#1

540 33 10
                                    

Kaki kecil itu terus berlari menyusuri jalanan setapak yang penuh lumpur. Ia tidak boleh berhenti meski lelah, ia harus mencari pertolongan. Dengan tangis tertahan ia terus berlari dalam gelap, hati kecilnya mengharapkan seseorang datang dan membantunya.

Hutan itu sama sekali tidak ada cahaya, membuat penglihatannya memburam, kaki kecilnya terjerambat ranting pohon, tubuhnya tergelincir dan berguling-guling hingga pada akhirnya tercebur ke dalam sungai. Alirang sungai malam itu deras, tubuh kecilnya berusaha melawan arus sambil menangis.

Ia terus berenang agar tidak tenggelam, tapi sayang tubuhnya kalah, tenaganya sudah habis dipakai berlari. Perlahan kesadarannya hilang, membuat tubuhnya tenggelam kedalam sungai.

Pranggg

Alana terbangun dengan napas tersengal, keringat membanjiri dahinya. Sudah delapan tahun ia memimpikan hal itu. Mimpi yang terus berulang secara acak seperti potongan teka-teki yang berusaha disusun otaknya.

Suara nyaring dari luar berhasil menyelamatkannya dari mimpi menyebalkan itu. Jalannya gontai berusaha keluar dari kamar dengan kepala yang terasa amat berat. Langkah kakinya membawa ia keluar dari kamar, ingin memastikan penyebab suara nyaring di tengah malam itu.

Keributan ternyata bersumber dari kamar kedua orang tuanya, untuk kesekian kali mama dan papa bertengkar tepat di depan mata kepala Alana sendiri.

Pandangannya bertemu dengan mama yang membuka pintu, kedua mata mama terlihat bengkak sehabis menangis. Mama jalan begitu saja dengan menyeret dua koper, tidak peduli akan kehadiran Alana yang berdiri di depan pintu kamar.

"Mama mau kemana??" Alana mencekal tangan mama yang sedang memasukkan koper kedalam bagasi mobil.

Mama menepis tangan Alana. "Aku harus pergi, papa kamu sudah tidak menginginkan mama lagi."

Wanita yang Alana cegat itu langsung masuk kedalam mobil dan kendaraan berwarna hitam itu melaju menjauh dari pekarangan rumah.

Cairan likuid hangat mengalir begitu saja melintas kedua pipi Alana, ia merasa sesak karena mama pergi begitu saja meninggalkannya sendiri tanpa anda kata perpisahan atau apapun itu.

Tangis nya pecah, ia terduduk di atas tanah dan menumpahkan semua air mata yang tertahan di pelupuk mata. Setelah sekian lama ia menahan rasa sedih ini dan pada akhirnya semua air matanya meluap. Sebenarnya Alana sudah terbiasa melihat pertengkaran orang tuanya, tapi rasanya sakit sekali saat perpisahan yang ia takut kan terjadi bahkan tepat disaat ia ulang tahun.

Alana sama sekali tidak menginginkan hadiah atau pun pesta, yang ia inginkan hanya kebahagiaan dan kehangatan keluarga. Terkadang Alana selalu bertanya pada diri sendiri mengapa mama dan papa nya itu sering bertengkar, tidak mengenal waktu dan tempat.

Tapi, Alana tidak bisa mencampuri urusan rumah tangga orang tuanya, karena papa mama yang ia lihat sekarang ini adalah orang tua angkatnya.

Saat Alana berumur enam tahun ia diadopsi dari panti asuhan, tapi memory nya sama sekali tidak bisa mengingat saat-saat tinggal di panti membuatnya selalu menagih penjelasan pada mama perihal panti juga kehidupan masa kecil Alana.

Namun, bukan jawaban yang Alana dapatkan tapi sanggahan dan mengatakan kata-kata manis untuk tidak lagi mempermasalahkan hal itu karena saat itu kedua orang tuanya berjanji akan selalu menyayangi Alana.

Pada kenyataannya semua itu tidak seperti apa yang diharapkan. Kata-kata mama hanya bualan, salah satu buktinya saja saat Alana baru menginjak umur dua belas sikap kedua orang tuanya mulai berubah.

Papa yang Alana tahu sebagai sosok yang lembut dan hangat berubah seratus delapan puluh derajat. Pria itu awalnya menjadi sosok cinta pertama Alana, namun semua berubah saat Alana menginjak umur lima belas, kala itu temperamen nya sering kali meninggi saat dihadapkan dengan masalah.

Lost in the SunshineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang