Pukul dua belas siang.
Jimin memainkan pulpen biru di atas meja. Orbs hitamnya menerawang keluar jendela. Menikmati pemandangan bulan Desember dari dalam gedung sekolah.
Waktu istirahat baru 5 menit dan kelas sudah kosong melompong. Semua orang berada di kantin dan lapangan. Menolak menggigil di lantai tiga tanpa ada penghangat ruangan.
Jimin sendiri tidak merasa ingin pergi kemanapun. Tubuh kecilnya memilih berteman dengan sweater tebal dan kabut putih yang muncul tiap napasnya berhembus. Ia malas bertemu dengan orang-orang yang terus menceramahi tentang masalah pribadinya. Seokjin terutama. Meskipun ia tahu Seokjin peduli. Tapi Jimin sudah terlalu terbebani dengan pikirannya sendiri.
Pemuda dengan helaian rambut merah muda itu merasa lelah secara batin. Memilih menyandarkan punggung ke sandaran kursi dengan mata tertutup. Jimin membiarkan keheningan mengambil alih sadarnya. Bersiap untuk tertidur sampai suara seseorang memecah zona nyamannya.
"Jimin."
Jimin terkesiap, merasa kenal betul dengan suara itu bahkan sebelum ia benar-benar menoleh. Orbs Jimin membuka perlahan, mendapati Jeon Jungkook berdiri di tengah pintu. Beragam emosi tergambar jelas di wajah rupawannya.
"Ada yang ingin kubicarakan denganmu."
Jimin terpaku sebentar sebelum menganggukan kepala. Mempersilakan Jungkook duduk dimana saja yang ia mau. Air muka Jimin tenang seperti biasa. Membuat Jungkook agak goyah memikirkan tujuannya berada disini.
"Kau sudah baca pesanku?" Tanya Jimin dengan mimik datar andalannya. Jungkook takjub karena ini pertama kalinya -setelah peristiwa di gazebo- ia mendapat respon sedingin ini dari Park Jimin.
Untuk sesaat Jungkook tak menjawab. Membiarkan pandangan mereka bertemu cukup lama.
"Kau serius dengan semua kata-katamu di pesan itu?" Jungkook balas bertanya. Menghardik tajam netra Jimin yang membulat beberapa saat setelah mendengar pertanyaannya.
"Jadi karena itu kau kemari."
Senyum tersungging di bibir Jimin. Bukan senyum manis yang biasa ia perlihatkan. Tapi senyuman miring yang asing dan terasa menyakitkan bagi Jungkook.
"Asal kau tahu," Jungkook berkata lambat-lambat. "Saat itu aku sedang berusaha mencerna kenyataan bahwa aku harus melepas sesuatu yang berharga untukku sementara kau tiba-tiba mengirimiku pesan omong kosong dan berkata 'selamat tinggal'. Selamat tinggal? Dari apa? Dari hidupku? Kau mau membuangku?"
Jimin terdiam. Tidak bisa berkata-kata.
"Mudah bagimu berkata seperti itu. Tapi kau tidak tau arti perkataanmu untukku. Semua yang kau katakan dipesan itu, selamat tinggalmu itu, semua sangat menyakitkan untukku!" Jungkook berusaha tenang. "Oh aku lupa, kau tidak pernah memikirkan orang selain Taehyung."
Jimin mengerutkan dahi. "Tentu saja aku memikirkan pacarku."
"Apa kau hanya akan memikirkan pacarmu meski itu artinya menyakiti orang lain?!" Jungkook hampir berteriak. Jimin tidak menjawab.
"Aku menghargai pilihanmu untuk menyakiti diri sendiri daripada menyakiti Taehyung. Aku kira apapun pilihanmu, kita masih bisa berteman. Tapi apa maksudmu dengan berkata seakan kau akan menghapus segalanya tentangku"
"Karena kau memintaku untuk kembali pada Taehyung."
"Kapan aku berkata begitu? Aku memberimu pilihan, bukan keputusan! Kau memilihnya sendiri!"
"Dengan adanya kau disekitarku, aku hanya melanggar janjiku sendiri untuk tidak menyakiti Taehyung. Kau sendiri yang berkata padaku untuk tidak menyakitinya."
KAMU SEDANG MEMBACA
EARTH [VminKook]
Fiksi PenggemarSelama ini, Jimin menganggap jika dunianya tercipta untuk Taehyung. Ia mengabdikan diri untuk mencintai tunangannya yang sempurna. Namun siapa sangka, hari dimana ia menerima ajakan Jungkook untuk menari adalah permulaan atas perubahaan besar dalam...