Kanya POV
Aku berlari sedikit terburu-buru saat keluar dari lift. Walaupun tatapan orang-orang sedikit... well. Setidaknya aku tidak punya waktu untuk mengurusi pikiran mereka tentang diriku karena sebentar lagi pasti akan ada orang yang memarahi keterlambatanku. Pasti.
Sesampainya aku di penthouse restaurant salah satu hotel bintang lima di ibukota itu, aku langsung dituntun oleh seorang pelayan wanita yang sepertinya sudah tahu siapa aku dan siapa orang yang aku cari. Sambil berjalan ke arah outdoornya, dari kejauhan aku sudah diberi tatapan tajam oleh wanita itu.
Tiga.
Aku mulai mendekat..
Dua.
Semakin dekat..
Satu.
Dan..
"Ya ampun, Zefanya! Kamu ini nggak pernah berubah sedikit aja gitu?" sembur Kak Inara.
Aku memutar bola mataku, bosan. "Kanya, kak. Bukan Zefanya," ralatku.
"Nah, Kanya. Kamu kok cuma pake training sama hoodie sih? Honey, liat deh kelakuan adek kesayangan kamu ini." kata Kak Inara pada Kak Ello manja. Astaga.
Kak Ello hanya bisa terkekeh pelan sambil mengelus-elus kepala istrinya yang bawelnya selangit itu. "Emang udah gaya dia gini, Sayang. Kamu kok masih aja ngomelin kepala batu kayak dia ntar capek sendiri kamunya," ujar Kak Ello lembut pada Kak Inara.
Yang dibujuk bukannya aku tapi malah istrinya. Well, aku dan Kak Inara memang selalu mendebatkan masalah gaya berpakaianku yang katanya 'slengean' atau apalah itu. Wajar saja karena Kak Inara itu mantan model. Mantan loh. Sekarang, mana berani dia melanjutkan karirnya kalau kak Ello saja melarang keras dia berpakaian seksi. Lah kan nggak lucu model kayak kak Ina disuruh pake yang tertutup. Dalam arti yang sulit untuk aku jelaskan karena kata kak Ina, model seperti dia dulu harus mau disuruh memperagakan model busana apa saja walau tidak boleh sampai melanggar kontrak seperti hanya memakai pakaian dalam atau sejenisnya karena kak Ina bukan model majalah dewasa. Tidak mungkin juga rasanya wanita seperti kak Ina menjadi model majalah dewasa. Sebenarnya dia itu sangat alim dan rada bego. Begitulah.
"Aku nggak disuruh duduk nih?" tanyaku menyindir dua sejoli yang sedang bermesraan itu.
"Perlu gitu ditawarin dulu?" sewot kak Ina masih kesal ternyata.
Aku yang tak tahan ingin tertawa malah langsung terbahak. "Astaga, kakak. Aku itu baru aja selesai temenin Diandra sama kak Andrew main tennis. Jadi, wajar 'kan aku pake kayak gini?" bujukku.
Suasana meja kami seketika hening. Apakah aku salah bicara? Sepertinya, iya.
"Ngapain kamu nemenin mereka main tennis? Bukannya jadwal main kamu itu sama Kakak atau sama Reno?" tanya Kak Ello tak suka.
Aku lupa bercerita bahwa hubungan Kak Ello dan Diandra tidak pernah baik. Kak Ello seperti menganggap Diandra tidak ada di keluarga kami. Sebenarnya, ini semua ada sangkut pautnya denganku. Kak Ello sangat marah ketika Diandra datang sembilan tahun yang lalu di rumah kami. Aku yang masih kecil saat itu hanya bisa menangis. Kak Ello menganggap semua itu karena Diandra. Aku yang jahat disini. Astaga. Harus berapa kali aku menyalahkan diriku atas ketidakadilan yang Diandra dapatkan dari Kak Ello?
"Aku cuma nemenin, kak. Aku tetep sama jadwal tennis kita. Lagian emangnya salah?" tanyaku sedikit terbawa suasana.
Terdengar suara helaan nafas dari Kak Ello. Mungkin dia berpikir dia terlalu berlebihan tadi. "Nggak salah. Kakak yang terlalu over."

KAMU SEDANG MEMBACA
Somebody's Me
RomanceKehilangan seseorang yang berarti membuat kita sadar kalau memang hidup itu datang dan pergi. Hari-hari yang dijalani dengan tawa dan senyum ternyata tidak menjamin bahwa memang seseorang itu bahagia. Seorang Anya yang suka dengan lagu Elvis Presle...