BAGIAN XVII [Revisi]

3.5K 134 2
                                    

Wangi tanah yang mengitu menyengat mengusik indra penciumanku. Sesekali aku mengerutkan dahiku karena merasa aneh sekaligus merinding mencium wangi wangian ini.

"Kak! Kita ini di mana sih? Jangan bilang kakak membawa aku ke dukun biar aku jauh dari Farhan," cerocosku karena sejujurnya aku merasa ketakutan.

Kak Erin terus menuntun langkahku dengan hati-hati sejak pertama kali kami tiba di tempat asing ini.

Sesekali ia berkata, "hati-hati di depanmu ada Batu!" atau "permisi yaa, maaf permisi,"

Sepertinya ini tempat yang sangat ramai sekali sampai Kak Erin harus permisi-permisian dengan banyak orang. Tetapi, aku tidak mendengar orang-orang yang sewajarnya saat keadaan ramai.

"Tenang aja Ruth, kakak tidak mungkin membawa kamu ke dukun. Sebentar lagi kita sampai," jawab Kak Erin dengan semakin erat menggandeng tanganku.

Kami melanjutkan perjalanan kami yang sebenarnya sedari tadi sudah cukup panjang seperti tiada ujungnya. Dan aku harus berkali-kali merelakan kakiku untuk tersandung dengan batu yang sepertinya berada di mana-mana.

Entah mengapa, semakin kakiku melangkah, aku semakin merasa penasaran dan merasa harus mengetahui di mana aku berada sekarang ini. Wangi-wangian bunga yang menyegat, bau rumput di mana-mana, banyak sekali batu yang ada di sekitar...

Astaga!

Jantungku berdegup begitu kencang. Rasanya kakiku mulai terasa lemas sekali. Mengapa kakak membawaku ketempat ini?

Jalanku melambat dan tanganku hampir melepas genggaman tangan Kak Erin. Menyadari hal itu, Kak Erin langsung menghentikan langkahnya. Bukan, bukan karena ia sadar. Tetapi karena kita sudah sampai.

"Kak, apa ini maksudnya?" tanyaku dengan bibir yang bergetar hebat.

"Saatnya untuk mengetahui semua kenyataanmu Ruth," jawabnya dengan nada yang sangat sedih.

"Aku rasa inilah waktu yang tepat untuk memberitahumu rahasia yang aku dan mamamu simpan selama belasan tahun," lanjutnya yang berhasil membuatku semakin ketakutan.

"Ini makam siapa kak?" tanyaku pada akhirnya.

Aku menepis tangan Kak Erin dan langsung tersungkur di tanah dan meraba gundukan tanah yang ada di hadapanku. Air mataku mengalir seirama dengan rasa takutku. Sampai pada akhirnya aku meraba sebuah batu yang terasa licin di tanganku. Ada tulisan, tulisan yang sepertinya sengaja dibuat sedikit masuk ke dalam sehingga aku dapat meraba hurufnya.

"T, H, A, L, I, A, T, H, E, O, D, O, R, E," kataku mengeja nama yang tertera pada batu nisan itu. Thalia Theodore? Nama yang sangat asing bagiku.

"Kak, Thalia Theodore itu siapa?" tanyaku heran. Tetapi, ada sesuatu yang membuat air mataku terus mengalir dan mengalir keluar dari mataku walau aku tidak merasa takut lagi.

"Dia... Mamamu Ruth. Mama kandungmu," jawab Kak Erin yang berhasil membuat hatiku seperti disambar petir.

"Ah.. Ha? Tidak mungkin Kak... Mama aku itu Deliana Putri. Aku tidak mengenal orang ini," jawabku yang disusul dengan tamparan keras dari Kak Erin yang membuatku shock berat.

"Kurang ajar kamu sampai seseorang yang memberimu nama seindah itu tidak kamu ingat!"

Deg!

HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang