengubur topik yang tak diharapkan tadi, tetapi Ethan melanjutkan percakapan. "Dev menggugat cerai suaminya. Untuk beberapa alasan, dia juga menyimpan rapat alasan keputusan itu dariku."

"Maaf...."

"Bagian terburuknya, aku sempat melihat sendiri mereka bertengkar." Netra pria itu bergerak tak tentu; menghindari kontak mata dengan Aufi. "Termasuk sebelum aku datang ke rumahmu dalam keadaan mabuk kemarin."

Aliran memori Aufi berpacu cepat pada satu ingatan.

Klik!

Apa ini salah satu alasan Dev menginginkan Aufi menemani Ethan?

*

Kamar Ethan menenangkan sekaligus menyedihkan. Dalam sekali pindai, Aufi menangkap dua elemen yang mendominasi ruangan itu: perabot kayu dan furnitur putih tanpa aksen. Dengan jendela di seberang pintu masuk, Aufi membayangkan berkas cahaya matahari menerobos masuk; menimpa wajah Ethan kala pagi menyambut.

Imaji kedamaian itu tak berlangsung lama. Terutama pada malam hari, saat lampu meja menjadi satu-satunya penerangan di kamar. Menyuguhkan sisi lain dari kepribadian Ethan yang mungkin tak diketahui banyak orang.

Mereka masih berbaring; bertukar tatap dalam hening. Kesempatan ini Aufi gunakan untuk menyatukan kepingan-kepingan informasi dari Ethan dan Dev. Perpisahan orangtua mereka. Hubungan asmara yang kacau. Misteri di balik perceraian Dev. Kepergian Ethan dalam hitungan minggu. Winona.

Terlalu banyak hal yang semestinya tidak Aufi serap dan keputusannya hilang dari kehidupan Ethan kian sukar diwujudkan.

"Aku sering berpikir, apa jadinya hidupku kalau Dev tidak ada? Apa aku bisa bertahan saat menghadapi perceraian Ayah dan Ibu? Atau saat aku berkubang dalam momen patah hati terburuk? Dia selalu ada dalam setiap episode hidupku." Telunjuk Ethan membentuk pola melingkar pada punggung tangan Aufi. "Aku sampai tidak punya kesempatan membalas kebaikannya, terutama di masa tersulit seperti sekarang."

Putaran-putaran pada kulit Aufi berangsur melambat, lalu berhenti. "Aufi, aku mau menemani Dev meski sebentar lagi aku pergi—"

"Kenapa?" Akbar rupanya serius seputar rencana Ethan merantau ke ibu kota.

Lawan bicaranya tersenyum kaku. "Beberapa bulan lagi, aku pindah ke Jakarta. Sudah ada daftar indekos yang akan kupilih. Menyumbangkan sebagian buku kulakukan juga untuk mengurangi beban bawaan. Semuanya sudah direncanakan semenjak aku masih di Rusia.

"Aku kira tak akan ada batu sandungan berarti selama mampir di Bandung. Kemudian, masalah Dev mencuat," Ethan berhenti sejenak, "dan kamu. Aku kembali mempertimbangkan rancangan ini karena kehadiranmu."

Jika begitu, bertahanlah bersamaku.

Kata-kata itu tertahan di ujung lidah Aufi. Tidak boleh ada janji; tidak boleh ada kebohongan lagi.

"Tato ini," Ethan menyingkap lengan kemeja, "adalah satu-satunya kata yang mewakili perasaanku. Sebagian besar orang mengira aku belum sanggup beranjak dari masa laluku. Itu memang benar pada awalnya, tetapi saat sakitnya memudar, aku merasakan hal baru yang lebih buruk.

"Aku kehilangan arah. Semangat hidup, bahkan minat pada hal-hal yang dulu kusukai." Aku juga pernah ada di sana, Ethan. "Lalu, aku melihatmu di Elysian—"

"—dan mengubah segalanya?"

Senyum Ethan merekah. "Segalanya terdengar muluk. Kamu memang mengubah banyak hal. Khususnya terhadap kepercayaanku terhadap komitmen, cinta...."

"Ethan—" Jangan.

"Ini bakal terdengar aneh, tapi memulai semuanya bersamamu adalah satu-satunya hal yang dapat menyelamatkanku sekarang."

*

Aku tidak mendesakmu, Aufi. Waktu yang kita punya sangat terbatas.

Tetapi, aku selalu menantikan kehadiranmu.

Ethan terlelap menjelang subuh. Bersama sisa kewarasan, Aufi mengendap keluar kamar, menyambar mantel di sofa ruang tamu, dan meninggalkan rumah Dev. Di tengah kesenyapan pagi, Aufi mencerna setiap kata dari Ethan; ajakan sarat asa yang amat terlarang.

Aufi terdiam di mobil hingga sinar kekuningan menembus jendela. Tubuhnya lemas, matanya mulai sulit diajak terjaga. Seharusnya dia mengindahkan peringatan Zeke dan Akbar.

Kendati begitu, bila Aufi mundur dari awal, apa dia akan benar-benar bahagia?

Apa dia akan menjalani kehidupan yang selama ini didambakan bersama Luddy?

***

Dari Pengarang:

Jadi, bagaimana penantiannya? 

Sebenarnya bab ini menyatu dengan bab sebelumnya, tapi aku pecahkan supaya enggak kepanjangan (dan ya buat membangun rasa penasaran juga, sih). 

Anw, this is NOT the only intense chapter on Toska. It's just the beginning.

Regards,

erl.

TOSKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang