#24

19 0 0
                                    

Hari yang ditunggu-tunggu Alana tiba, diwarnai dengan hujan lebat yang mengguyur kota Jakarta. Mantel tebal membalut tubuhnya, sedangkan tangannya memegang payung. Ia melangkah menerobos cuaca yang tidak bersahabat. Angin kencang berhembus membelai wajahnya, mencoba merebut payung dari genggaman Alana.

Di tengah gemuruh hujan, langkahnya tenang mengikuti trotoar yang basah. Lima belas menit perjalanan berjalan terasa begitu lama di tengah deras nya rintik hujan, hingga akhirnya ia tiba di kedai wedang ronde pinggir jalan. Tanpa ragu, Alana memesan satu porsi kudapan hangat itu, sambil duduk menunggu kedatangan Puspa, mama angkatnya.

Namun, di tengah kehangatan kedai remang-remang itu, ada pertanyaan besar yang menghantui pikirannya. Mengapa mama nya memilih bertemu di tempat terbuka seperti ini?  Alana merasa pembicaraan mereka bisa lebih nyaman jika dilakukan di rumah. Tapi, pertanyaan itu masih menggantung di udara, tanpa jawaban yang pasti.

Alana mulai menikmati se mangkuk wedang ronde itu dalam diam, merasakan hangat air jahe yang memenuhi kerongkongan nya dengan setiap tegukan. Saat ia menggigit kue beras dari wedang ronde, isian kudapan manis itu pecah di dalam mulutnya, mengeluarkan aroma harum dan rasa manis. Hangatnya kudapan tersebut memeluk lidahnya, menciptakan kehangatan di tengah hujan yang tak kunjung reda di luar.

Namun, seiring berjalannya waktu, kehadiran yang ditunggu-tunggu tak kunjung tiba. Lima belas, tiga puluh, bahkan satu jam berlalu, tetapi Alana masih duduk sendiri di meja, tanpa sosok yang diharapkan. Dua mangkuk wedang ronde kosong menumpuk di meja, menandakan betapa lama Alana menunggu sambil menikmati kudapan hangat tersebut. Ia melirik layar ponsel nya dengan harapan ada kabar dari mama nya, tetapi layar ponsel nya tetap mati tanpa pesan masuk.

Rasa khawatir mulai merayapi hati Alana, membuatnya semakin gelisah. Meski ragu, ia ingin menekan tombol panggilan di ponsel nya, tetapi peringatan dari mama nya membuatnya ragu. Apakah seharusnya ia bertindak atau menunggu lebih lama? Pertanyaan itu menghantui pikirannya saat hujan terus turun di luar, menciptakan ketegangan yang menguasai tenda kedai wedang ronde itu. 

Alana kembali meletakkan ponsel nya di meja, dagu nya ia topang dengan kedua tangannya karena rasa bosan mulai menguasai pikirannya. Namun, sosok yang ditunggunya tiba-tiba muncul, dibawa oleh hujan yang masih deras, mengguyur coat panjangnya hingga terlihat sedikit basah. Wanita itu mengenakan masker hitam yang menutupi sebagian wajahnya, membuat Alana mengernyitkan kening dengan kebingungan, karena mama nya jarang sekali menggunakan masker. Ia langsung terduduk dengan tergesa.

"Maaf aku terlambat, ada beberapa hal yang harus aku bereskan," ucapnya dengan napas terengah-engah, sambil menepuk coatnya yang basah terkena hujan. 

Alana menggeleng pelan, merasa tidak ada alasan untuk mama nya meminta maaf. "Aku baik-baik saja Ma. Pesan dulu wedang rondenya ya," katanya sembari bangkit dari duduk, menghampiri penjual wedang ronde untuk memesan kudapan hangat itu.

Sementara itu, Puspa terlihat tenggelam dalam kesibukan nya sendiri, mengeluarkan selembar kertas dan kunci kecil dari dalam tas nya. Setelah Alana kembali duduk, Puspa menggeser kedua benda itu ke hadapan Alana.

Kedua wanita itu terdiam sejenak, terlarut dalam pikiran masing-masing. Alana tampak bingung, menatap benda-benda yang tiba-tiba diberikan oleh mama nya.

"Apa ini, Ma?" tanya Alana dengan suara bergetar, pandangannya tertuju pada kunci kecil dan selembar kertas yang tampak kusut.

"Maafkan aku dan papamu yang pergi tanpa memberikan kabar, Alana," kata Puspa memulai pembicaraan, suaranya penuh penyesalan, "kami melakukan ini semua demi kebaikanmu."

Alana menatap mama nya dengan ekspresi bingung. "Kenapa kalian pergi begitu saja? Apakah aku akan dikembalikan ke panti asuhan?" Pertanyaan itu tiba-tiba keluar begitu saja meluncur bebas dari mulut Alana.

Lost in the SunshineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang