23 // Bayang-bayang Semu

1.4K 230 4
                                    

KALI terakhir Ethan menyesap alkohol, dia terjaga bersama rajah mungil di pergelangan tangan kiri.

Pagi ini, Ethan terbangun bersama pengar ringan. Dia bergelung lebih lama sembari menghangatkan tubuh di tengah temperatur dingin. Paparan sinar matahari yang perlahan menyusupi ujung tempat tidur adalah hal pertama yang berhasil memaksa Ethan bangkit.

Begitu duduk, hanya butuh beberapa detik bagi Ethan memastikan keberadaannya.

Mulanya, Ethan mengira kunjungan ke rumah Aufi semalam hanya bagian dari ingatan lama atau manipulasi mimpi. Namun, mendapati dirinya berada di kamar gadis tersebut dan tidur di sana membuat jantungnya berdegup lebih cepat.

Ethan meraih gelas air putih di nakas. Masih penuh. Mungkin sengaja disediakan Aufi supaya dia tidak usah repot ke dapur. Pikirannya kini mengembara; mencari bebunyian di sekitar rumah. Telinganya hanya menangkap sayup kendaraan yang lalu-lalang di jalan dan cicitan burung. Tidak ada dentingan gelas atau kucuran air.

Kemudian, Ethan meraih ponsel dan keluar kamar. Sekarang, dia baru bisa mengendus sisa kehangatan di dapur yang semakin diperkuat dengan sarapan di meja. Secarik kertas terselip di antara sendok dan garpu. Ethan menariknya, lalu membuka lipatan kertas.

Aku keluar sebentar. Akan kembali sekitar pukul 11.

Habiskan santap paginya.

Jam digital menunjukkan pukul setengah 10 pagi. Ethan menyantap omelet dan kentang goreng yang hampir dingin sambil mengamati notifikasi yang terus muncul pada layar ponsel. Nama Dev mendominasi, disusul Akbar dan Zeke. Dia membiarkannya sampai sebuah nada panggilan masuk.

"Ethan?" Saudari kembarnya tak bisa diajak bersabar. "Kamu di mana? Kenapa pesanku enggak dibalas? Akbar bilang kamu juga enggak nginep di kosannya."

Sial, padahal Ethan berencana memakai alasan bermalam di indekos sahabatnya. Mengutarakan kejujuran hanya akan memperunyam masalah. "Aku... di Elysian."

Ada desahan sebal sebelum Dev melanjutkan, "Sori kamu harus melihat keributan semalam. Aku enggak tahan sama sikap Gary."

Serbuan teriakan yang menyambut Ethan di rumah kemarin benar-benar di luar dugaan. Kepalanya mendadak pening dan, saat Gary hendak menahannya, dia serta-merta meninggalkan rumah. Selama beberapa jam berikutnya, Ethan menghabiskan malam di sebuah beer house di sekitar Braga.

"Dev, aku baik-baik saja. Apa aku bisa pulang ke rumah hari ini? Maksudku, kalau kamu dan Gary butuh waktu menyelesaikan masalah—"

"Dia udah pergi. Kamu bisa pulang, tapi kamu ke butikku dulu. Aku lupa nyimpen kunci cadangan di pot."

"Oke. Jam makan siang aku ke sana."

"Kamu makan di sini aja. Aku yang traktir."

Selepas sarapan, Ethan mencuci peralatan makan dan mandi. Dia bersyukur memakai kemeja sebagai rangkap sehingga tidak perlu mengenakan kausnya yang bau alkohol. Kala Ethan sedang membalas sisa pesan, telinganya mendengar deru mobil di halaman yang disusul decit pintu terbuka.

Pintu kamar terdorong. Aufi mengembuskan napas lega begitu mereka beradu pandang. "Aku sampai ngebut karena cemas kamu sakit atau—ah, syukurlah. Maaf aku enggak perlu tunggu sampai bangun. Kamu tidur pulas."

"Harusnya aku yang minta maaf. Semalam pasti memalukan." Ethan mencabut kabel charger ponsel. "Habis dari mana?"

"Beli art supplies. Aku sengaja pergi pagi-pagi supaya terhindar macet." Gadis itu menyimpan belanjaannya di meja. "Kamu udah mendingan?"

TOSKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang