BAGIAN III

6.4K 218 0
                                    

Kenyataan memang tak bisa semanis yang kumau
Tetapi semua dapat kulalui dengan setiap peristiwa manis saat aku menemukanmu

◆◆◆

Hari baru semestinya disertai dengan semangat baru juga. Tetapi suara hujan yang terdengar dari luar kamarku membuatku termenung. Aku memang tak bisa melihat. Tetapi aku dapat merasakan dan mendengar suaranya. Suara derai hujan yang sangat berisik...

Tok! Tok! Tok!
Ketukan di pintu membuatku tersentak dan buyar dari ingatanku. Seseorang pun muncul dengan Wangi parfum yang amat ku kenal.

"Claire, mama dengar kamu pulang jam 7 ya semalam? Kamu dari mana?" tanyanya dengan lembut. Ya itu adalah mamaku. Mama yang penuh kasih sayang. Tetapi aku merasa sedikit tidak nyaman dengan perlakuannya. Bukan karena dia menyayangiku, tetapi karena dia menganggapku seorang tuna netra.

"Iya ma, aku berkunjung ke rumah teman," jawabku sambil tersenyum. "Teman? Claireku punya teman?" jawabnya seakan tidak mempercayai kata-kataku. Apakah aku seaneh itu sehingga tidak ada yang mau berteman denganku?

"Wa.. Wahh.. Wahh hebat!" kata mama dengan nada yang bahagia. Aku tidak bisa melihat wajahnya secara langsung, tetapi aku bisa melihatnya dengan meraba wajahnya. Ku angkat tanganku dan mulai untuk menyentuh mukanya. Tetapi dengan buru-buru dia meraih tanganku dan menaruhnya di atas kakiku.

"Mengapa? Aku tidak boleh meraba wajah mama?" tanyaku dengan heran. Selama ini aku tidak pernah diperbolehkan untuk meraba wajah orang tuaku bahkan adikku sendiri. "Tidak apa-apa. Hanya saja mama sudah memakai riasan karena akan ada acara besar hari ini." jawabnya dengan sangat lembut. "Pagi-pagi?" tanyaku lebih heran lagi.

Tiba-tiba suasana menjadi lebih hening. Tidak ada yang membuka suara di antara kami berdua. Tetapi... Aku merasa sedang di tatap dengan tajam...
"Clairine Ruthia William, apa yang mama bilang mengenai jangan pergi ke tempat papa bekerja?" tanyanya dengan nada yang serius dan dingin.

"Ma! Aku kan kangen sama papa! Di rumah dia seperti tidak pernah pulang. Tidak pernah menyapaku sama sekali. Dan bahkan dia menolah jika dipanggil papa!" sahutku tidak menerima semua perlakuan ini.

"Clarine! Dengar mama untuk yang kesekian kalinya dan ini yang terakhir! Jangan pernah temui papamu lagi! Mengerti!?" teriakannya benar-benar di depan mukaku. Aku terdiam sejenak berusaha untuk berfikir. Berfikir keras.

Mengapa tidak boleh?
Mengapa papa tidak mau mengakuiku?
Mengapa aku tidak boleh meraba wajah orang tuaku?
Mengapa, mengapa, dan mengapa...

"Claire, dengar mama!" tangannya mencengkram bahuku dengan sangat kuat hingga aku kesakitan. Tetapi aku juga tidak mampu mengeluarkan kata-kata lagi. Badanku mulai di guncang guncangkan dan suara mama mulai terdengar histeris.

"Iya ma! Iya!" kata-kataku membuatnya berhenti mengguncangku dan cengkeramannya mulai melemah. Tiba-tiba pintu kamarku terbuka.
"Ma, Kak ayo sarapan," kata-kata adikku terhenti secara tiba-tiba.

"Kalian sedang apa?" tanyanya kemudian. Aku hanya terdiam dan akhirnya mama yang menjawab adikku itu. "Tidak, mama hanya kangen berbicara dengan kakakmu. Ayo kita sarapan. Ayo Claire!"

Langkah kaki mama terdengar menjauh ke arah pintu. Aku pun langsung beranjak dari kasur dan mengikuti mereka menuju ruang makan. Masih banyak hal hal yang mengganjal di otakku, aku tidak akan tinggal diam. Aku akan membuktikan kebenaran dalam hidupku.

Mengapa aku diperlakukan tidak adil? Semuanya itu begitu misterius bagiku. Seakan tidak ada secercah cahaya yang mempu menerangi kakiku untuk melangkah. Aku rasa aku akan meminta pendapat Farhan...

●●●●

HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang