#22

20 0 0
                                    

"Selamat malam, Tuan Candra," kata Bima seraya membungkukkan badannya sembilan puluh derajat.

Salam Bima disambut oleh sebuah map tebal yang melayang ke hadapan nya, membuatnya sedikit melangkah mundur kala merasakan sudut map yang tajam mengenai lengannya, menimbulkan rasa tidak nyaman yang menjalar sepanjang lengan. 

"Sejak kapan kau tidak becus bekerja, Bima! Selama setahun, ternyata aku baru mengetahui semua ini," celetuk nya sambil berjalan mendekat dengan membawa tumpukan foto di tangannya.

"Sudah aku suruh kau mengawasi keluarga itu, tapi apa yang kau lakukan? Gadis itu bisa pindah ke sekolah Jaya Bangsa, kemudian menjadi guru tutor Ezra, lalu pergi ke tempat perkemahan milikku, bahkan masuk rumah sakit, Apa kau tidak bisa mencegahnya, hah!" umpat nya sambil melemparkan satu persatu foto cetak yang menjadi bukti perkataan nya.

Bima menunduk takut, "Maafkan saya, Tuan Candra. Ini murni kelalaian saya," ucapnya dengan suara gemetar, tercekik oleh rasa takut.

Candra menghela, "Lalai katamu? Semua ini kau sebut lalai," geramnya. "Kalau sudah begini, biar Wanto yang bersihkan semuanya."

Pria dengan setelan rapi lengkap dengan kacamata baca itu spontan berlutut, "Maafkan saya, Tuan Candra. Berikan saya kesempatan untuk beres kan semuanya," katanya dengan suara bergetar, "jangan lakukan apapun pada anak yang tidak bersalah itu, Tuan Candra."

"Sudah dua belas tahun kau bekerja denganku. Ini adalah kesempatan terakhirmu setelah tragedi itu," timpal Candra. "Tapi sebelum itu, kau harus diberi pelajaran agar kau sadar bahwa kau tidak bisa berbuat seenaknya."

Tiga pria bertubuh tegap dengan seragam hitam memasuki ruangan, membawa tongkat di tangan masing-masing. Candra tersenyum simpul dan mengangguk pada tiga pria itu memberi isyarat.

Pria bertubuh besar itu turut mengangguk mendapat perintah dan mulai melayangkan pukulan pada Bima, membuat pria bersetelan rapi itu meringkuk tidak berdaya. Dengan tangan mengepal erat melindungi bagian kepalanya, Bima sama sekali tidak melawan, membiarkan para pria itu melakukan pekerjaannya.

***

Ezra tampak memutar-mutar ponsel dengan malas sembari meringkuk di sofa. "Kemana sekretaris Bima? Aku sudah mencoba menelepon nya, tapi tidak ada jawaban. Sudah lima hari setelah aku menyuruhnya mencari informasi keluarga Alana, tapi dia menghilang. Apa dia takut aku memecat nya?"

Tanpa diduga, sosok yang sedang dipikirkan nya tiba-tiba masuk dengan langkah terhuyung-huyung, tubuhnya terlihat menahan sakit dengan mata kanannya yang memar serta pelipis yang tertutup kain perban. 

"Kau habis tawuran? Dari mana saja, dan kenapa sulit sekali dihubungi sekretaris Bima? apa kau takut aku pecat?" cecar Ezra panik sembari membetulkan posisi tubuhnya menjadi duduk, matanya mencari-cari jawaban yang tak kunjung datang.

Bima terbatuk pelan, matanya melirik pada botol obat yang tergeletak di atas nakas. "Besok anda ada pertemuan lagi dengan Dokter Tony, jadi bersiap untuk pergi. Anggap saja ini sebagai liburan setelah ujian kenaikan kelas."

"Kenapa mendadak setelah sekian lama?" seru Ezra. "Aku tidak mau ke Singapura, besok aku akan sekolah saja." 

"Maaf, tuan muda. Ini perintah langsung dari Tuan Besar. Jika anda tidak menuruti Tuan Candra, beliau yang akan langsung membawa anda," sahut Bima dengan suara rendah, sambil memegangi perut bawahnya yang masih sakit bekas pukulan dari pengawal pribadi Candra.

Ezra menggeram frustasi, tangannya mengacak-acak rambutnya. "Apa kau terluka gara-gara Papa lagi?" tanyanya, mencoba menyelidiki.

Bima mengangguk pelan, membuat Ezra spontan berteriak nyaring dan melemparkan bantal sofa ke sembarang arah.

Lost in the SunshineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang