17. Patah hati (2)

52 5 2
                                    

Aku sakit. Ah, untuk apa aku menyalahkanmu. Itu kan hatimu, jadi aku tak berhak memaksakanmu untuk mencintaiku.

                               -Aisya L N-
-
-
-

Tak terasa sudah seminggu sejak kejadian itu, kejadian yang membuatku sakit. Sakit tapi tak berdarah. Sudah seminggu aku tak masuk sekolah, Bunda tak melarangku. Bunda menunggu agar aku tenang terlebih dahulu. Ah, dia memang Bunda yang baik.

Saat ini aku sedang berada salah satu di kafe yang ada di kota Semarang.
Aku masih meminum minumanku yang hanya tinggal setengah, dan meneguknya sampai habis.

"Eh, Aisya?" suara yang membuyarkan lamuanku.

Fath.

"Eh, Fa..Fath?" kegetku saat melihat Fath ada didepan mataku.

"Boleh duduk?" tanyanya yang sudah memegang kursi.

Aku hanya mengangguk.

Dengan senang hati, dia pun menarik kursi yang dari tadi sudah dipegangnya, dia tersenyum cerah hari ini. Pakaianya juga berbeda, lebih modis dan bermerek.

'Ah, pasti karena udah jadian sama Kak Arka. Di beliin macem-macem pasti tuh.' batinku sinis.

Segera kutarik kata-kata yang muncul begitu saja dalam pikiranku. Dan segera mengucap 'asstaghfirullah'

"Kamu kenapa nggak masuk seminggu?" tanya Fath memecah keheningan.

"Nggak, nggak apa-apa."

"Pasti karena aku ya?" tanyanya lagi.

"Bukan kok. Nggak usah dipikirin." jawabku malas.

"Maaf ya, Sya. Habis gimana lagi, aku udah suka sama Kak Arka belum lama sih."

"Mungkin baru saat kita masuk SMA. Disitu aku kagum sama Kak Arka, dia ganteng, baik, pinter, Ketua osis, banyak prestasi. Sejak saat itu aku suka sama Kak...."

Kata-kata Fath kupotong, aku yang sedari tadi meneteskan air mata langsung menggebrak meja tanpa peduli pengunjung kafe disekelilingku.

BRAAK

"Lantas, kenapa kamu dulu mendukung aku sama Kak Arka, kenapa ha?!" tanyaku dengan suara yang kutinggikan.

Fath hanya menangis sambil menunduk,

"Ma..maaf, Sya. A..aku nggak bisa ngebohongin perasaanku sama Kak Arka. A..aku..." belum sempat ia melanjutkan kata-kata, aku langsung berlari begitu saja, meninggalkan Fath yang menangis.

"Mbak," lariku terhenti oleh suara seseorang yang ternyata adalah kasir di caffe tersebut.

"Belum bayar." lanjut sang kasir.

Dengan wajah memerah, aku pun pergi menuju tempat kasir tersebut, sebelumnya aku memandang tubuh Fath yang masih duduk mematung.

Fath menoleh ke arahku, dengan air mata yang masih mengucur tapi dengan senyuman, senyuman yang sama saat Kak Arka menyatakan cinta kepadanya dihadapanku dan Tante Tika.

Satu RadiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang