12 // Kisah dari Novgorod

4K 649 37
                                    

CAMPUR perasan jeruk nipis dengan madu, Mbak, bukan kecap.

Ketika Bella memberitahu fakta tersebut, Aufi kaget sekaligus paham mengapa resep pereda gejala batuk itu kadang tidak bekerja optimal padanya. Madu bikin tenggorokan lebih nyaman, Bella menambahkan. Seusai meracik, Aufi menyesap ramuan itu selagi hangat—meluruhkan rasa sakit bersama berbagai ingatan yang timbul tenggelam dalam benaknya.

Malam semakin pekat. Hujan yang membangunkan Aufi setengah jam lalu akan berlangsung lama bila desau anginnya sekencang ini. Di sisi lain, dia bimbang masuk ke kamar selepas meminum ramuan. Mustahil kembali tanpa resah melihat sosok itu di sana.

Ethan masih terlelap di sofa kamar.

Aufi lantas tercatuk memeriksa ponsel. Segelintir notifikasi di media sosial; tak ada pesan baru maupun missed call, bahkan dari Luddy. Pesan terakhir yang pria itu kirimkan hanya cepat sembuh. Tidak ada pertanyaan lanjutan seperti mau kujenguk? atau aku ke Bandung sekarang.

Bukan hal aneh, sebenarnya. Luddy memang seperti itu.

Beda sekali dengan Ethan.

Aufi mengusap wajah berkali-kali. Tidak boleh, tidak boleh, batinnya, tidak boleh membandingkan. Dibukanya WhatsApp untuk memberi kabar kepada Luddy; berharap ada obrolan muncul untuk menenangkan hati.

[Aufi] Aku udah baikan.

[Aufi] Sedang apa? Di sini hujan deras.

Pesan macam itu? Seperti remaja baru pacaran. Namun, Aufi membutuhkan pengalih perhatian. Seandainya Mu di sini, mungkin dia sudah bergelung di ruang kerja; membahas satu topik ke topik lain walau dibalas eongan atau cakaran.

[Luddy] Di restoran. Makan malam bareng Mama.

[Luddy] Sayang kamu tidak ada di sini.

Sayang sekali. Membayangkan duduk semeja dengan Martha—figur yang kelak akan jadi mertuanya—membuat perut Aufi mulas. Bukan, ibu Luddy bukan tipe wanita paruh baya menyeramkan. Sosok itu justru ramah dan terbuka. Keibuan. Memberikan Aufi banyak hal yang tidak dia dapatkan dari ibunya sendiri.

Kehangatan Martha yang sesekali membuat Aufi cemas dan gelisah. Dia khawatir akan menyakiti perasannya dan Luddy.

[Aufi] Salam buat Mama.

[Luddy] Dia baru menanyakanmu.

[Luddy] Kalian harus segera bertemu.

Aufi tersentak saat langit berkilat dan bergemuruh. Hujan menderas; mengecilkan peluang Ethan pulang dalam waktu dekat. Seharusnya dia tidak menahan pemuda itu.

Pengaruh obat sukses menghentikan fungsi normal otaknya. Tubuhnya belum benar-benar pulih. Aufi butuh istirahat. Diambilnya gelas baru untuk menuang perasan jeruk nipis dan madu yang kemudian diseduh dengan air panas.

[Aufi] Kita punya banyak waktu, Luddy.

Dalam rentang waktu tersebut, apakah akan ada yang berubah?

Siapa yang akan tinggal dan pergi?

Untuk kali pertama, Aufi merasakan retakan dalam kepastiannya.

*

"Syukurlah kamu membaik."

Di kamar, Ethan melendeh di sofa dengan wajah setengah mengantuk. Aufi lantas menyerahkan gelas berisi campuran jeruk nipis dan madu. "Aku tidak menjamin kamu bakal tetap sehat satu-dua hari lagi."

"Pilek memang menyebalkan." Ethan berjengit sesaat begitu menyesap ramuan itu, lalu meminumnya pelan-pelan. "Aku kira buatan Dev yang paling asam."

TOSKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang