(a)

5.4K 608 32
                                    

Suara deru angin yang menabrak batu karang seperti tengah menghibur Park Jimin. Pemandangan laut tanpa ujung seolah ingin berkata jika ada banyak hal yang bisa ia lakukan saat ini.

Sayang pemuda itu memilih untuk tidak bergerak dari tempatnya. Masih betah memeluk kaki, menahan dingin yang menusuk kulit. Disebelahnya ponsel terkapar di atas pasir. Objek lirikan jika sewaktu waktu teringat seseorang yang kini tidak bersamanya.

Dua manik Jimin menyipit sebal— sadar matahari semakin tinggi serta ia yang membuang waktu disini. Kesibukan Kim Taehyung benar-benar membuat kesabarannya diuji. Ini sudah genap sebulan sejak Taehyung mengatakan ia bakal sibuk karena latihan persiapan turnamen basket tingkat Nasional di kota Seoul.

Sebagai seorang kekasih yang baik tentu saja Jimin mendukung Taehyung dalam mengejar mimpi.
Meskipun itu artinya pertemuan mereka akan sangat terbatas. Tidak akan ada liburan tiap akhir pekan, makan siang bersama, atau kencan di malam minggu. Jimin seringkali merasa nelangsa. Bukan karena ia tidak bisa melakukan hal-hal yang ia inginkan tanpa Taehyung. Jimin mampu melakukan segalanya sendirian kok, ia sangat mandiri. Tapi Jimin rindu dengan sosok orang yang selama ini menjadi tempatnya pulang.

Seseorang yang akan selalu mengerti tanpa bertanya apa yang Jimin inginkan. Sosok yang akan memeluknya ketika ia terkena masalah. Sosok yang selalu mencintainya ditengah dunia mereka.

Jimin mengambil ponsel, mencoba menelepon nomor Taehyung untuk kesekian kalinya sejak pagi hari. Tentu saja tidak akan ada jawaban karena ini jam latihan turnamen. Taehyung sudah memberi rincian jadwalnya pada Jimin saat ia meminta izin. Meskipun sudah tau, tidak ada salahnya mencoba kan?

Menyerah, Jimin beranjak dari tempatnya. Membawa langkah menyusuri bibir pantai.
Matanya menangkap sebuah gazebo didekat pohon besar. Dimana ada seseorang yang tengah berbaring disana dengan mata tertutup.

Orang itu tidak berbaring di atas gazebo. Melainkan di pasir pantai yang gersang. Jimin menautkan alis, heran sekaligus mengira apa orang asing itu sedang tidur atau pingsan?
Atau dia orang yang sama kesepiannya dengannya?

Jimin mengedar pandangan ke sekeliling. Tidak ada siapapun kecuali mereka disini. Mungkin orang itu memang sedang menyendiri.

Terserah, toh itu bukan urusannya.

Kembali membawa kakinya melangkah, Jimin membaringkan badan sesampai di gazebo.
Menghela napas lega karena lolos dari terik matahari.

Mata Jimin menutup, menikmati angin sepoi-sepoi yang menyapa permukaan kulit.
Ia dapat mendengar deru napas orang yang tertidur di bawah gazebo.
Perlahan, Jimin ikut rileks dan terlarut dalam mimpinya.

***

Saat terbangun tau-tau lautan sudah terlihat kacau.

Hujan deras sekali, beruntung ia tidak kebasahan. Jimin meracaukan sial berkali-kali karena ini terlalu mendadak. Pemuda itu beranjak, menepuk-nepuk baju yang berdebu pasir. Sedikit terkesiap mendapati orang yang tadi tertidur di pasir tiba-tiba sudah berada di gazebo. Menekuk kaki sementara tubuhnya kuyup.

Jimin menghela napas, sangat ingin rasanya kembali ke mobil dan pulang kerumah. Namun sekarang benda itu terparkir jauh di bibir pantai yang lain. Kalau ia nekat menembus hujan, bisa-bisa nanti terkena flu.
Taehyung bisa marah.

Akhirnya Jimin hanya meringkuk memeluk kaki, menatap lurus ke laut lepas. Menyesali segala hal yang ia putuskan hari ini. Merajuk karena Taehyung tidak memiliki waktu untuknya? Konyol.

"Kau juga terjebak disini?"

Pointer mata Jimin tertuju pada pemilik suara, si cowok kuyup tukang tidur tadi. Wajahnya cukup tampan untuk kelakuannya yang aneh. Mengajak orang asing bicara? Jimin tidak ingin tahu apa yang ia pikirkan.

Jadi Jimin memilih diam. Kentara tidak berminat pada basa-basi yang ditujukan si orang asing. Sudah tahu, masih saja bertanya. Jimin berkata dalam hati

"Uh... Aku Jeon Jungkook. Kalau kau merasa tidak nyaman dengan keberadaanku. Aku akan pergi."

Pemuda itu menggaruk kepala canggung. Sudah akan beranjak, namun Jimin lebih cepat menyela.

"Bukan begitu, aku hanya tidak peduli apa yang kamu lakukan."

Orang yang bernama Jungkook itu menoleh lagi. Mengurungkan niat menembus hujan yang semakin deras. Seutas senyum mengembang diwajahnya putihnya. Tone kulit pucat yang sedikit lebih terang dari Taehyung. Tidak setampan Taehyung. Tanpa sadar Jimin membandingkan.

"Boleh tau namamu? Kau tinggal disekitar sini?"

"Jimin. Seoul."

Bibir Jungkook membulat lucu. "Wow, kau menjawab semua pertanyaanku dengan singkat."

"Maaf?"

"Kamu orang yang dingin ternyata."

"Terimakasih"

Jimin tidak ambil pusing mengenai komentar sarkasme yang Jungkook lontarkan. Pun pemuda itu cukup sering mendengar pendapat yang sama tentang dirinya di mulut manapun. Baginya bukan masalah. Jimin membuka ponselnya lagi, masih tidak ada balasan dari Taehyung.

"Kalau kau sedang bosan, kau bisa ikut denganku untuk melihat teman-temanku latihan menari di markas kami."

Jimin tidak langsung menjawab. Matanya terpaku pada senyum Jungkook di depannya. Menganalisa. Tidak menemukan maksud apapun dari bola mata besar yang orang itu punya. Binar matanya polos penuh rasa percaya diri. Jimin penasaran bagaimana Jungkook bisa mempertahankan aura yang (sangat) menyilaukan begitu bahkan disaat ia harus berhadapan dengan orang seabu-abu Jimin.

"Markas? Terdengar menyeramkan."

Disambut tawa menbahana Jungkook. Jimin terkesiap karenanya. Padahal —sungguh— Jimin tidak sedang bercanda. Ia hanya bingung karena Jungkook baru saja mengajaknya pergi seperti mereka ini teman lama.

"Kau terlalu banyak berpikir, Jimin. Aku yakin bukan bagian markasnya yang membuatmu heran" Jawab Jungkook ringan. Pemuda itu menatap langit yang berwarna kelabu. Perlahan guyuran hujan berubah menjadi rintik tak berarti.

"Kau sangat sering tertawa ya?"

"Kok tau? Ada banyak kerutan di mataku ya?"

Jimin mengangguk.

"Jahat."

Kali ini giliran Jimin yang mendengus. Tersenyum tipis sekali. Jungkook tidak sempat melihat. "Kenapa kau mudah sekali tersenyum?"

Tidak ada jawaban untuk beberapa saat. Jungkook menoleh padanya sebelum mengangkat bahu.

"Mungkin karena aku sangat mencintai hidupku." Katanya.

lagi-lagi juga sambil tersenyum.

Jimin terdiam. Seolah itu adalah kosakata yang baru ia kenal semasa hidup. Seakan itu adalah sebuah tamparan untuk dirinya sendiri—sesuatu yang tidak pernah ia cari, tapi begitu mengganggu dirinya.

"Oke aku ikut." Lalu tiba-tiba saja ia berkata begitu. Jimin kaget. Tapi tidak berniat menarik kata-katanya kembali meski sepertinya Jungkook menunggu Jimin mengatakan hal seperti 'tapi bohong' atau sejenisnya.

"Ya?" Mungkin Jungkook benar-benar tidak yakin atas apa yang ia dengar. Jimin menarik napas. Berpikir kalau berada di tempat lain bersama orang baru bukanlah ide yang terlalu buruk juga. Entah darimana pikiran semacam ini berasal. Jimin mendadak tidak peduli.

"Kubilang aku akan ikut denganmu."

Pemuda asing itu membuat Jimin menyunggingkan senyum pertamanya untuk hari ini.

Tbc

Saya revisi

EARTH [VminKook]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang