#23

32 2 0
                                    

Hari-hari Alana berlalu begitu saja, seperti sebuah siklus yang tak pernah berakhir. Setiap hari diisi dengan rutinitas yang sama: pergi sekolah, bekerja, dan pulang ke rumah dengan rasa lelah yang menyelimuti tubuhnya.

Malam itu, setelah mandi dengan rambutnya yang masih basah terlilit oleh handuk, Alana keluar dari kamar mandi. Ia duduk di kursi, membuka buku catatan matematika nya yang tergeletak di meja belajar, dan mulai memfotonya. Setelah selesai, ia langsung mengirimkannya pada Ezra, seperti yang telah ia lakukan setiap hari sepanjang satu minggu terakhir. 

Namun, selama satu minggu itu ia tidak mendapat balasan atau sekadar pesan yang dibaca oleh Ezra. Ia menatap layar ponsel nya yang terus menampilkan pesan-pesan yang belum dibalas, sementara pikirannya dipenuhi oleh pertanyaan yang tidak kunjung mendapat jawaban. 

"Apa aku harus menelepon nya?" gumam nya pada dirinya sendiri, terombang-ambing antara keinginan untuk mencari tahu apa yang terjadi dan kekhawatiran karena teringat kata-kata Bima untuk menjaga batas.

Rasa ragu terus menghantui nya. Alana tidak ingin langkahnya ini menimbulkan spekulasi atau bahkan merusak batas-batas hubungan mereka yang telah mereka jaga sejak awal. Ia tidak ingin risiko ini membawa dampak negatif pada hubungan mereka yang selama ini hanya berjalan sebagai hubungan teman.

Rasa penasaran Alana semakin besar, mempertanyakan kenapa Ezra tidak merespons benda pemberian darinya. Hal ini membuat Alana semakin bingung. Apakah ingatannya itu salah? Kenapa segalanya terasa semakin rumit kala ia mulai mengingat kembali masa lalunya—khususnya satu momen saat ia bersama Ezra di hutan kala mereka masih anak-anak.

Mimpi yang selama ini menghantui nya ternyata adalah potongan ingatan yang terlupa dari memori nya. Semua ingatan itu membawa Alana kembali ke masa kecil mereka. Saat itu, ia dan Ezra bermain di hutan pribadi milik keluarga Ezra, keduanya terduduk di sebuah batu untuk melihat kunang-kunang. Mereka tertawa dan bercanda, tanpa ada beban dan rasa khawatir. Ia ingat betapa cerah nya mata Ezra saat menceritakan hal-hal menyenangkan baginya. 

Namun, sekarang semuanya terasa berbeda. Ezra yang ia kenal seolah menghilang, tergantikan oleh sosok pria dewasa yang dingin dan sulit ditebak. Alana menggigit bibirnya, menahan air mata yang mulai menggenang di sudut matanya. Ia merindukan sahabatnya, merindukan kebersamaan yang dulu begitu akrab. 

Di kamarnya yang sunyi, Alana membuka laptop nya. Ia mulai mengetik, mencurahkan segala pertanyaan yang mengambang di benaknya ke dalam dokumen. "Apakah bocah lelaki dalam ingatanku itu benar-benar Ezra?" jemari nya menari di atas keyboard, melanjutkan deretan pertanyaan yang semakin membuatnya resah. "Darimana asal-usulku sebenarnya? Siapa keluarga kandung ku? Mengapa aku berakhir di panti asuhan yang sama sekali tidak ku ingat?"

Alana menghela napas berat, kala setiap pertanyaan yang diajukannya hanya menambah beban pikirannya yang sudah penuh dengan kebingungan. Ditambah lagi, ia benar-benar sendiri—tanpa seorang pun yang bisa dijadikan sandaran atau sumber informasi tentang masa lalunya.

Mata Alana kemudian tertuju pada percakapan di ponsel nya—percakapan yang tidak kunjung mendapat balasan selama seminggu. Ia punya satu kesempatan, karena Ezra berjanji akan membantunya menemukan kepingan tragedi yang terjadi pada dirinya. Namun kini, pria itu juga menghilang tanpa kabar, mengikuti pola yang sama dengan orang tua angkatnya yang tiba-tiba meninggalkannya.

Dengan rasa frustrasi, Alana memilih untuk menutup aplikasi pesan dengan Ezra. Namun, tangannya terhenti saat layar ponsel nya menunjukkan foto dirinya bersama orang tua angkatnya, mengingatkannya pada segala rasa kehangatan yang pernah ia rasakan bersama mereka.

Foto itu membawa Alana kembali pada saat-saat di mana ia merasa menjadi anak yang paling bahagia di dunia, di mana tak ada beban atau masalah yang mengganggu. "Aku merindukan kalian, ada begitu banyak pertanyaan yang ingin aku tanyakan," ucapnya lemah, "terutama tentang rasa takut ku pada sungai dengan ingatan masa kecil ku yang hilang. Aku ingin memastikan apakah semua itu benar."

Lost in the SunshineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang