#13

110 11 1
                                    

Dua pelayan berdiri sigap saat Zafia melangkah masuk ke ruang makan dan duduk di salah satu bangku. Meja panjang itu sudah tersaji dengan berbagai macam hidangan untuk makan malam.

Namun, di antara banyaknya kursi, hanya Zafia yang duduk sendirian, menunggu kedatangan orang-orang untuk makan malam bersama. Lima menit berlalu, sepuluh, lima belas, bahkan hingga tiga puluh menit, Zafia masih menunggu tanpa kehadiran siapapun.

Seorang wanita dengan setelan rapi menggunakan kemeja putih dan rok selutut berjalan cepat menuju meja makan. Wanita itu membungkuk singkat di hadapan Zafia.

"Maaf nona, saya dapat informasi bahwa tuan besar dan nyonya tidak jadi datang. Beliau melanjutkan perjalanan ke Singapura dan dikabarkan akan kembali ke Indonesia bulan depan," paparnya. "Anda dipersilakan makan sendiri."

Rahang Zafia mengeras, tatapan nya datar menatap wanita yang memberikan kabar itu. "Baiklah, aku akan makan sendiri."

Wanita itu mengangguk seraya balik kanan, meninggalkan Zafia yang tengah meletakkan serbet kecil di atas pahanya, dan dua pelayan yang segera membantu Zafia mengambilkan makanan.

Zafia mengunyah makanannya dalam diam, tidak ada percakapan yang menghangatkan ruangan, hanya dentingan garpu dan pisau yang beradu menggema.

Beberapa potong daging masuk ke dalam mulutnya, namun ia menghentikan sesi makannya tiba-tiba, meskipun masih banyak hidangan yang tersisa.

Seulas senyum miring terukir di wajah Zafia. "Desas-desus mengatakan bahwa aku ini anak yang tidak diharapkan lahir. Anak haram. Anak pembawa sial," katanya tiba-tiba, lalu tertawa nyaring.

"Apa itu benar?" Tanyanya dengan tatapan tajam pada dua pelayan yang berdiri tak jauh dari meja makan.

Kedua pelayan itu hanya terdiam, kepala sedikit tertunduk, menghindari kontak mata dari Zafia.

"Jawab aku, bodoh!!" Seru nya, melemparkan garpu ke arah sembarangan, membuat kedua pelayan itu terhenyak kaget.

Zafia tertawa, namun suaranya bukan tawa yang riang. Suaranya lebih mirip tangisan yang terpecah, menggema di seluruh ruang makan. Gelak tawa nya yang bercampur dengan air mata menciptakan atmosfer yang tegang dan tidak nyaman di antara dinding-dinding ruangan.

Namun, meskipun tawa yang bercampur dengan tangis nya memenuhi udara, dua pelayan yang berada di ruangan itu hanya menunduk, bergerak dengan perasaan canggung, seolah-olah mereka tidak peduli pada Zafia yang hari itu tampaknya begitu emosional.

Kedua pelayan itu dengan cepat meninggalkan ruang makan, membiarkan Zafia merasakan emosinya sendiri. Zafia dibiarkan menangis sendiri tanpa ada seorangpun yang mendengarnya atau pun memeluk dirinya yang tampak rapuh. 

Zafia melenggang pergi meninggalkan ruang makan dengan mata yang sembab akibat tangis dan gelak tawa yang bercampur aduk. Langkahnya terasa berat seolah-olah membawa beban berat di atas kakinya. 

Tiba di kamarnya, Zafia berdiri di depan lemari kaca yang penuh denganberbagai macam piala dan penghargaan yang selama ini ia berhasil raih. Lemaritu merupakan saksi bisu atas segala pencapaian nya selama bertahun-tahun.

Dengan gerakan perlahan, dia membuka lemari kaca tersebut. 

Ketika matanya memandangi berbagai piala dan penghargaan yang bersinar itu membuat air mata terus mengalir dari matanya yang sembab. Ia merasakan getaran emosi yang mendalam, dan suaranya penuh dengan ketidakpuasan.

"Semua benda ini sia-sia aku dapatkan," katanya dengan suara yang penuh dengan kekecewaan.

Tanpa ragu, Zafia melemparkan piala-piala itu ke sembarang arah. Piala-piala itu berderak dan pecah di lantai, menciptakan suara yang menggema di ruangan. Benda berharga itu kini hanya menjadi pecahan-pecahan tak berbentuk yang berceceran di sekitarnya. 

Lost in the SunshineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang