27 // Awal dari Sebuah Akhir

1.7K 241 28
                                    

"ASEM banget mukanya, Tan." Segelas air putih ditaruh Zeke di meja. "Nyubuh pula ke sini, belum pada dateng. Aku cuma nyimpen roti sisir kalau kamu pengin ngemil."

"Boleh minta satu?"

Kali terakhir Ethan berkunjung ke Elysian menjelang jam buka adalah beberapa hari sebelum keberangkatannya ke Rusia. Perpustakaan ini terasa bak rumah neneknya alih-alih tempat inap buku. Hening; damai.

Suasana itu tetap menyapa kala Ethan tiba sepuluh menit lalu; tepat bersama Zeke yang sedang membuka gerbang. Sesuai rilisan pers yang dikirim Akbar, konferensi pers akan dimulai pukul sembilan pagi. Ethan, seperti biasa, hadir lebih awal untuk meninjau lokasi sekaligus mempersiapkan diri.

Hari ini, tujuan utamanya adalah mencari Aufi.

Sekali lagi, gadis itu menghilang. Selama satu-dua hari Ethan berasumsi Aufi sungkan menghubungi gara-gara pernyataannya. Pada hari ketiga, Ethan memberanikan diri mengirim pesan yang dibalas seadanya. Pernah dia menelepon, tetapi semua panggilan berakhir di voice mail.

"Perlu aku bikin jamuan makan malam?" Dev sempat menyumbangkan ide. "Siapa tahu Aufi mau ngobrol sama aku."

"Mana mungkin dia menerima, Dev. Dia sudah tahu ujungnya ke mana."

Reminder yang Akbar kirim dua hari lalu meloloskan Ethan dari jerat nelangsa. Mencari Aufi di Elysian sambil meliput konferensi pers adalah peluang bagus. Dia tidak mau berharap muluk-muluk; hanya berniat meluruskan ucapan malam itu. Jika responsnya baik, Ethan akan memastikan gadis itu tidak kabur lagi.

Sebaliknya, bila semuanya bertambah buruk, Ethan siap mundur.

Konferensi pers ini akan jadi tugas terakhir Ethan di Bandung. Minggu depan dia akan survei indekos di sekitar Kuningan. Kemudian, ada sidang perceraian Dev yang, sayangnya, dimulai pada hari ini. Kepastian dari Aufi adalah satu-satunya hal yang dibutuhkan agar Ethan terlepas dari beban pikiran sebelum memulai awal baru di Jakarta.

Eongan rendah menyentak Ethan. Mu naik ke kursi di hadapannya; mengawasi dalam diam. Hati-hati, Ethan mengulurkan tangan dan menepuk puncak kepala kucing itu. Dielusnya perlahan sembari menikmati roti sisir pemberian Zeke.

"Sudah lama tidak bertemu." Ethan menyodorkan secuil roti yang disambut gigitan Mu. "Apa jaketku nyaman? Kamu suka?"

Setengah roti sisir kemudian, Mu turun dari kursi dan berlari ke taman belakang. Jika ada Mu, itu berarti Aufi kemungkinan besar masih mengurus toko.

"Tan, mumpung di sini, mau bantu beres-beres toko Aufi?" Zeke merapikan tumpukan kertas. "Band-nya udah otw. Bella juga bentar lagi dateng."

Ethan mengangguk. Semoga, semoga, Aufi tetap hadir walau tokonya dipakai untuk keperluan lain.

*

Pukul setengah sembilan, Elysian berubah menjadi titik kumpul awak media. Ethan berusaha bersikap sesantai mungkin dengan bertukar cerita bersama rekan jurnalis. Kehadiran Akbar pun serta-merta mengantarkan lega. Mereka berdua lantas mengambil tempat di toko Ethan setelah menerima dua cup kopi instan dari Bella.

Tidak ada yang banyak berubah dari tata ruangnya. Barang-barang antik digeser ke sisi pintu depan dan belakang, lalu bagian tengah diisi kursi serta meja untuk konferensi. Ethan duduk tak jauh dari dinding berhias lettering karya Aufi dan ornamen vintage. Saksi bisu saat dia dan Aufi berbagi kecupan pertama.

Ah.

"Woi, denger gue ngomong enggak?" Akbar berdecak. "Lo belum sarapan? Tuh ambil dulu tempe mendoan buat ganjel perut. Gue ogah tanggung jawab kalau liputan pers conference kacau gara-gara lo bengong mulu."

TOSKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang