39 // Mengambil Alih Kendali

1.6K 257 13
                                    

KELAS copperplate calligraphy di Elysian esok hari adalah kelas terakhir yang Aufi gelar di Bandung. Kenyataan tersebut membuatnya lebih emosional. Entah sudah berapa kali dia menyambar, lalu menaruh ponsel di meja; menahan dorongan meminta bantuan pada Zeke atau Bella. Biasanya Aufi menangani suplai kaligrafi sendirian walau jumlah pesertanya membludak.

Isi kepalanya tak kalah semrawut. Kemarin, saat menjenguk Dev, dia berjanji pada Ethan akan mengembalikan jaket denimnya. Sikap pria itu tetap dingin dan sinis—Aufi tidak bisa menyalahkan perubahan itu. Selain itu, dia dan Jenna secara berkala bertukar kabar. Pesan terakhir yang dikirim perempuan tersebut kurang bagus.

Martha dan Luddy bertengkar. Nama kamu disebut beberapa kali.

Luddy belum mengabari apa pun; seakan-akan memperkuat kebenaran berita tadi.

Aufi mengempaskan diri ke sofa; mengatur napas agar pikirannya tenang. Terus bergantung pada bantuan Jenna maupun Luddy tidak akan menolongnya. Dia harus punya pijakan sendiri.

Bunyi pagar terbuka serta-merta mengaktifkan kewaspadaan Aufi. Siapa yang bertamu sepagi ini? Seraya merapikan rok dress, gadis itu bergegas ke pintu utama. Begitu pintu diketuk, Aufi memasang senyum dan menarik handle untuk menyambut sang tamu.

"Selamat pa...gi."

Secepat ini.

Secepat ini Aufi harus berhadapan dengan Martha.

*

Pagi itu, selepas bercinta dengan Luddy, Aufi terbangun dalam gelombang aneh yang membungkus tubuhnya. Ada yang terlepas. Terbebas. Apa yang menahannya sekuat itu?

"Ketakutan-ketakutan tak berdasar," Luddy menjawab kala Aufi mengungkapkan sensasi ganjil tersebut. "Kamu punya kekuatan dan keberanian besar yang, sayangnya, tertahan ketakutan-ketakutan tadi."

"Umh, kamu enggak suka?"

Luddy memeluk Aufi dari belakang dan mencium pundaknya. "Justru hal itu yang bikin kamu semakin bernilai. Gunakan itu sebagai senjata dan aku jamin enggak akan ada yang berani mengontrolmu lagi."

Saran Luddy menempel kuat dalam ingatan Aufi hingga detik ini. Kesiagaan gadis itu lantas naik saat menyadari Martha datang tanpa kantung belanja. Ada tujuan lain, tetapi Aufi perlu strategi untuk mengungkitnya. Dipersilakannya Martha masuk dan perempuan itu, alih-alih ke dapur, berjalan ke ruang kerja Aufi.

"Mama mau aku buatkan teh atau sarapan?" Aufi mengawasi dari belakang. Suplai kaligrafi belum semuanya dimasukan ke kantung.

"Tidak perlu. Mama cuma mau membicarakan sesuatu." Martha memilih kursi di samping meja kerja. "Apa Luddy pernah membahas seputar warisan sama kamu?"

Hatinya membuncah. "Warisan?"

"Tidak usah kebingungan seperti itu, Aufi. Mama yakin kamu tahu Luddy akan memegang kendali hotel ayahnya." Suara lembut dan wajah berseri yang biasanya diperlihatkan Martha kini hilang. "Sehari setelah jamuan, ayahnya menceritakan rencana absurd Luddy mendirikan kedai teh dan menyerahkan posisi di hotel kepada suami Jenna. Bukannya Mama melarang, tapi sebesar apa jaminan yang akan diberikan bisnis teh?

"Luddy kukuh memegang keputusannya. Mama mendesak apa atau siapa yang mendorongnya nekat mengajukan rencana itu, lalu nama kamu keluar. Dia bilang kamu yang menggugahnya mewujudkan impian lamanya mengurus kedai teh. Impian macam apa itu?"

"Menurutku, keputusan yang Luddy ambil memang riskan, tetapi di mana salahnya?" Aufi memberanikan diri; mengusir ketegangan yang dilancarkan Martha. "Aku tidak mendorong, apalagi mempengaruhi. Luddy yang menceritakannya sendiri. Dia bahkan punya pengetahuan seputar teh dan bisnis yang melingkupinya."

TOSKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang