'8' HURT

23.8K 1.6K 12
                                    

Tiara menatap kaca besar yang ada diruangannya dengan mata yang merah dan pipi yang juga basah.

"Ini adalah hal yang benar. Mencoba untuk tidak peduli padanya adalah hal yang benar. mencoba melupakannya adalah hal yang terbaik, jadi jika dia tidak akan kembali aku takkan tersakiti. Ia ini keputusan yang paling benar Tiara. Ini yang paling benar!" Ucap Tiara sambil sekali kali menepuk dadanya yang terasa sesak karna Tiara menahan isakannya.

"Permisi nona, kita akan mulai meeting 15 menit lagi" Ucapan Dian dari luar ruangan dan membuat Tiara segera membersihkan wajahnya.

"Baiklah." Jawab Tiara

Tiara segera memoleskan bedaknya kembali dan merapikan rambutnya. Tiara menatap dirinya didepan kaca dan menghembuskan nafasnya lagi dan lagi. Tiara keluar dari ruangannya dan menatap Dian sambil tersenyum.

"Baiklah, ayo." Ucap Tiara sebelum berjalan duluan menuju ruanga rapat.

Selama di lift Tiara hanya diam sambil menatap kearah sepatunya. Tiara memang sering menatap bawah jika banyak pikiran dan merasa tak tenang.

"Nona, apakah nona ada masalah?" Suara Dian membuat Tiara sadar kalau ada orang lain di dalam lift.

"Tidak ada Dian, saya hanya sedikt pusing. Jangan terlalu mencemaskan saya Dian, saya sekarang sudah lebih baik." Ucap Tiara sambil mencoba membalikan moodnya yang memang sedang tidak baik.

"Baiklah nona, jika memang anda merasa anda baik baik saja. Mari nona kita keluar sekarang." Ucap Dian setelah melihat pintu lift yang sudah terbuka.

Tiara melangkahkan kaki jenjangnya menuju ruang meeting dengan pandangan yang masih belum fokus. Tiara masuk kedalam ruang meeting dengan perasaan ragu karna Taira takut kalau meeting ini akan ada Aras, karna jujur Tiara tak melihat agenda kegiatannya untuk hari ini. Tiara hanya tahu kalau hari ini ada meetting.

Tiara sibuk memperbaiki perasaannya yang tak tentu. Tiara bersyukur tak ada Aras, diruang meeting ini hanya ada beberapa investor dan David yang tersenyum pada Tiara.

"Maaf membuat kalian menunggu terlalu lama, mari kita mulai meetingnya sekarang." Ucap Tiara setelah membalas senyum dari David.

Meeting berjalan dengan lancar, untung saja Tiara bisa mengendalikan moodnya kali ini. Ruangan sudah sepi hanya ada Tiara dan David yang hanya diam dengan pikiran masing masing.

"Ada masalah apa?" Tanya David pertanda suasana sunyi akan tergantiakn dengan suasana yang lebih bersahabat.

"Tidak ada apa-apa kok. Kenapa abang belum keluar?" Pertanyaan Tiara membuat David tersenyum kecut dan berjalan ke arah Tiara.

David duduk didepan Tiara dengan mengambil kursi didepan Tiara. David menggenggam tangan Tiara dan entah mengapa Taira meneteskan air matanya lagi dan lagi.

"Menangislah Tiara, aku akan selalu disampingmu."

"Hiks........" Tangisan Tiara pecah begitu saja. Tiara masih terluka, Tiara masih kecewa, Tiara juga masih tak percaya pria yang dicintainya teryata bukan hanya membencinya, tapi ternyata pria itu mencintai wanita lain.

Takan ada harapan dalam hubungan mereka, hanya akan ada satu ikatan bagi mereka. Ikatan yang akan menyiksa mereka tanpa mereka sadari. Ikatan yang akan selalu membuat kedua belah pihak terluka.

"Hiks...."

"Menangislah Tiara, aku akan selalu mendengarkanmu dan menjadikan bahuku sebagai sandaran jika kamu menangis."

Tiara tanpa sadar meletakan kepalanya dibahu kanan David sambil sekali kali memukul dadanya yang terasa sesak.

"Sakit bang, sakit."Lirihan Tiara tanpa sadar membuat David meletakan tangannya di punggung Tiara sambil menepuk pelan.

"Sakit bang. Rasanya masih sangat sakit bang. Hiksss. Aku terluka dan kembali terluka bang, Hiks. Hanya karna satu kata . Cinta. Hanya karna kata itu." Lagi dan lagi Tiara mengeluarkan setiap kata demi kata dengan tangisan yang semakin pecah.

"Hanya karna itu bang Dav, tapi kenapa rasanya sangat sakit."

David melepaskan pelukannya saat tanpa sadar pandangan matanya bertemu dengan pandangan mata pria yang membuat perempuan yang dicintanya menangis. ARAS. Pria yang harusnya dibenci David, tapi David sadar bukan Aras yang harusnya dibenci, tapi seharusnya dirinya sendirilah yang dibenci. David yang tak mampu membuat Tiara bahagia, maka David mengalah pada saat itu. Tapi tidak untuk sekarang Tiara sudah terlalu banyak terluka hanya karna Aras. hanya karna pria yang bodoh itu.

Aras berjalan semakin dekat namun langkahnya terhenti karna tindakan David. David mencium kening Tiara dan lagi lagi Tiara hanya diam. Tiara hanya merasa kalau perhatian yang diberikan oleh David padanya adalah perhatian seorang abang untuk adiknya. Hanya itu.

Aras yang mulai sadar mulai terbawa emosi. Aras berjalan semakin dekat dan langsung menarik Tiara dan memukul David dengan kencang.

"Apa anda gak sadar, perempuan yang anda peluk itu sudah punya suami dan suminya adalah teman Anda. Apa Anda tidak malu mencium istri orang?" Teriakan Aras membuat sebagian karyawan mengintip dipintu ruang rapat yang tidak tertutup dengan rapat.

Tiara yang sadar akan kemarahan Aras segera menarik tangan Aras pelan. "Apa kamu gila, kmau bisa saja membunuhnya." Teriak Tiara sambil menatap Aras tak percaya.

Baru saja Tiara ingin membantu David berdiri, tapi Aras sudah menahan tangan Tiara dengan cengkraman yang keras.

"Sakit"Lirih Tiara sambil mencoba melepaskan cengkraman Aras dari tangannya

Aras tidak memperdulikan Tiara, Aras menatap David dengan tatapan benci. "Ingat baik baik, perempuan yang anda peluk telah memiliki suami, ingat itu!"

Ucap Aras sebelum menarik Tiara keluar dari ruangan rapat, tapi langkah mereka terhenti karna ucapan David yang membuat Aras semakin menguatkan cengkraman tangannya pada Tiara.

"Aku akan merebutnya walaupun suaminya mencintainya, apalagi jika suaminya hanya membuatnya terus menangis. Aku akan tetap merebutnya dari suaminya!"

Tiara diam sedangkan Aras telah melangkah menuju David dan tanpa Tiara sadari Aras telah mencekram kuat kerah kemeja putih yang David gunakan.

"Rebutlah kalau anda berani, tapi akan saya pastian dia tak akan pernah menjadi memilih mu!" Ucap Aras sebelum melepaskan kerah baju David dengan kasar dan membuat David terjatuh kembali.

Aras terus menarik Tiara dengan kasar, bahkan Aras tak merasa risih karna semua orang menatap mereka dengan pandangan bertanya.

Tiara menghentikan langkahnya, lebih tepatnya Tiara menghentakan genggaman tangan Aras dan menatap sekitarnya. Lantai dasar telah penuh dengan semua karyawan ataupun orang yang memang ada urusan dikantor tersebut. Tiara menghelaikan nafasnya dengan kasar dan menatap Aras yang ternyata juga sedang menatapnya.

Tiara menundukan kepalanya sedikit dan itu membuat semua orang bingung termasuk dengan Aras yang juga bingung dengan apa yang dilakukan oleh Tiara. Tiara mengangkat kepalanya dan menapat Aras dengan tatapan terluka.

"Maaf!" satu kata yang di ucapkan Tiara membuat suasana menjadi ribut. Satu kata Tiara begitu ambigu, sangat ambigu.

"Aku menyerah, maaf." Ucapan Tiara sangat di mengerti oleh Aras.

Aras tertawa dengan sinis dengan tatapan tidak percaya. Tatapan yang memilki arti yang banyak saat Tiara menatapnya.

"Aku lelah"

Ucapan Tiara membuat Aras terdiam sejenak.

"Apa kamu-" Ucapan Aras di potong cepat oleh Tiara.

"Aku ingin semuanya berahkir sekarang. Aku sudah terlalu lelah. Berjuta juta kalipun aku memikirkannya, semuanya akan tetap sama. Tidak akan ada yang berubah."

'Bukannnya aku tak ingin berjuang untuk kamu, namun aku sudah lelah untuk menunggu. Biarkan kali ini aku yang ditunggu, bukan menunggu.'

~ ~ ~ ~


14, Desember 2017

salam hangat aprivane

HURT (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang