25 //Jamuan Makan Malam

1.5K 228 12
                                    

PETRIKOR menyusup dari celah jendela kamar; membangunkan Ethan dari tidur singkatnya. Di meja, kertas-kertas terserak di antara sebotol kecil tinta dan kuas lukis yang ujungnya mengering. Selama beberapa saat, Ethan menyaksikan hujan bertempias ke kaca. Tangannya lalu meraih ponsel di samping gelas minum.

Hatinya mencelus. Di antara sekian notifikasi yang masuk, nama Aufi tak ada di sana.

"Tan." Pintu terbuka, disusul Dev membawa sepiring makanan. Aroma cumi goreng yang menguar seketika memecahkan atensi Ethan. "Seharian di kamar sampai skip makan siang. Bentar lagi sore, lho."

Ethan bergeming di tempat; membiarkan Dev membereskan peralatan lettering, lalu menaruh hidangan yang harusnya menjadi santap siang.

"Makan dulu, nih, galaunya nanti aja. Kamu bikin repot kalau sakit."

Tanpa mendebat, Ethan menggugu perintah Dev. Melumat satu per satu suapan dalam lamunan. Selepas kunjungan kurang sopan ke rumah Aufi tempo hari, gadis itu hilang dari peredaran. Mulanya, Ethan berasumsi Aufi sibuk mengurus toko atau kelas. Cemas dan curiganya muncul kala pesan-pesannya tidak digubris sama sekali.

Jika pesan saja diabaikan, Ethan ragu panggilan telepon mendapat sambutan hangat. Dia juga tidak mau menyambangi rumah Aufi tanpa mengabarinya terlebih dahulu. Hari ini, dia berencana ke Elysian, tetapi Zeke mengatakan perpustakaan tersebut sudah disewa untuk sesi pre-wedding sehari penuh.

Ke mana Aufi?

"Heh, masih lama ngelamunnya?" Dev menekan-nekan punggung bawah Ethan. "Untung banget hari ini aku seharian di rumah. Coba kamu sendirian, aku pasti enggak bisa nahan setan yang pengin ngerasuk kamu."

"Dev, kopi masih ada?"

"Ada. Mau kuseduh?"

Ethan mengekor Dev keluar kamar; menghabiskan waktu di ruang tengah sembari mengganti stasiun televisi sampai berhenti pada tayangan animasi Jepang. Kopi seduhan Dev datang tak lama kemudian dengan setoples kue kering. Saudarinya menyelia sepanjang satu segmen lalu bertanya,

"Kamu masih kontak-kontakan sama Mama, Tan?"

Kali ini, Ethan melirik. "Terakhir Mama kirim surel waktu aku pulang ke Bandung."

"Aku... boleh minta alamatnya?"

Hubungan Dev dengan sang ibu tak bisa dikatakan dekat. Baik-baik saja walau frekuensi komunikasi mereka turun drastis sejak sepuluh tahun silam. Sang ibu sesekali menanyakan kabar Dev melalui Ethan. Dari pertanyaan tadi, ada kemungkinan Dev belum sempat bertegur sapa dengan perempuan paruh baya tersebut lebih lama dari yang Ethan duga.

"Tumben." Sukar bagi Ethan mengendalikan rasa penasaran. "Mama biasanya agak lama balas surel. Nanti aku kirim kontak WhatsApp-nya juga kalau perlu."

"Thank you." Dev sepertinya tidak ingin Ethan menggali lebih dalam tentang niat menghubungi sang ibu, karena dia cepat-cepat menyambung, "Kamu lagi mikirin Aufi, ya? Namanya kamu tulis berkali-kali di kertas tadi."

Percuma saja menghindar. "Tiga hari terakhir tidak ada kabar. Aku pengin telepon, tapi takut ganggu."

"Ya udah, aku aja yang telepon. Dia kebetulan sempat kasih nomor."

"Dev—"

Ethan hanya bisa memandang pasrah saat Dev menekan tombol Call pada nomor Aufi. Dia jelas ragu karena, kalau pesannya saja tidak dibalas, bagaimana dengan panggilan Dev? Meski begitu, Ethan tetap mengawasi. Sementara Dev berusaha menolak kontak mata sampai nada sambungnya berganti dengan sapaan Aufi.

"Aufi, hei, ini Dev. Kamu sibuk malam ini?" Respons Aufi terhadap panggilan Dev serta-merta meruntuhkan kekalutan Ethan. "Oh, enggak, aku pengin ngundang kamu buat makan malam di rumah.... That's okay, pukul tujuh? I'm gonna send you the address. See you tonight."

TOSKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang