ELEVEN

30 1 0
                                    

Author POV

Pagi itu Anya turun tepatnya pukul 10 pagi dengan harapan dia tidak akan bertemu siapa-siapa di meja makan. Sebenarnya, daritadi malam Anya tidak bisa tidur karena sibuk skype dengan Kenzo yang harus berada di Singapore selama empat hari. Tidak. Mereka tidak pacaran. Hanya sebatas komunikasi sebagai friend with benefit. Maksudnya, uang.

Anya agaknya sedikit terkejut melihat Bos Besar sedang duduk santai sambil menikmati makanannya bersama adiknya, Diandra. Kok bisa? Anya kembali mengingat hari apa ini sebenarnya. Sabtu! Tapi, Sabtu juga ayahnya biasa akan bekerja. Kenapa sekarang malah Ayahnya sedang terlihat santai di meja makan? Ah, sepertinya Anya tidak jadi untuk sarapan karena tiba-tiba nafsu makannya sudah hilang entah kemana. Anya pun perlahan-lahan naik ke lantai atas berusaha berjalan sepelan mungkin agar kedua orang itu tidak melihatnya.

"Anya, ngapain kamu kayak maling disitu?"

Suara siapa itu?!

Renino! shit.

"Kamu ngumpet-ngumpet nggak jelas gitu ngapain sih?" tanya Reno lagi yang kelihatannya memang setengah sadar mungkin karena memang dia baru bangun. Disaat seperti ini, Anya menyesalkan dirinya yang tidak sarapan daritadi pagi malah harus bertemu dengan sang Ayah.

"Belum sarapan, kan? Bubur ayam, yuk? Temenin kakak sarapan." ajak Reno sambil menguap dengan sangat lebar. Tetap tampan juga orang itu.

"Bubur ayam?"

"Iya. Di tempat biasa loh, Nya. Ayo ah, laper banget ini," tanpa Anya sadari tangannya sudah ditarik Reno untuk turun.

Bahkan sebelum dapat meraih pintu utama, suara Leo sudah menginterupsi. "Kenapa tidak sarapan disini, Reno?" tanya Bos Besar dengan nada yang selalu sama. Datar.

Eh. Reno baru ngeh kalau ternyata ada Bos Besar lagi sarapan sama adek bungsu. "Bosen, Pa. Reno mau makan bubur ayam di Senayan aja. Weekend juga."

Leo hanya berdehem kemudian menyuruh mereka berdua pergi. Leganya.

***

"Kak, sini biar Anya yang nyetir. Seremin ih," kata Anya terlihat sangat risih di bangku penumpang. Bagaimana tidak? Itu Reno menyetir setengah sadar.

Gue belum mau mati dulu. Belum ketemu sama Kenzo. batin Anya.

Ih nggak! Typo! batinnya lagi sambil geleng-geleng kepala.

"Yaudah, kamu nyetir, kakak tidur ya?" katanya.

Kebetulan rumah kami dengan Senayan agak jauh. Walaupun tidak macet, tetap saja baru akan sampai setelah lima belas menit. "Kak Reno ini sengaja ngajak Anya ya supaya bisa minta disupirin? Iya, kan?" tuduh Anya.

Sambil mencari tempat perhentian, Reno terkekeh pelan mengiyakan tuduhan sang adik. Entah kenapa pagi ini dia ngidam bubur ayam. Rasa kantuknya tak sekuat rasa inginnya pada bubur ayam Senayan langganannya daridulu. Setelah mereka bertukar posisi dan Anya yang menyetir, Reno langsung tidur dengan pulas. Anya hanya bisa mendecakkan lidahnya heran pada Kakaknya itu. Kalau tahu ngantuk, mending nggak usah ngotot sarapan di Senayan. Untung aja nggak macet. Kalo macet, Anya ogah!

Sesampainya mereka di tempat bubur ayam langganan, Anya memarkirkan mobil kemudian membangunkan Reno. Matahari sudah tinggi, cuaca hari ini memang kelihatannya sangat panas. Tidak ada mendung-mendungnya.

"Bubur ayamnya dua ya, Mang. Minumnya Es Teh satu, kamu mau minum apa, Nya?" tanya Reno

"Samain aja sama punya kakak,"

Somebody's MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang