5 // Potret Kelam

7K 1K 29
                                    

SEBELUM meliput konser, Ethan akan mengumpulkan informasi musikus yang bersangkutan. Baginya, mereka berhak mendapatkan liputan layak, entah untuk yang sudah terkenal atau baru memulai debut. Kebiasaan ini juga membantu Ethan manakala mereka bersemuka di konferensi pers.

Kebiasaan menahun ini ternyata membantu Ethan untuk hal lain.

Mengenal seseorang, misalnya.

"Belum seminggu di Bandung, tapi kamu udah stalking cewek baru. Yep, as expected from you." Dev memiringkan pembatas buku milik Ethan ke arah cahaya matahari. Kilau keemasan bekerlapan dari setiap huruf yang menyusun elysian. "Sudah sebanyak apa informasi yang kamu dapatkan selain profesinya sebagai, uh, lettering artist? Atau kaligrafi?"

"Dua-duanya," Ethan mengoreksi. "Ternyata dia cukup terkenal."

"Masa?"

"Akun publik untuk karyanya punya 30 ribu pengikut. Dia sudah menggelar beberapa lokakarya dan kelas privat." Foto-foto bernuansa minimalis dengan sentuhan warna pastel mendominasi feed Instagram Aufi. Bidang yang gadis itu geluti mengusik keingintahuan Ethan. Dia merasa terbelakang. Sebanyak apa tren yang?

Sementara itu, Dev menikmati ketidakberdayaan kembarannya.

"Mukanya jangan ditekuk terus, Mas. Kejarlah kalau penasaran. Nanti nyesel ditinggal nikah lag—"

"Astaga, Dev." Ethan merebut pembatas bukunya. "Pinjam mobilmu."

"Ih, enak aja. Pakai skutermu! Aku bawa banyak barang seminggu ke depan."

Tak mau berdebat lebih lama, Ethan menurutinya.

*

Dari hasil pengamatan, Ethan menyadari Aufi jarang mengunggah potret diri di media sosial. Kalaupun ada, foto itu hanya digunakan untuk profil artikel dan lokakarya. Sementara sisanya terdapat dalam video-video singkat yang menayangkan Aufi saat merangkai kata-kata memakai kuas dan semacam pena yang disebut gadis itu sebagai dip pen.

"Maaas, jangan ngelamun di tengah jalan. Nanti celaka!"

Seruan tadi datang beriringan bersama bunyi klakson. Ethan hanya tersenyum masam pada pengendara mobil yang menegurnya sebelum melanjutkan perjalanan.

Ethan melintasi Dago siang ini menuju kantor Sound&Beat. Tadi pagi, Akbar mengirim rilisan pers konser band legendaris yang baru mengakhiri hiatus satu dekadenya. Ethan yang mulanya enggan menerima tawaran itu. Kesempatan seperti ini jarang terulang. Apalagi saat dia bekerja tetap nanti. Peluang menonton konser bakal berkurang drastis.

"Buset, kuat amat bawa skuter pas lagi panas-panas gini." Akbar menyambut di teras kantor. "Ke mana mobil lo?"

"Dipakai Dev." Setengah berlari, Ethan mengekor Akbar; mendesah lega memasuki ruangan ber-AC. Sesengit apa pun matahari di St. Petersburg sepanjang musim panas tetap tak bisa mengalahkan Bandung yang lembap pada musim pancaroba.

Mereka naik ke lantai dua. Nostalgia merampas atensi Ethan kala memandangi ruang kerja Sound&Beat. Kendati beberapa kursi diganti dan penataan kubikelnya diubah, tempat itu masih terlihat sama bagi Ethan.

Terutama satu kubikel di samping jendela.

"Gue minta lo datang di jam makan siang biar enggak ada yang nguping." Ethan mengalihkan perhatiannya pada Akbar, lalu menghampiri sang fotografer ke kubikel. "Anak-anak magang mendadak jadi penjilat pas dengar ada gigs bagus. Pak Bos mana mau kasih."

"Siapa yang bakal jadi partner liputanku?"

"The one and only...." Akbar menunjuk dirinya. "Gue enggak enak pakai nama lo buat ambil tugas ini, tapi gue tahu lo juga bakal terima."

Ethan membayangkan wajah semringah Pak Bos saat namanya disebut Akbar.

"Lo juga butuh ini. Jaga-jaga kalau pihak penyelenggara enggak bikin." Sebuah tanda pengenal dengan foto pas Ethan dikeluarkan dari laci kubikel Akbar. "Bentar, gue mau ambil makan siang buat kita. Nanti lanjut ngobrolnya."

Alih-alih membaca informasi acara, Ethan beranjak ke kubikel di samping jendela. Diamatinya benda-benda di meja itu sesaat. Sticky notes warna-warni; koleksi sobekan tiket konser; satu stoples permen kopi. Bingkai berisi foto Stefi bersama staf Sound&Beat.

Ini jadi meja Stefi? Ethan duduk seraya merebahkan kepala di meja. Hampir sepekan sejak dia tiba di Bandung dan kali ini dia merasakan sesnsasi pulang yang sesungguhnya.

Dulu, akan ada sepasang tangan yang mendekap tubuh Ethan. Kadang mengacak-acak rambutnya. Di lain kesempatan ikut berbaring sambil mendengarkan lagu-lagu favorit mereka. Kubikel ini menyaksikan lebih banyak kenangan dari yang Ethan ingat. Dia bisa saja melamun sampai malam kalau seseorang tidak menaruh sebungkus yamin di hadapannya.

"Gue seharusnya beli makanan lain." Akbar berdecak.

Ethan menerima jatahnya. "Bar, bersumpahlah."

"Gue bersumpah cuma kita yang tahu kalau lo belum move on, Ethan."

*

Menjelang petang, Ethan meninggalkan kantor Sound&Beat. Perasaannya tak kunjung membaik. Konser sialan. Hasrat yang dipikirnya telah lama tenggelam nyatanya masih bercokol kuat. Kalau begini terus, dia sangsi bakal bertahan di minggu-minggu berikutnya.

Bisakah dua bulan berjalan lebih cepat?

Mobil Dev belum terlihat sesampainya Ethan di rumah. Dia turun, membuka selot gerbang, dan membawa skuter ke garasi. Dibukanya pintu dengan kunci cadangan. Suasana mencekam berangsur hilang begitu lampu-lampu menyala. Ethan lantas berbaring di sofa ruang tengah; menunggu Dev pulang membawa makan malam.

Di tengah lamunan, Ethan mengalihkan perhatian pada bingkai foto di samping televisi. Potret yang menyimpan sejarah kelam keluarga mereka. Dev sepertinya sudah cukup lapang buat memajangnya. Ethan, terduduk, menyelia setiap figur dalam bingkai.

Orangtuanya mengenakan busana formal—sang ayah dalam suit hitam-putih dan sang ibu dalam kebaya burgundy—duduk di depan. Sementara Ethan dan Dev di belakang mereka, memakai toga.

Ethan ingat setiap instruksi fotografer saat mengambil momen itu.

Bahu dinaikkan. Tangan disilang. Bibir mengembangkan senyum.

Ethan juga ingat bagaimana dia dan Dev sia-sia berupaya membendung kebahagiaan di hari spesial tersebut. Setelah sekian lama, mereka berempat bisa berkumpul bersama. Setelah sekian lama, kedua orangtuanya memulas senyum bangga atas prestasi mereka.

Memori Ethan berpusar pada malam kelam itu. Selepas pemotretan, mereka menikmati santap malam spesial di restoran bintang lima. Hidangan datang silih berganti bersama setiap cerita yang keluar dari Ethan dan Dev. Ketika makanan penutup tandas, sang ayah berdeham; meminta keduanya menyimak apa yang hendak disampaikan.

"Membesarkan dan mengantar kalian sampai sejauh ini adalah pencapaian terbaik yang pernah kami lakukan." Pria paruh baya itu menoleh sejenak ke perempuan di sampingnya. "Setelah malam ini, kalian akan menghadapi kehidupan nyata sesungguhnya. Namun, sebelum itu, ada satu hal penting yang... sudah lama ingin kami utarakan."

Dev meraih tangan Ethan di bawah meja. Wajahnya yang berbinar kini mengeras. Seketika, atmosfer kebahagiaan di sekitar mereka melesap. Ethan mengendus hal tidak beres saat kedua orangtuanya menurunkan genggaman tangan mereka.

"Dev, Ethan." Sang ibu tiba-tiba menunduk, sedangkan Ayah mereka melanjutkan, "Kami memutuskan untuk berpisah."

***

TOSKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang