30 // Episode yang Terlewat

1.5K 257 9
                                    

[DEV] Kapan pulaaaang.

[Dev] Sepi banget di rumah nggak ada temen ribut.

[Ethan] Besok pagi.

[Dev] Yeeay, mau kujemput?

[Ethan] Enggak perlu. Nanti dilanjut taksi.

Hanya sebentar. Satu atau dua hari di Bandung, lalu kembali ke Jakarta. Indekos yang Ethan incar menyediakan kamar kosong bulan depan setelah kontrak penyewa sebelumnya habis. Selama menunggu, dia akan menumpang di rumah Joseph. Opsi terbaik dari dua pilihan terburuk. Terlalu lama menetap di Bandung berpotensi membuatnya sinting.

Ruang tamu sudah benderang sesampainya Ethan di rumah. Siapa pun yang berkunjung jelas bukan ayahnya karena dia sedang berada di Tangerang. Ketika matanya menangkap mobil yang terparkir di dekat pos satpam, rasa penasarannya terjawab.

"Malam, Ethan." Gary spontan berdiri kala Ethan membuka pintu. "Aku dengar kamu sedang di Jakarta dari Ayah. Jadi, aku numpang sebentar ke sini buat ngobrol."

"Tentang Dev?" tembak Ethan. Semenjak kejadian di Elysian, dia tidak memikirkan banyak hal selain kepindahannya ke Jakarta. Bahkan perceraian saudarinya yang tak pernah terduga. "Dia baik-baik saja." Setidaknya begitu.

"Bukan, aku mau membicarakan hal lain." Wajahnya mengeras. "Ini seputar alasan kami bercerai."

"Tempo hari kamu bilang sebaiknya aku dengar sendiri dari Dev—"

"Apa kamu yakin Dev bersedia menceritakannya?"

Dibacanya raut wajah Gary. "Bisa tunggu 20 menit? Aku mandi dan ganti baju dulu."

*

Ketika orangtuanya memutuskan berpisah, Ethan dan Dev hanya menerima alasan sudah tidak mampu mempertahankan ikatan dan merasa lebih baik kalau kami berpisah. Prosesnya yang cepat menambah keyakinan Ethan bila mereka sudah mempertimbangkan perceraian sejak jauh-jauh hari. Bertahun-tahun berlalu, ibunya memilih berkelana ke berbagai negara bersama kekasih barunya, sementara ayahnya tetap melajang.

Bagaimana dengan Dev dan Gary? Usia pernikahan mereka belum genap empat tahun. Dari masa pacaran pun mereka jarang bermasalah, padahal keduanya menjalani hubungan jarak jauh. Kondisi finansial juga tampak baik-baik saja.

Apakah faktor orang ketiga—

Ethan buru-buru mematikan shower dan menyambar handuk. Bukan, bukan, bukan. Bukan orang lain, pikirnya sembari berganti pakaian. Kemudian, Ethan mengambil dua gelas air putih di dapur dan membawanya ke ruang tamu.

"Thanks." Gary menerima minumannya. "Kamu tinggal tetap di sini?"

"Belum. Besok balik ke Bandung buat ambil barang."

"Begitu." Gestur tubuhnya kembali menegang. "Jadi, kamu sudah tahu soal sidang-sidang yang aku dan Dev jalani?"

Ethan mengangguk.

"Kedatanganku ke sini bukan untuk mempengaruhimu," Gary melanjutkan. "Aku menghargai permintaan Dev. Sejak awal, kami berkomitmen menangani semua hal berdua, termasuk saat bertengkar sehebat apa pun.

"Sayangnya, aku keliru. Dev ternyata sangat kompleks." Ethan menegakkan punggung; mengendus kejutan yang sebentar lagi datang. "Kamu mungkin tahu kami jarang serumah karena tuntutan pekerjaan, tapi aku selalu menghabiskan waktu bersama Dev kalau sedang tak bertugas ke luar Bandung.

"Sampai satu hari, aku dapat kabar Dev hamil."

Mata Ethan mendelik. "Dev hamil?"

"Pernah hamil," Gary menambahkan. Jemarinya saling menekan cepat. "Kabar ini enggak datang dari test pack atau USG, melainkan pendarahan. Dev mengira rahimnya bermasalah karena siklus haidnya berantakan. But turn out it was miscarriage. Dokter menyarankan kuretase mengingat usia janinnya sudah lebih dari 10 minggu.

TOSKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang