#6

141 18 0
                                    

Alana menikmati makan siangnya dengan tenang di dalam kelas. Hari ini Gita membawa bekal ayam pedas dan susu kotak rasa pisang kesukaannya. Tapi, makan siangnya yang menenangkan itu terganggu oleh kedatangan dua pria berbadan besar, mereka tiba-tiba masuk ke dalam kelas dengan mata yang memindai seluruh ruangan. 

"Siapa yang bernama Alana disini?" tanya salah satu dari mereka.

Gita mencondongkan badan dengan mulutnya yang berbisik pada telinga Alana, "mereka anggota basket yang dipimpin Ezra."

"Kenapa mereka cari aku?" tanya nya sembari mengeluarkan paper bag cokelat dari tas.

Alana spontan mengangkat tangannya membuat dua pria itu berjalan mendekat. 

"Kenapa kamu malah angkat tangan Alana," bisik Gita. 

"Ikut kami," ucap salah satu dari mereka, membuat Alana berdiri dan mengikuti mereka dengan hati-hati.

Semua mata di kelas tertuju pada Alana, dan sebagian besar murid bertanya-tanya apa yang sedang terjadi, mengingat status Alana sebagai murid baru yang tampaknya sudah terlibat dalam urusan rumit. 

"Kita mau ke mana?" tanya Alana dengan malas, berjalan di antara dua pria berpostur tinggi seratus delapan puluh sentimeter, sehingga ia terlihat seperti kurcaci di antara dua tiang. 

"Tidak usah banyak tanya," jawab pria yang berjalan di sebelah kanan Alana. 

Mereka berhenti di depan sebuah pintu kayu berwarna cokelat yang bertuliskan 'Jaya Bangsa Private Room'. Pria itu membukakan pintu, mempersilakan Alana masuk, lalu menutup pintu setelahnya. 

Mata Alana bergerak cepat, memindai sekeliling ruangan yang luasnya sama dengan ruang kelas. Namun, ruangan ini tidak seperti kelas tapi seperti ruang duduk yang dilengkapi dengan meja panjang serta beberapa sofa tunggal di pojok. 

Terdapat rak buku yang diisi buku-buku tebal, alat lukis serta kulkas berukuran sedang. 

Netra Alana mendapati seorang pria tengah bersantai di sofa panjang dengan tangannya yang memegang ponsel, tengah sibuk memainkan game. 

"Ternyata kamu yang menyuruh mereka," ucap Alana dengan bibirnya membentuk senyum tipis, namun matanya menyiratkan ketidak nyamanan yang sulit disembunyikan.

"Mana kesepakatan kita?" tanyanya, mata dan tangan masih sibuk dengan ponsel nya.

Kedua mata Alana memutar jengah, "Apa kamu tidak bisa berjalan, sampai harus menyuruh mereka?"

Kata-kata yang terlontar dari mulut Alana membuat pria itu berpindah posisi menjadi duduk dan menyimpan ponsel nya di meja kaca.

"Kau ini berisik sekali," gerutu nya. "Mana bajunya?"

Alana berjalan cepat dan meletakkan tas kertas cokelat itu dengan kasar. Kesal karena makan siangnya terganggu, ia merasa tidak senang dengan arogansi pria ini yang menyuruh orang hanya untuk memanggilnya. Padahal, pria di hadapannya ini sehat dan mampu berjalan sendiri.

Pria itu mengambil tas kertas dan merogoh isinya dengan senyum tipis. Tangannya membuka kemeja putih itu, dan ia menemukan noda pudar kecoklatan yang masih menempel di sana, membuat alis nya terangkat sebelah, meminta penjelasan dari Alana.

"Aku sudah berusaha untuk menghilangkan noda nya, tapi enggak bisa. Lagian, siapa suruh tiba-tiba jalan tanpa suara jadi kita tubrukan," gerutu Alana.

"Pernyataan konyol macam apa itu? Kenapa kau tidak bertanggung jawab dan malah menyalahkan orang lain?" tanyanya sambil melemparkan kemeja putih itu ke atas meja.

Lost in the SunshineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang