#20

54 3 0
                                    

Ezra mulai melakukan pencarian, langkah panjangnya menyusuri hutan yang gelap, ditemani oleh tiga pengawal yang membawa senter. Cahaya senter menerangi jalur yang mereka tempuh saat memasuki hutan.

"Tuan muda, bukankah seharusnya kita menghubungi tim SAR?" tanya salah satu pengawal.

Ezra menggeleng, "Akan memakan waktu lama. Lagi pula, apa kalian ingin membuat kehebohan di acara ulang tahun Zafia jika aku menghubungi mereka?" jawabnya tegas.

Para pengawal hanya mengangguk patuh, tidak berani menyela lagi.

"Kita menyebar saja, aku akan ke sebelah sana," perintah Ezra.

Namun, salah satu pengawal berkepala botak menghentikannya, "Tunggu, tuan muda. Apakah Anda yakin mengetahui jalannya? Bagaimana jika Anda tersesat?"

Ezra menahan kekesalannya, "Tempat ini milik keluarga ku. Jadi, aku tahu jalannya. Berpencar, sana. Jangan banyak tanya," ujarnya tegas.

Ezra melanjutkan perjalanannya sendirian, dengan cemas terpancar dari wajahnya. Rahang nya mengeras saat ia teringat akan kata-katanya tadi.

Kilas balik masa lalunya muncul dengan cepat, menghantar nya pada kenangan tentang kedua orang tuanya dan juga seseorang yang telah lama pergi dari dunia ini, meskipun ingatannya terasa kabur.

Terganggu oleh lamunan itu, langkah-langkahnya menjadi ragu, tapi keinginan untuk menemukan Alana mendorongnya untuk terus maju.

Sesekali, bayang-bayang masa lalunya menyapa dari kegelapan hutan, menciptakan ketegangan yang tak terhindarkan dalam hatinya.

"Sudah sangat lama aku tidak ke sini, karena tempat ini mengingatkan ku dengan masa lalu itu. Mengunjungi tempat ini juga berarti aku harus kembali mengingat saat Bunda masih ada di dunia ini," ucapnya pelan, suaranya penuh dengan beban emosional, sambil mengeratkan pegangannya pada senter.

Tidak hanya itu, ia tidak ingin kembali ke hutan ini lagi karena merasa pernah melewati sesuatu yang pilu di tempat ini hingga akhirnya ia tidak suka dan tidak pernah mau mengunjungi tempat ini lagi.

"Kau di mana, Alana?" tanyanya sambil terus berjalan, senter yang ia pegang menerangi langkah-langkahnya di dalam kegelapan hutan.

Setapak demi setapak, Ezra berjalan dengan perasaan cemas yang semakin memuncak karena tidak kunjung menemukan Alana. Ia menempelkan ponsel nya pada telinga.

"Kau bisa mendengar ku?" tanyanya dengan nada khawatir. Namun, tidak ada jawaban sama sekali dari sisi lain. "Aku sedang mencari kamu, Alana. Aku tahu kau akan mendengarkan aku."

Hanya isak tangis samar yang terdengar dari balik telepon, membuat Ezra semakin cemas. Ia mencengkeram ponsel nya erat, merasa hampa karena tidak bisa memberikan bantuan langsung. Namun berharap, Alana bisa sedikit tenang dengan mendengar suaranya.

Terus berjalan menyusuri hutan membuat benaknya kembali bernostalgia. "Aku punya kisah menarik dari tempat ini, yang membuatku membenci sekaligus merindukan nya," lanjutnya, mulai membuka percakapan.

 "Sebenarnya hutan ini sangat indah, apalagi kalau sore menuju malam," ucap Ezra dengan nada lembut, suaranya terbawa oleh hembusan angin. "Dulu aku sering berkuda bersama papa dan bunda."

Dia tersenyum pahit, memori tentang balapan kuda dengan kedua orang tuanya membuatnya tersenyum. "Aku yang waktu itu masih kecil sudah diajak berkuda. Papa dan bunda menaiki kudanya masing-masing dan aku memilih untuk naik kuda bersama bunda." Bayangan senyum di wajahnya merekah kembali.

Lost in the SunshineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang