#21

33 3 0
                                    

Ding... Dong

Bel pulang menggema ke seluruh penjuru lorong gedung, mengakhiri hari sekolah itu dengan langkah-langkah menuju ke luar kelas.

Ezra terlihat tengah bersiap untuk pulang, merapikan buku-bukunya ke dalam tas dengan cepat. Kevin, sahabatnya, tampak berjalan mendekat dengan santai, sembari menyampirkan tas di pundaknya.

"Aku tidak sempat menengok Alana beberapa hari yang lalu, bagaimana keadaannya sekarang?" tanya Kevin, dengan ekspresi nya yang penuh perhatian.

Ezra terus membereskan bukunya tanpa melirik Kevin, "Dia baik-baik saja dan sudah pulang dari rumah sakit."

Kevin terlihat menghembuskan napas lega, "Syukurlah kalau begitu, aku titip salam padanya ya."

Pria bersurai hitam yang tadi tengah sibuk sendiri itu mulai berdiri dengan alis bertaut, ekspresi nya menjadi lebih serius. "Kenapa aku harus menyampaikan pesan, memang nya aku siapa."

"Ahh, aku kira kamu mau ke rumah Alana sekarang," timpal Kevin malu, mengelus tengkuknya yang tidak gatal.

"Aku tidak ada waktu untuk itu," ucap Ezra sembari menyembunyikan senyum iseng nya, merasa sedikit senang dengan reaksi Kevin, sebelum melenggang pergi.

Ezra menaiki motornya, motor ninja hitamnya, dan dengan lincah menggiringnya melewati kemacetan jalan Jakarta yang tentu saja macet seperti biasanya.

Di sisi lain, Alana duduk tegak di depan meja belajar nya, mata terpaku pada layar laptop yang menerangi wajahnya. Dengan napas yang tertahan, ia membuka catatan di laptop, mencoba menemukan kembali serpihan-serpihan masa kecil yang baru saja terjatuh dari kepingan memori nya yang terkubur. 

Dengan mata tertutup, Alana menelusuri benaknya yang gelap, berusaha merangkai kembali potongan masa lalunya yang hampir terlupa. Ia merasakan kembali suasana hutan yang sunyi, hembusan angin malam yang mengusap pipinya pada saat itu, dan debaran jantungnya yang memenuhi udara ketika mereka berdua—dirinya dan Ezra—terjebak dalam kejaran. 

Lalu, dengan jari-jemari nya yang gemetar, Alana mulai mengetik. Ia menuliskan setiap detail yang bisa diingatnya, setiap momen yang membangkitkan kembali emosi dan ingatannya. Ia mencatat tentang pakaian yang dikenakannya—gaun selutut warna merah muda yang terasa lembut di kulitnya—sepatu kecil yang warnanya senada dengan warna gaun nya—gelang rajut warna biru muda dan sosok-sosok yang muncul dalam kegelapan, mengancam untuk menculik nya. 

Namun, di antara garis-garis huruf yang terpampang di layar, ada satu pertanyaan yang terus menghantui pikirannya: siapakah sebenarnya ia? Siapakah keluarganya? Pertanyaan-pertanyaan itu terombang-ambing di dalam benaknya.

Alana menutup matanya dengan erat, mencengkeram rambutnya yang kusut dengan sedikit gemetar. Dia merasakan pusing yang melingkupi kepalanya saat ia berusaha merangkai kembali potongan-potongan yang tercecer dari kenangan masa lalunya. Namun, upayanya terhenti tiba-tiba oleh suara yang tidak terduga—bel rumah yang berdentang dengan keras.

Dengan cepat, Alana membuka matanya dan mematikan laptop nya, melompat dari kursi belajar dengan gesit. Ia buru-buru mengambil jaket dan tas selempang nya, melangkah menuju pintu dengan langkah cepat. Di depan pintu, pemandangan yang membuatnya terkejut menanti—Ezra, pria yang sangat dikenali itu, berdiri tegap dengan seragam sekolah yang masih melekat di tubuhnya. 

Hembusan angin hangat sore itu menyambut mereka saat Alana dan Ezra saling bertatapan di ambang pintu. Di antara mereka, terdapat kehadiran yang akrab namun juga membingungkan, seolah-olah ada rahasia besar yang menggelayuti keduanya. Ketika mata mereka bertemu, terlihat kerinduan yang tak terucapkan dan kegelisahan yang menggelayut dalam sudut-sudut pandangan mereka.

Lost in the SunshineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang